Kirana Maharani; 4

Dear Kirana Maharani
Di
Tempat

Setelah salam,

Tak ada yang lebih berarti lagi dari seorang teman yang selalu setia menemani lirih hidup, sebagai partner sejati membagi erang jeritan penghidupan yang dipendam dalam keseharian.

Seperti ucap Chairil isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, tembus jelajah dunia ini dan balikkan … jangan tambatkan pada siang dan malam. Jadi mari putuskan sekali lagi; ajal yang menarik kita. 'kan merasa angkasa sepi. Sekali lagi kawan, sebaris lagi ; tikamkan pedangmu hingga kehulu. Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

Benar, Ran, sungguh! Sejatinya, kata-kata tak bisa mewakilkan rasa sorak yang kudapat dari semburat kehendak. Akhirnya aku menemukanmu lagi, untuk bisa berbagi cerita dan kisah. Aku tak berhasrat untuk membicarakan "peristiwa" dulu. Mari kita bakar pulau di belakang. Maju terus 'natap jalan depan. Tak 'noleh ke belakang, karena kerja belum juga usai, karena darah masih mendidih, karena masih banyak hutang yang mesti dibayar.

Rasanya tak ada yang bisa menggantikanmu [edan! Shakespeare pisan! Tak apalah]. Karena satu manusia tidak sama dengan manusia lainya, lain kau lain juga yang lain. Tidak ada manusia yang sama kembar siam sekalipun. Maka tak berlebihan kalau saya berbicara seperti itu. By the way, sarana paling tepat untuk mengkomunikasikan bahasa hati tak lain adalah bahasa sastra. Maka pantas saja Julia Kristeva, salah seorang anggota kelompok Tel Quel, bilang bahwa bahasa yang paling memungkinkan untuk melakukan revolusi adalah bahasa sastra!

Sekilas tentang Tel Quel, hanya mengingatkan takutnya Rani lupa. Tel Quel adalah kelompok dalam disiplin ilmu semantik-semiotik [rasanya tak perlu dijelaskan bukan?mengenai semantik dan semiotik]. Aliran Tel Quel ini bandingan lain dari aliran strukturalisme yang dipelopori oleh Ferdinand De Saussure. Tel Quel dengan kata lain adalah kelompok poststrukturalis tokoh lainnya seperti Jacques Derrida. Berbicara mengenai aliran strukturalis, aneh juga banyak para ilmuwan tepatnya filsuf yang enggan disebutkan sebagai strukturalis, misalnya Michel Foucalt.

Nah, kenapa Kristeva mengatakan seperti itu, karena dalam sastra tersimpan ledakan emosi, luapan rasa, terselubung sebuah pemberontakan, terkandung murka rasa kebenaran dalam kepatuhan sekalipun. Makanya jangan aneh kalau jargon-jargon pergerakan, perlawanan sangat kental dengan nuansa sastranya. Rani pasti ingat dengan Pramoedya, dengan Chairil, dengan Ahmad Wahib, dengan Salman Rushdi, dengan Sartre, dengan Kenzabure Oe, dengan Tan Malaka, dengan Rendra, dengan Tolstoy, dengan Chekov, dengan Gorky sampai dengan Soe Hok Gie yang akan kita bicarakan nanti.

Hampir semuanya menuangkan gagasan revolusionernya dalam bahasa esai, puisi, cerpen … yaitu bahasa sastra. Bahkan kalau Rani pernah membaca puisi karangan Aidit [tokoh PKI itu] Rani akan melihat bagaimana dalam matanya hanya ada api merah pemberontakan! [secara tak sengaja saya membacanya di perpustakaan UIN]. Itulah makanya pada titik ini saya bisa mengambil kesimpulan ekstrim bahwa untuk bisa lebih memahami sebagai seorang manusia maka lebih baik kita mendalami sastra. Bukan main-main tetapi memang begitu keadaannya. Ini hal terkait dengan pembicaraan kita yang akan kita bahas sekarang yaitu pertunjukan teater.

Oh iya, kapan-kapan saya juga mau membicarakan perihal fiqh ... tolong ingetin ya?! Nanti Rani yang kasih temanya; apa yang akan kita bahas. 'Kan bisa sembari cari judul buat skripsi… di tempat saya banyak kitabnya lho kalau perlu nanti bisa saya pinjamkan. Mau Tafsir Nushush?

Kembali lagi, misalnya, kalau kita belajar illmu eksak maka kita akan berubah menjadi mesin, serigid robot, karena pola pikir yang dibangun adalah matematis sistematis, sehabis dua maka tiga. Kalau kita belajar ilmu humaniora maka itu akan lebih memungkinkan kita untuk jauh memahami siapa diri kita karena pola pikirnya acak-abstrak. Seperti halnya yang dikatakan oleh Goethe "kita adalah seperti pemikiran apa yang kita susun"

Sastra tidak hanya berkutat dalam nalar an sich, tetapi mengikutsertakan permainan rasa. Maka tak aneh kalau banyak sastrawan yang pemurung atau bahkan sebaliknya sebab emosinya ia manfaatkan, emosinya ia sublimasikan dalam sebuah karya. Pertanyaannya bisakah seorang Tolstoy membuat karya agung Anna Karenina kalau ia tidak bisa mengolah rasanya, mungkin bisa. Tetapi bukan karya sastra lagi nama dan jenisnya, melainkan filsafat hidup yang dingin dan tegas tanpa perasaan meski sebenarnya tidak begitu menyimpan gejolak.

* * *

Maaf … ngelantur! anggap saja tulisan diatas sebagai penghantar. Untuk pembicaraan kita lebih lanjut. Saya akan mulai tulisan ini dengan sebuah keluhan. Mungkin Rani bisa kasih pandangan dan pendapatnya untuk saya. Ada beberapa keluhan;

1. Ran, saya merasa sakit hati, jengkel, muak, jengah dengan teman saya dengan sikap dan sifatnya sebagai “seorang penjilat sejati”. Rani punya saran untuk menghadapi orang seperti ini … Apa? Membunuhnya? Baik kalau begitu akan saya lakukan …

2. ada saran bagaimana untuk menghadapi dan mengerti seorang perempuan seperti apa ?

3. apakah kedewasaan menggunakan standarisasi umur? Sebenarnya bagaimana sih konsep kedewasaan itu yang sebenarnya.

4. maaf…kenapa intellectual arogancy sering kali muncul dan bagaimana cara mensiasatinya?

5. …..nanti menyusul.

Maaf sekarang saya mau mengeluh tentang kamu. Boleh 'kan?

1. kamu tuh ….

2. ………

3. ……..

Kalau bisa keluhan itu dijawab… ya.

* * *

Untuk pembicaraan mengenai teater saya telah menuliskannya di lembar lain tentang konsep pementasan sampai bagaimana cerita lakon selengkapnya. Dan kalau mau naskah dramanya nanti saya kirimkan. Soalnya naskah yang aslinya acak-acakan. Yang ingin saya tambahkan disini adalah serpihan-serpihan pengalaman yang bersifat pribadi. Tak jenuh 'kan membacanya.

Saya banyak belajar bagaimana memimpin teman-teman yang nota bene umurnya berada di atas saya. Coba Rani bayangkan; saya bertugas jadi sutradara, penulis naskah, penata musik, penata kostum sampai ke penata artistik semuanya saya tangani. Hingga dua hari sebelum pementasan berlangsung saya tidak tidur selama satu hari setengah, saya tidak mandi selama dua hari karena banyak yang harus saya selesaikan. Boro-boro ingat mandi. Kebayang ‘kan? betapa kucelnya saya waktu itu.
Terus … salah satu aktor utama saya jatuh sakit. Terkena DBD [demam bedarah] saya bingung. Siapa penggantinya, masa ‘iya saya ikutan main juga? ‘kan nggak lucu! Untungnya ada teman saya dari STSI yang berani dan bersedia untuk menggantikan.

Akhirnya terselamatkan.

Meski penuh konflik batin tetapi the show must go on!
Mungkin lain waktu kita mesti berbincang mengenai konsep penulisan atau konsep kepengarangan.

* * *

Selanjutnya adalah tentang film Gie, kamu sudah membaca resensi dari 'teman' saya di Ke[R]Sa. Maaf…tapi sejujurnya resensi itu sebetulnya saya yang buat. Begini, karena nggak ada tulisan dari teman-teman, maka kadang kala setiap terbitan tulisan saya semuanya tetapi dengan nama-nama yang berbeda. Kecuali ada beberapa dari tulisan senior. Kamu mau nyumbang tulisan buat edisi depan? Sangat diharapkan…ditunggu ya!

Yang paling menarik dalam film Gie adalah sosok Gienya itu sendiri.Dan disanalah letak kekuatan film itu karakter watak ini dibangun dengan bantuan narasi yang berasal dari catatan hariannya. Ada beberapa tema yang bisa saya simpulkan; tema perjuangan, pemberontakan, idealisme, ada pula tema asmaranya entah memang benar ada dalam kenyataanya atau hanya tafsiran dari sutradara untuk pasar. Mau tidak mau film harus marketable dan komersil. Itulah mengapa Nicolas Saputra ditempatkan, selain mungkin memang cocok untuk memerankan tokoh Gie tetapi film adalah industri perdagangan yang mesti mempertimbangkan logika untung rugi.

Tema yang paling mencolok dalam film ini adalah pemberontakan dan semangat idealisme mahasiswa. Hal ini ditunjukkan penentangan terhadap gurunya. Memang demikian kalau dia bukan guru pandai…guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah…! Guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan kerbau!" tulis Gie.

Kemudian lagi-lagi terhadap gurunya dia berkata "Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah-lidah yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintahan, mereka yang berani melawan para koruptor ditahan…! kita generasi baru ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Kita akan menjadi hakim-hakim atas mereka yang dituduh sebagai koruptor-koruptor tua. Sementara rakyat makin lama makin menderita, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini, mereka…mereka generasi tua! MEREKA YANG MESTI DITEMBAK MATI DI LAPANGAN Banteng…! Cuma pada kebenaran kita bisa berharap, dan radio masih menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu…palsu!"

Pernahkah Rani membayangkan kalau zaman sekarang masih ada orang yang seperti Gie, seperti Chairil, seperti Ahmad Wahib …kita membutuhkan orang-orang seperti itu untuk mengingatkan para birokrat penjilat terlaknat keparat!!! Yang telah menghisap rakyat miskin yang semakin tertindas. Memang benar kata Eko Prasetyo orang miskin dilarang sakit. Bagi saya diktum itu segera dirubah menjadi ORANG MISKIN DILARANG HIDUP!

Film hanya akan menjadi sebatas film kalau tidak ada internalisasi dan kontekstualisasi bagi kehidupan sekarang; apa manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari kita. Bukankah al qur'an juga memerlukan kontekstualisasi, sebab tanpa ini semua Qur'an sudah ketinggalan zaman. Mana ada sekarang konsep hamba sahaya. Masa iya di zaman modern kurban masih harus dijalankan. Kurban adalah ciri khas kaum primitive kata sebagian orang. Iya kalau mau dilihat seperti itu, makanya semua memerlukan kontekstualisasi. Oleh karena itu tafsir mesti terus berjalan. Apapun itu namanya.

Gie juga mengajukan konsep mahasiswa ideal. "Politik partai dan golongan telah masuk kampus. Aku benar tidak simpati..! Aku ingin melihat mahasiswa jika sekiranya dia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis walau bagaimana kecilmya selalu didasarkan pada pinsisp-prinsip yang dewasa. MEREKA HARUS BERANI MENGATAKAN BENAR SEBAGAI KEBENARAN DAN SALAH SEBAGAI KESALAHAN dan tidak menerapkan kebenaran atas nama agama ormas atau golongan apapun". قل العق و لو كا ن مرا dalam hadits dikatakan demikian, berkatalah benar meskipun pahit.

Saya sangat sependapat dengan Gie perihal politik. "Politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur lumpur kotor tetapi jika kita tidak bisa menghindari diri lagi pada maka TERJUNLAH…!"

Asmara Ran, saya tidak akan mengomentari hal ini, karena pengalaman saya kurang dalam hal ini tetapi kisah asmaranya mirip dengan kisah Robert Langdon dalam film The Da Vinci Code.

Terakhir mengenai Gie saya akan tuliskan larik-larik puisi terakhirnya "Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah. Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Mirasa. Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu, sayangku…Bicara tentang anjing anjing kita yang nakal Atau tentang bunga bunga yang manis di lembah Mandalawangi Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau. Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku…Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya tanya Tentang tujuan hidup yang tak satu siapapun tahu"

Begitulah Gie, tiada yang tahu apa yang diinginkannya. Satu keinginannya bahwa ia tak mau jadi pohon bambu, ia ingin menjadi pohon oak yang berani menentang angin.
APA YANG LEBIH PUITIS, SELAIN BERBICARA TENTANG KEBENARAN. Tulis Gie,

Ran! Bangun! Tidak tidur 'kan? Bisakah kita meneladani kehidupannya. Jangan jauh-jauh lah mau mencontoh Nabi,yang dima'sum. Kalau belum bisa mencontoh kehidupan-kehidupan tokoh besar. Nabi terlalu agung untuk dicontoh oleh manusia hina semacam kita … maksudnya saya!… kamu mah nggak. Atau nggak tahu atau tak mau tahu atau nggak tahu bahwa kamu sebenarnya nggak tahu atau kamu tahu bahwa kamu nggak tahu tetapi kamu nggak mau tahu atau kamu tahu tetapi pura-pura nggak tahu … he hehe udah jangan dipikirin.
Apa lagi ya…untuk Gie segini aja dulu.


* * *

Lanjut, saya mau kasih pinjam buku "AKU", kasih pinjam lho! Syukur kalau kamu sudah baca tetapi kalau belum baca Ran rame mungkin bisa menambah semangat. Aku tak akan dulu berkomentar tentang buku ini. Baca aja dulu … ok?!


* * *

Last but not least, Ran, saya harap korespondensi ini bisa tetap berlangsung. Karena saya akan sangat kehilangan. By the way, masakan ibu kamu enak, dan kamu juga enak …

Terimakasih.

bukan maksudku mau berbagi nasib.
nasib adalah kesunyian masing-masing
kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring

jangan satukan hidupmu dengan hidupku
aku memang tak bisa lama bersama
ini juga kutulis dikapal. di laut tidak bernama

-ch.anwar-
Bandung, 24 Agustus '06
Mujahidin, 11:23

Wassalam

0 komentar:

Posting Komentar