
Chairil mengatakan, wahyu, wahyu ada dua. Kadang kala kita mesti menimbang, membagi bahkan membuang. Tentu saja wahyu yang dimaksud dengan Chairil bukan kitab suci, wahyu dalam arti seniman adalah ilham, inspirasi, elan vital…!!! Semangat hidup!
Pada kesempatan ini saya ingin membicarakan soal sastra, khususnya tentang cerita; cerita pendek, novel…lain kesempatan kita akan berbicara mengenai puisi, sajak, drama dan lainnya. Semoga ada umur. Mari kita mulai bertutur.
* * *
"Dasar Rusia…!" itulah yang dapat kuucapkan sehabis membaca kumpulan cerpen dari Leo Tolstoy. Kirana tahu, saya di buat terharu. Bingung. Terhenyak. Tertembak, dibredel oleh berbagai perasaan dan pikiran. Menumpuk. Berkecamuk. Menggumpal. Menjalar seperti virus AIDS yang siap menggerogoti kekebalan tubuh yang lamat-lamat membuat kita sekarat; MATI!. Putu Wijaya bilang; saya kena TEROR! Bukan hanya teror mental, tetapi intelektual, sosial sampai spiritual. Saya dibuat tak berkutik, terperangah dan hanya bisa ucap "Dasar Rusia…!?!"
Terkesan menggeneralisir, memang, tapi what the hell ! toh itu yang bisa saya tangkap. Sekali lagi saya bisa bilang begitu karena terlebih dahulu saya membaca cerpen-cerpen karya Anton Chekov. Tolstoy seangkatan dengan Chekov maka tak urung lagi; pola penyampaian, atmosphere yang hendak dibangun, spirit kehidupan yang ingin disampaikan, klimaks cerita semuanya hampir mirip. Makanya, mungkin, dalam Sosiologi ada bidang kajian yang bernama Sosiologi Sastra. Bidang kajian ini mengkonsentrasikan terhadap bagaimana prosesi sebuah karya sastra ditinjau dari sosio-historis dan geografis pengarang.
Sekilas membicarakan kemiripan dua pengarang besar Rusia tadi, yang paling menarik adalah ending ceritanya. Kadang kala menghentak. Tak tertebak, penuh dengan teka-teki. Misteri. Tetapi kesemuanya sama menuju satu titik yang satu; mati. Mati disini bisa diartikan secara harfiah atau metaforis. Bisa dibayangkan 'kan Kiran?!, hampir semua ending dalam ceritanya berakhir dalam kematian. Kita mendapatkan sebuah buku yang isinya adalah "pemakaman". Pemakaman yang tidak jelas siapa yang mati, tidak terang kenapa dia mati, tidak disebutkan siapa yang membunuh. Kita hanya digiring untuk menyaksikan pemakaman seseorang. Melongo dan berucap lirih heran "oh dia mati ya…" Misalnya Tolstoy, dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu hampir semua tokoh yang diciptakannya berakhir mati.
Tokoh Makar, dalam Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu, mati karena merasa bersalah terhadap Ivan yang dikhianatinya. Dalam cerpen yang berjudul Berapa Luaskah Tanah Yang Diperlukan Seseorang Pakhom pula meninggal; dalam Tuhan Manusia tokoh Nikita bernasib sama; dalam Matinya Ivan Ilyich, dari judulnya juga sudah ketahuan bahwa, Tolstoy memang "berniat" untuk membunuh tokoh Ilyich. Nampaknya Tolstoy doyan "membunuh" tokoh dalam cerita hasil ciptaannya. Tetapi hobi membunuh itu pula tidak hanya menjadi kepunyaan Leo saja, rekan sejawatnya Chekov mempunyai kegemaran yang sama. Misalnya dalam judul Varka Ingin Tidur dengan bengis dan dingin Chekov membunuh tokoh Varka, tetapi tidak sampai disitu, sebelum Varka mati Chekov "sempat" membunuh tokoh bayi yang diasuh oleh Varka. Atau pengarang luar Rusia, misalnya John Steinbeck dalam Tikus Dan Manusia membunuh tokoh utamanya. Apa yang terjadi, apakah seorang sastrawan adalah seorang psikopat? Kenapa mereka gemar membunuh ya?
Mengenai alasan pembunuhan atau matinya tokoh dalam cerita, bisa memunculkan alasan yang beragam macam. Tetapi semuanya terasa sangat aneh, janggal namun masuk akal, sebab toh manusia mati bisa disebabkan oleh apa saja. Tidak ada alasan aneh untuk mati. Itu kalau kita meyakini bahwa Tuhan selalu mengiginkan sesuatu yang masuk akal, dies ratio nabilissme vult! tapi harus diakui, seperti yang dikatakan Dan Brown, Tuhan memang selalu berbuat yang aneh- aneh.
Alasan kematian yang bisa dideteksi dalam Matinya Buruh Kecil adalah bersin; dalam Berapa Luaskah Tanah Yang Diperlukan Seseorang adalah keserakahan; dalam Varka Ingin Tidur adalah kekesalan. Apakah tidak bisa, orang mati disebabkan oleh bersin? Apakah tidak logis kalau ada orang yang mati disebabkan oleh keserakahannya. Alasan-alasan yang remeh temeh itulah yang kadang kala tidak bisa kita terima. Seakan-akan kemunafikan, keserakahan, ketidakadilan, ketulusan, kejujuran, kesedihan tidak bisa membuat mati. Pokoknya semuanya aneh! dan kita hanya bisa bilang "kok bisa mati ya? padahal… ??!"
Sesuatu disebut aneh sebab tidak sama dengan pemahaman orang banyak. Kematian tidak dikarenakan oleh sesuatu yang wah misalnya sakit jantung, tertembak, tegilas mobil, diberi racun. Alasan yang lazim diterima oleh orang banyak yang bisa membuat orang bisa bilang "pantas aja mati! Karena…?!!" [kepantasan]. Atau memang ada sesuatu yang memestikan si tokoh itu mati. Sekali lagi, kematian adalah misteri, seseorang bersin bisa mati tetapi sebaliknya seseorang sudah berpuluh puluh tahun menderita sakit eh…masih tetap bugar. Ini adalah misteri. Kiran, tahu tentang misteri dalam film Shakespeare In Love bukan?
Itu tentang tema, sekarang mengenai alur. Alur yang sering menjadi topik pembicaraan dalam cerita yang digunakan oleh Tolstoy dan Chekov bersifat klasik namun dalam bingkaian gaya paradoks, satire dan ironi. Gaya seperti ini adalah andalan pengarang yang sangat memungkinkan untuk bebas mengkritik kondisi sosial pada zamannya. Satire seperti halnya karikatur, anekdot dengan lancar meluncur bebas tanpa tedeng aling-aling menyerapahi kondisi busuk para birokrat yang penuh dengan kemunafikan, kecenderungan untuk memanipulasi orang lain serta praktek penjilatan dan korupsi. Hal ini dikarenakan satire, anekdot dan lainnya mempunyai logika sendiri, kalau yang dikritik merasa sakit hati dan tersindir, dia tidak bisa menyalahkan cerita atau gambar sebab pada dasarnya gambar atau cerita itu memang tidak ditujukan kepada seseorang. Logika berkelit. Kalau dia merasa tersindir itu bukan salah pengarang.
Gaya bahasa yang dipakainyapun adalah bahasa sehari-hari, lugas, tegas dan jelas dalam artian tidak penuh dengan penggambaran metaforis. Dalam hal inilah tersimpan daya pikatnya, dengan begitu pembaca tidak perlu membuka kamus bahasa untuk menterjemahkan, "apa sih ini artinya?". Setelah membaca, pesan yang disampaikan sudah ngena tertancap. Tetapi hebatnya, pengarang tidak memberikan arahan reaksi seperti bagaimana yang mesti diambil setelah membacanya. Justeru disinilah letak keunikannya, daya magisnya, daya sihirnya. Pembaca akan berdiri, senyum-senyum sendiri, pening, liar dan melayang melakukan pendakian spritualitas dengan melihat dirinya. Pengarang tidak menggurui mana baik mana benar tetapi hanya menjabarkan "gini lo kondisi kita saat ini, terus kita mau apa…?" Semua sepenuhnya diserahkan kepada pembaca, mau marah, nangis, tertawa lebar, maki-maki, jumpalitan…terserah! What ever!
Kalau melihat cerita-cerita Chekov, Tolstoy, Gorky dan pengarang rusia lainnya, semuanya memiliki nada dan irama yang sama mengingat kondisi sosial dimana mereka hidup. Stalin. Komunis. Sehingga kalaupun saya bisa menggambarkan keadaannya seperti senyum getir tentang kerasnya kehidupan dan erang keputusasaan. Kalau membunuh tak kagok, kalau jujur terperosok, maka jalan keluarnya adalah memakai kedok. Muncullah kemunafikan, penjilatan seperti dalam cerita Chekov yang berjudul Pengakuan, Munafik, Di Kedai Cukur, Seorang Bandot Dan Seorang Nona. Seperti kata Chekov sendiri "… di zaman kita ini orang lebih mudah kehilangan kepercayaan daripada kehilangan saputangan tua!"
Kiran… berbeda dengan dua novel Dan Brown, The Da Vinci Code dan Malikat-Iblis. Cerita yang disuguhkan oleh Brown tidak semencekam cerita Chekov dan Tolstoy. Memang salah menggandengkan Chekov-Tolstoy-Brown. Kedua pengarang yang awal disebutkan termasuk maestro klasik, sedangkan Dan lahir ketika zaman Madonna berjudul Music. Tapi saya ingin membicarakan kedua karya Brown ini.
The Da Vinci Code sekarang sudah difilmkan, Kiran sudah nonton? Sedikit mengomentari, ternyata filmmya "biasa saja" tidak se"luarbiasa" novelnya. Bagi saya, novelnya lebih rame daripada filmnya. Tetapi keduanya memiliki kekhasannya sendiri. Kalau membaca novelnya, saya merasakan pemburuan harta karun yang menegangkan sebab untuk memecahkan satu kode ke kode lainya memerlukan penjelajahan sejarah dengan berpetakan simbologi. Setelah memecahkan satu kode, puasnya bukan main! Tetapi dalam film semuanya terasa sangat singkat, perjalanan sejarah yang tadi saya sebutkan kurang ditunjukkan. Ketika bagaimana memecahkan anagram Madonna Of The Rocks, dalam novel sulitnya bukan main, tetapi dalam film…eh kok cepat banget ya? Rasa penasarannya kurang, gregetnya terreduksi.
Contoh lain adalah ketika hendak memecahkan teka-teki pahlawan yang di kuburkan di sebuah gereja oleh Paus…[Paus siapa gitu saya lupa lagi], bermodalkan puisi itu juga nggak kerasa ngehnya. Singkat kata, rasa kepenasarannya sedikit menghilang.
Kekhasan film, dengan kata lain kelebihan dalam bahasa visual adalah kita bisa lebih menikmati gedung-gedung bersejarah, lukisan Da Vinci [meskipun sekilas] apalagi pada saat scene Leigh menjelaskan Maria Magdalena dalam lukisan Perjamuan Terakhir dengan bantuan visual sedikit terbantu dan terjelaskan [karena teksnya mendadak hilang]. Beberapa lembar dalam novel dengan singkat gaya bahasa filmis bisa disingkat hanya satu scene, misalnya ketika Robert dan Neveu menanyakan perihal paus dan pahlawan yang dikuburkan tidak memerlukan pergi ke perpustakaan tetapi cukup dengan bannona HP yang memiliki akses ke perpustakaan, sehingga seorang pustakawati yang disebutkan dalam novel berubah menjadi sebuah telepon genggam. Sah dan why not? Inilah kelebihan gaya bahasa film.
Kita belum membicarakan seputar polemik teologinya, Kiran, baru luarannya aja. Gaya novel Dan ini kalau meminjam istilah film memiliki genre suspense, teka-teki yang mesti dijawab seperti halnya detektif Sir Conan Doyle. Tetapi yang membuat asyik adalah teka-teki ini berdasarkan fakta sejarah tentang seni masa lalu yang lebih argumentatif. Bahasanya tidak terlalu nyastra mengalir seperti orang menuturkan kisahnya kepada kita, tidak terlampau metaforis tetapi ada sedikit nyentil humor gaya Amerika. Seperti ketika Sophie menanyakan kalau ia lupa nomor paswordnya, atau dengan versi film Sophie menyebutkan pernah diberi satu criptex, maka Langdon menjawab bahwa ia juga pernah diberi hadiah gerbong kereta api oleh kakeknya. Humor yang dingin khas Amerika/Holywood.
Saya sangat setuju dengan Tom Hanks sebagai Robert Langdon, Hanks mempunyai kemampuan akting watak dan memiliki kesan intelek. Dengan raut muka dan mimik wajah yang sangat khas intelegensia. Mengenai Neveu, terlalu manis, sehingga pasangan Hanks dan Neveu lebih terkesan seperti ayah dan anak bukan partner tetapi itu tak menjadi halangan sebab tidak disebutkan rentang usia yang menjarakinya. Dan ini bukan kisah cinta!
Sebagaimana cinta adalah bahasa universal, dalam versi film penunjukkan perhatian ketertarikan Langdon terhadap Neveu sangat bisa disebut manis dan berhasil seakan menunjukkan inilah gaya cinta seorang intelegensia! Hal ini terlihat ketika akhir scene di gereja tempat Maria Magadalena, bagaimana senyuman Sophie Neveu seakan berbicara; tangkaplah aku, kejarlah aku, aku tak mungkin akan memulai duluan, aku menyukaimu. Tetapi asyiknya Langdon hanya menoleh dan membalas senyuman seakan ingin berbicara, meminjam ungkapan seorang teman, some words are better unspoken and some feelings are better are remain unsaid. Tabik! Dan Brown.
Tapi Kirana film ini, sebagaimana novelnya mendapat respon yang sangat dari umat Kristen, karena dianggap akan "melecehkan" agama Kristen. Sebab menyebutkan Yesus menikah dan mempunyai anak dengan Maria Magdalena, bukan Tuhan lagi tapi hanya manusia. Magnis Suseno berkomentar dalam majalah Tempo ini adalah hiburan bukan permasalahan teologi, sepertinya keadaan ini semisal dengan karikatur nabi Muhammad.
Untuk permasalahan teologi, perlu pembahasan yang mendalam, maka dari itu aku enggan membicarakannya disini. Sekarang mari kita beralih ke novel Dan yang kedua Malaikat Dan Iblis. Novel Brown yang kedua ini, makin membuat saya terkesan, bagaimana apiknya Brown mengungkap kebenaran dengan permainan simbol seni yang dikemas, masih dengan gaya, suspense.
Langdon diperpanjang "kontraknya" dengan Dan Brown, dalam novel Malaikat Dan Iblis masih menjadi pemeran utamanya dibarengi dengan Vetra. Kalau kita melihat kedua novel Brown tadi maka akan dengan sangat mudah kita melihat kesamaanya. Pertama diawali dengan pembunuhan seorang ilmuwan, dalam Malaikat Dan Iblis, dan seorang seniman kurator terkenal The Da Vinci Code.
Pemeran utama sama Langdon dan Sophie Neveu, The Da Vinci Code. Langdon dan Vittoria Vetra, Malaikat Dan Iblis. Permusuhan antara seni dan agama The Da Vinci Code. Pertentangan ilmu dengan agama Malaikat Dan Iblis. Pembunuh Silas, The Da Vinci Code, Hassasin Malaikat Dan Iblis. Alurnya sama suspense, teka-teki, penguakkan rahasia sejarah masa lalu dengan simbol ilmu-agama-seni.
Sekilas mengenai Malaikat Dan Iblis. Kelompok yang sudah dianggap beku dan mati beberapa abad silam kembali mengadakan balas dendam, kelompok itu bernama ILLUMINATI. Cerita diawali oleh kematian seorang ilmuwan CERN yang diberi stempel ILLUMINATI di dadanya. Kemudian Kohler, direktur CERN menghubungi Langdon dan petualangganpun dimulai. Inti kisah dari novel ini adalah pencarian antimateri [semisal bahan bom atom yang sangat sensitif dan lebih berbahaya dari jenis bom manapun].
Antimateri ini dicuri oleh ILLUMINATI untuk menghancurkan Vatikan, kemudian Langdon dan Vetra cucu dari Ilmuwan yang dibunuh, terbang ke Roma untuk menemukannya. Kisah ini menjadi rumit ketika di Roma sedang diadakan pemilihan Paus yang baru, secara otomatis seluruh kardinal dari seluruh dunia berkumpul di gedung itu. Keadaan ditambah parah ketika keempat kardinal yang dijagokan untuk menjadi paus selanjutnya diculik.
Ternyata penculiknya adalah si Hassasin pembunuh dari kaum ILLMUNINATI, Hassasin akan membunuh kardinal satu persatu dan untuk menemukan tempat kardinal akan dibunuh maka Hassasin memberi petunjuk yang mesti dipecahkan oleh Langdon. Petunjuk itu adalah empat elemen ilmu pengetahuan; air, udara, tanah dan api.
Pencarian pun dimulai dan setiap kardinal yang dibunuh diberi cap keempat elemen tadi [air, udara, tanah dan api]. Di akhir cerita ada skandal yang menarik, ternyata paus telah melakukan dosa, Paus memiliki anak! Dalam aturan Kristen seorang pendeta, apalagi paus!, tidak boleh menikah apalagi mempunyai anak.
Tetapi catatan dalam novel ini adalah. Tokoh pembunuh Hassasin dipersonifikasikan kepada orang Timur Tengah yaitu Arab dan mempunyai kecanduan melakukan seks. Terlepas dari fakta sejarah, tetapi bagi kita yang nota bene orang Islam tentu akan merasa sakit hati dengan penokohan ini terlebih diberi dengan cap cabul. Inikah gambaran umat Kristen terhadap Islam? Pembunuh dan tukang cabul! Kirana sebagai seorang muslimah [untuk menghindari kata "akhwat"] wajib membaca. Ok!
Oh iya! satu lagi, Paulo Coelho dengan rentetan novelnya, Sang Alkemis, Iblis Dan Nona Prym, Veronika Memutuskan Mati, The Fifth Mountain, Di Tepi Sungai Piedra Aku Menagis Dan Tersedu. Lain kali kita akan membicarakannya. Kiran, kita sudah membicarakan sastra dari luar, lantas apa kabarnya Indonesia? Banyak juga novel yang bagus dari Indonesia. Ok! Saya awali dari novel Muhidin M Dahlan, Saya Buku Dan Sepotong Sajak Cinta.
Dalam novel ini, selintas kita melihat novel ini seperti autobioghrapy Muhidin tapi benarkah itu? hanya Muhidin yang tahu. Saya banyak belajar dari dia, gaya tulisan yang mengalir jujur, norak, seakan menulis adalah sebuah kebutuhan. Muhidin tidak rumit dalam penulisannya yang penting bagi dia, hemat saya, adalah gagasannya sampai mau bagus atau jelek tulisannya yang jelas aku menyampaikan gagasanku lewat tulisan dan tidak semua orang bisa lo!
Dalam novelnya ini, kita diajak untuk mencermati tokoh si aku. Karena gaya penceritaannya adalah sudut pandang pertama jadi seakan-akan memang kita yang menjalani. Novelnya ini disusun dengan pengakuan-pengakuan. Pengakuan yang menarik bagi saya adalah Pengakuan; Katakan Cinta Dengan Sebuah Bulletin Dan Putuskan Dengan Sebuah Sajak Cinta. Si aku, mencintai seorang gadis, tetapi sayangnya aku tidak bisa mengungkapkan perasaan cintanya itu. Maka aku, dalam hal ini Muhidin, membuat bulletin untuknya. Tentang perasaanku kepadanya. Dan terus berulang, aku buatkan bulletin untuknya dan kukirimkan ke rumahnya ketika tidak ada orang kemudian setelah itu kabur. Tetapi satu ketika, gadis itu menggandeng laki-laki lain, maka tak alang kepalang aku sakit hati. Maka Muhidin membuat sajak cinta, setelah itu Muhidin menggambarkan dengan sangat elegan dan menarik bagaimana tokoh si aku mengalami depresi dengan ungkapannya" aku melenguh seperti sapi yang sakit jiwa…"
Si aku menulis catatan harian diawali yang dengan ungkapan filsuf Nietszche "harapan adalah kejahatan terburuk karena menambah kesengsaraan umat manusia…" setelah terpuruk dan mendapatkan pencerahan spritual maka si aku melanjutkan petualangannya. Selebihnya kita akan disuguhkan dengan penampilan menarik nan lincah dari Muhidin dalam mengemas pengalamannya. Semoga aku bisa menjadi seperti dia, doakan Kiran!
Novel lain dari Muhidin adalah Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur…!, sangat menantang bukan judulnya, Kiran? Ceritanya adalah tentang seorang wanita jilbaber yang mencari seorang pelacur, [HAH…!?! terkejut.] ya…pelacur! Cerita ini sangat memukau!, nama jilbaber itu adalah Nidah Kirani, nama yang indah bukan? Seperti namamu Kirana Maharani, tapi kamu jangan jadi pelacur ya…? Canda Kiran, sueeer! Kamu akan menjadi wanita shalehah, amiin [slam]dunk!
Saya sangat terkesan dengan penggambaran Muhidin tentang sosok Nidah ini seolah-olah ditulis oleh seorang perempuan. Pemikiran Nidah Kirani yang sangat tak tertebak, high quality. Dalam novel ini kita akan menemukan pergolakan batin seorang perempuan yang kerap menggunakan alasan normatif [teks keagamaan] dan nalar intelektualnya untuk permasalahan kehidupannya.
Novel lainnya lagi, baru-baru ini yang keluar menjadi best seller. Laskar Pelangi judulnya oleh Andrea Hirata. Dia bukan orang Jepang Kiran! Yang menarik dari novel ini adalah. Novel ini ditulis bukan oleh orang "sastra" dan novel ini adalah novel pertamanya. Menceritakan sepuluh ana SD di sekolah peyok; Ikal [Andrea Hirata] Lintang, Mahar, Kucai, Aisha, Samson, Flo, Traffani…duh lupa lagi Kir, saya nggak mnemonic!
Pokoknya, semuanya memiliki kemampuan yang unik. Lintang mempunyai kelebihan dalam hal bidang eksak. Mahar dalam bidang seni, Kucai mempunyai kemampuan diplomasi, Ikal pemerhati sosial…semuanya masih SD, bisa dibayangkan kekonyolan yang terjadi diantara mereka bukan? Belagu. Penggambaran Hirata dalam novelnya ini sangat menarik, membuat saya menangis, tersedu, haru, lucu, menggemaskan. Namun sayangnya Hirata banyak menggunakan pengandaian memakai istilah biologi dan kimia, meski ada glossari tetapi tetap saja memusingkan.
Kalau dari tadi kita sudah benyak memnicarakan novelis pria, mana wanitanya. Banyak Kiran, Ayu Utami dengan Larung dan Shamannya, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan lainnya lagi. Namun sayang, hemat pribadi, perempuan ini terlalu vulgar dalam menggunakan kosa kata bahasanya sehingga permasalahan intim wanitapun sangat dibredelkan dengan jelas dan tegas.
Misalnya Ayu Utami dalam Shaman menggambarkan [maaf] hubungan intim, jima' antara adam dan hawa sangat erotik memang memiliki komposisi sastra yang tinggi namun kalau perempuan membacanya dijamin malu, saya juga… mesem, mesem.
Saya kira pembicaraan dicukupkan sekian dulu, lain waktu kita ketemu lagi dalam pembahasan yang berbeda.
C'est tout…! Itu saja
Wasalam

0 komentar:
Posting Komentar