Kepada Teman Sejalan


Kepada
Teman Sejalan
di
Saujana.

Assalamu'alaikum...

Kau tanyakan mengenai pesan yang ingin disampaikan dalam pementasan teater kita nanti? Apa pesan yang hendak disampaikan? tanyamu ... dan pikirku mulai besenandung ... apa ya. Baiklah ... begini teman, karena aku mengetahui kajian yang lebih kau tekuni berkutat pada wacana semata, dalam artian teoritis. Maka lebih baik aku berbicara dengan bahasamu saja.
* * *

Anggap saja teater adalah sebuah karangan. Karya sastra. Teman sendiri tahu, bagaimana caranya untuk mengerti karya sastra. Aku ingatkan ... jikalau lupa! Sebagaimana memahami karya sastra pada umumnya, yang tidak hanya bisa dipahami secara selintas-pintas maka begitu pula teater. Dalam karya sastra tentu bukan nalar saja yang berbicara tetapi rasa juga ikut berkata. Secara prosessif, penciptaan karya sastra; penyair, cerpenis, dramawan atau yang lainnya kadang kala rasalah yang dominan bekerja bukan nalar. Saya tegaskan, kadang kala! bukan berati menegasikan. Dan nalar hanya menjadi penunjang untuk menyampaikan perasaannya itu. Dalam nalar ini dimaksudkan juga; imajinasi. 

Oleh karena, itu untuk bisa memahami lebih utuh pesan yang disampaikan oleh teater sekiranya SISAkan porsi ruang untuk rasa lebih besar. Bahasa yang dikeluarkan dari hati maka akan sampai pula ke hati. Karena bahasa yang digunakan dalam pementasan teater tidak sama seperti halnya bahasa yang digunakan dalam karangan ilmiah. Dalam karangan ilmiah kita bisa menangkap langsung pesan yang disampaikan oleh pembicara/penulis secara verbal lugas, tegas dan jelas.

Satu saja ada kalimat atau kata yang memiliki makna ambigu... maka akan dikritik mati-matian. Ada kalimat yang diulang-ulang, langsung dikutuk repetitif. Ada kalimat yang terlalu panjang, akan disumpahi pleonasme. Makanya ada yang menyebutkan bahwa karya ilmiah adalah karangan KETAT sedang karya sastra adalah karangan LONGGAR. Bebaskan saja ... sebab bagaimana rasanya hidup dalam keterkungkungan. Julia Kristeva mengatakan, salah satu komuni Tel Quel, temannya Derrida bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang memungkinkan untuk melakukan revolusi. Bahasa sastra adalah luapan jiwa, kekesalan hati, kemuakkan ... pemberontakkan! Mau merasakan menjadi "manusia seutuhnya" tekunilah sastra ...

Karena drama tergolongkan dalam karya sastra dan drama berkait erat dengan teater. Maka hukum yang digunakan adalah hukum teater karena drama mendapatkan jasadnya dalam teater. Dalam pementasan ... Sekali lagi berbeda dengan bahasa yang digunakan karya ilmiah. Bahasa dalam teater selalu rumit dan kadangkala tak berarti. Kalau dalam semantik kamu menuduh arbitrer maka dalam teater itu adalah keasyikan. Dan jangan tanyakan kenapa karena kadangkala ada sesuatu hal yang tidak bisa dirasionalisasikan.

Kembali kepada pertanyaan awal; apa pesan? Pesan disampaikan lewat bahasa, bukan? Nah, mari kita sama-sama memahami bagaimana teater menyampaikan pesannya.

Sebagai "orang luar" (penonton) kita bisa memahami pesan yang ingin disampaikan melalui; aktor meliputi suara, gerak, mimik wajah (suasana hati); properti meliputi kostum aktor, setting panggung, properti yang digunakan aktor (memakai tongkat dan lain-lain); musik, apa pesan dari musik ... inilah seni bung! Rasa. Bukan logika!

Pertanyaannya; bagaimana kalau kita salah melakukan interpretasi terhadap pementasan? Kenapa ini menjadi masalah, toh sutradara juga melakukan interpretasi terhadap naskah, kalau itu naskah buatan orang lain. Kalau naskah bikinan sendiri? Dia tidak mencipta dari ruang hampa bukan? Berarti dia menafsir realitas. Dan tafsiran realitas pasti berbeda-beda. Bukankah kita sama-sama belajar bagaimana caranya menafsir? Yang penting, jangan mau benar sendiri (ajak-ajak yang lain ... supaya benar)

Sebagai "orang dalam" (aktor-sutradara dan crew). Tugas kita adalah menyuarakan pesan yang hendak disampaikan. 

Pementasan teater memakai "bahasa"nya sendiri, yang kadang bisa dimengerti kadang tidak. Bahasa yang dimaksudkan bisa jadi bahasa metaforis dalam bentuk kata. Atau juga simbolisasi dalam musik, gerak, properti.

Oleh karena itu dalam tradisi teater, SEORANG AKTOR ADALAH KENDARAAN PENYAMPAI PESAN. Dan sopirnya bernama sutradara. Sopir tidak bisa bekerja kalau kendaraannya tidak mau bergerak. Pesan tidak akan bisa disampaikan kalau kendaraannya rusak. Begitu pula, kendaraaan tidak akan bergerak sendiri kalau tidak ada sopir. Oleh karena itulah dalam proses pementasan yang dibutuhkan adalah kesaling pengertian, kesaling pemahaman, kerjasama yang oleh Suyatna Anirun disebutkan sebagai proses ensamble. 

Bagaimana rasanya kalau kaki sakit apakah mulut akan tertawa? itulah prinsip sederhana yang sering terlupakan dalam kehidupan kita yang menjadi urat nadi dalam pementasan. Aktor dengan aktor lain harus sebagai kesanona dalam tubuh, terjalin ikatan saling memiliki, saling membantu.

Tentang pesan ... saya kira jangan terlalu dipusingkan dengan pertanyaan; APA PESAN YANG HENDAK BISA DISAMPAIKAN? Tetapi pertanyaan besarnya adalah BAGAIMANA PESAN ITU BISA DISAMPAIKAN? Itulah yang sulit! Kalau memang benar teman ingin tahu apa pesan yang disampaikan. Saya bisa ngarang! Pesannya adalah kemanusiaan, kemunafikan dan berbagai tema agung nan luhur yang lainnya, tetapi apakah pesan itu sampai atau tidak? Saya tidak menjamin.

Itulah budaya kita, kita tahu pesan yang ingin disampaikan tetapi tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Pesan al qur'an itu rahmatan lil 'alamin, tetapi apakah pesan itu sudah tersampaikan? Saya kira belum, buktinya ... masih banyak umat islam yang meragukan bahwa al Qur'an adalah rahmatan lil 'alamin. Keraguan disini jangan diartikan dengan keraguan verbal "saya ragu" tetapi lihat tindakannya. Bisa jadi, orang yang bilang ragu itu [secara verbal] lebih yakin daripada yang yakin [secara verbal]

Itulah teman ... karena kita sebagai "aktor dalam pementasan" maka saya sarankan untuk lebih bisa memahami dan mendalami dengan pertanyaan; bagaimana caranya untuk menyampaikan pesan? Tapi, 'kan kita tidak bisa berbicara tentang cara penyampaian pesan tanpa mengetahui pesan yang hendak diutarakan, katamu. Kalau itu yang menjadi masalahnya. Saya katakan bahwa kita ini adalah aktor dalam teater yang kalaupun mengandaikan bahasa teologis kita ini adalah khalifah. Apa tugas seorang khalifah. Mengurus bumi ini, dunia ini, lingkungan ini. Nah, karena sekarang banyak yang lupa bahwa kita adalah pengurus lingkungan ini, maka tugas kita untuk mengingatkan.

Mengingatkan apa? Berlakulah kepada orang lain, sebagaimana kita ingin diperlakukan. Setidaknya dengan prinsip ini, kita bisa mengurangi kedengkian terhadap orang lain, bisa lebih perduli kepada orang lain. Bisa lebih manusiawi. Bisa lebih memanusiakan manusia. Bisa lebih menghayati bahwa diri kita ini adalah manusia!

Prinsip dalam pementasan kita adalah; Menggorok leher. Leher sendiri atau leher orang lain. Tetapi tanpa menyakiti tanpa diketahui. Semacam pencurian, kucing-kucingan, akal-akalan kadang-kadang ngumpet-ngumpet bila perlu menghapus jejak sama sekali. Sama sekali tidak berpretensi memberi resep, apalagi menjadi pahlawan. Hanya menyeret orang untuk melihat begitu banyak alternatif yang ada di sekitar yang bertumpuk, yang cakar-cakaran dan memecah belah manusia menjadi individu-individu atau kelompok-kelompok.

Hanya sekedar untuk mengagetkan, mencubit, menarik perhatian, mengganggu, menteror orang supaya berhenti sebentar. Lalu berpikir dan mungkin ingat kembali bahwa dia itu manusia. Bukan alat, sistem, aliran, jalan pikiran, tentara, polisi, ustadz, dosen, mahasiswa, tukang beca, pedagang dan sebagainya. Tetapi jiwa dan raga! (Putu Wijawa, 2001; 251)

Bandung, 14 juli 2006
9:10

Wassalam,
teditaufiqrahman

0 komentar:

Posting Komentar