Kepada Santri Pesantren Luhur


Kepada; Semua Kawan di Pesantren Luhur
; Sani Sonjaya, Hendra Kadarusman, Yuki Agustin, Rohman Hendrayana, Supriatnya Abdul Ghafur, Toni Abd Syukur, Taofik Yusmansyah, Mt Hartono Iksan, M Ikbal Dahlan, Imas Sri Rayani, Faizal Aad … maaf yang tidak kesebut itu sengaja

Di saujana

Pemberian yang paling abadi adalah kata yang mempribadi…

Anggap saja surat ini adalah sebuah senandika duka, solilokui sengsara, kabar dari kawan lama yang sudah lampau tidak menyapa, gumam yang merayap tanpa sayap, coretan dari tangan gundah sekaligus resah, mengirim tabik kepada seluruh santri.

Surat ini sudah dua minggu dipendam dalam peti bisu berharap waktu bisa menadahkan jawab, tapi ternyata gelisah ini semakin memunculkan banyak tanya, memuntahkan segala macam sumpah serapah yang tak mampu dibantah, memicingkan mata yang tak kunjung berhenti nyalang, meraksak hati untuk segera berteriak dan memaksa tangan untuk segera bertindak.

Akhirnya surat ini keluar juga, meronta-ronta meminta untuk bicara. Maaf bagi semua pihak yang merasa tersinggung, surat ini adalah obat jengah saja, tak ada maksud lain. Semoga di sikapi dengan arif dan pemahaman luhur (?)

muka memberita luka, suara membicara sungkawa..
ada apa dengan kita..


Salam sejahtera di dunia dan di akhirat untukmu kawan, Goethe mengatakan "dan jika umat manusia bisu dalam tersiksanya dewa memberiku anugerah untuk bercerita bagaimana aku menderita". Bagi saya, tidak ada satupun manusia yang tidak pernah menderita, semuanya pernah mengalami apa yang dinamakan dengan penderitaan. Pernyataan, yang saya ungkapkan, ini adalah kebenaran aksiomatik. Satu keniscayaan. Yang mau tidak mau, akan/sedang atau telah kita alami dalam kehidupan ini.

Arti sederhana dari derita adalah tanggungan/kesengsaraan/kesusahan; yang berarti menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan, yang menyusahkan dan membuat sengsara. Maka penderitaan itu bisa menjelma menjadi kelaparan dalam arti yang sebenarnya (misalnya, susah tuang), kebingungan eksistensial (bingung mikiran jati diri), pekerjaan yang tidak kunjung beres (skripsi, jurnal, ontology cerpen, ujian?), tak punya ongkos buat kuliah, teu boga kabogoh, nungguan damri, rumah disegel dipaksa pindah, masa depan yang absurd! Dan pelbagai macam penderitaan lainnya yang terkait dengan material atau immaterial, fisik dan psikis, tubuh pula ruh, badan serta jiwa. Singkatnya, sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan sudah bisa disebutkan dengan derita; penderitaan. Maka logislah kalau ada yang mengatakan bahwa dunia bagi orang Islam adalah penjara (sebab penjara identik dengan kesusahan, ketidaksenangan dan penderitaan). 

Atau mungkin ada juga yang menderita, karena belum pernah merasakan penderitaan. Memang jarang, tapi bukan berarti tidak ada 'kan?! Misalnya, orang yang tidak sadar bahwa dirinya menderita, tak akan pernah merasakan penderitaan. Orang yang tidak mengakui bahwa dirinya menderita juga tak akan pernah merasakan penderitaan. Untuk mengakui dan sadar akan penderitaan dibutuhkan kejujuran. Dan untuk jujur bukan hal yang gampang, karena dalam kejujuran tersimpan pengakuan terhadap kelemahan.

Dengan jujur secara tidak langsung kita mengakui kelemahan diri kita sendiri, pertanyaannya siapa sih yang mau dianggap lemah? Maka selemah apapun manusia, pikir-pikir dulu kalau mau mengatakan kelemahannya, setidaknya ada apologi atau pledoi untuk sampai pada pengakuan tentang kelemahannya itu. Karena kita, manusia, memang sombong dan selalu di hiasi dengan sifat angkuh! Termasuk saya. 

Begitulah, penderitaan seolah bayang-bayang yang akan selalu mengikuti, menghantui kemanapun kita akan pergi sekalipun kita menyerangnya dengan psikologi positif, Martin Seligman. Penderitaan akan tetap ada, sebagaimana kita menginginkan kebahagiaan selalu ada. Dikarenakan penderitaan akan selalu ada dalam diri umat manusia maka ada beberapa sikap/respon manusia terhadap penderitaannya ini, menurut Goethe ada yang bisu, ada juga yang bercerita. Manusia yang bisu tak perlu mengakui penderitaannya kepada orang lain, cukup dipendam saja dalam hatinya yang meski akan terjebak pada sifat masokhis dan menjadi akumulasi energi thanatos bagi diri sendiri atau orang lain . 

Ada juga manusia yang kepengen bercerita tentang penderitaannya, bisa kepada orang lain atau hanya berdialog dengan diri sendiri, introspektif/muhasabah. Penderitaannya itu sering disublimasikan dalam bentuk lain misalnya membuat karya, hal ini sering dilakukan oleh para penulis seperti Khalil Gibran, Leo Tolstoy, Chekov, Muhidin M Dahlan, Andrea Hirata, Rendra, de Beauvoir, Coelho dan lain sebagainya.

Penderitaan bagi beberapa orang yang telah saya sebutkan, bisa jadi adalah modal dasar untuk mengembangkan kreativitasnya dalam berkarya. Tapi masa iya? Orang harus menderita dulu sebelum bisa berkarya? Kasian juga. Hannah Arendt mengatakan "derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma menjadi cerita". Sebetulnya tidak hanya derita saja yang bisa ditanggungkan ketika menjadi cerita, suka juga bisa.

Meski saya bukan penulis, tetapi saya tak sanggup menanggung penderitaan ini sendiri. Saya mau mengabarkan perihal penderitaan saya ini kepada kamu, meski dengan kemampuan bercerita yang pas-pasan dan pasti akan ditertawakan atau bahkan saya sudah siap kalau pada suatu saat nanti tulisan saya ini juga akan DISOBEK sama seperti sajak-sajak yang pernah saya tempelkan di mading dan di kamar.

Sekalian saja, saya ingin mengatakan dengan lantang kepada penyobek sajak-sajak dan puisi saya itu "kamu tak punya batang PENIS! SPERMAmu terlalu encer untuk sekedar melahirkan puisi atau sajak! Kusarankan kau sarapan pagi dengan VAGINA!"

Surat saya ini, dengan sangat sadar saya akui, jauh dari ilmiah, subjektif, penuh dengan emosi dan tak memenuhi syarat transformatif!!! (sialan! Apa juga yang dimaksud dengan transformatif?) Maka wajar kalau kamu bakalan meresponnya dengan mencibir, memperanjingkan, menyampahkan dan mengacuhkan! Tapi tak apa, saya mempunyai beberapa alasan mengapa tetap saya melancarkan keinginan saya ini, supaya kamu mengetahui apa yang saya pikirkan selama ini, apa derita saya selama ini. Alasan itu adalah…

gumpal darah di buku itu mengkilau. dan engkau bertanya,
mengapa mengerbuk sesuatu?
aku jawab,
kata berurai air mata, aku terlunta meski tak meminta..
disekap sunyi ditikam sepi, ada apa dengan kita..


Bahwa setiap kita memiliki kemampuan dalam menafsirkan kenyataan dengan paradigma masing-masing kita, entah itu filosofis, sosiologis, hermeneutis, erotis, historis, emansipatoris, kritis dan is-is lain sebagainya. Setiap paradigma mempunyai asumsi fundamental yang bisa dikompromikan dan tidak bisa dikompromikan satu dengan yang lainnya. Pengkompromian itu bisanya dilakukan dalam ruang public yang sering dilakukan dengan jalan dialog lewat tindakan persuasi, Habbermas menyebutnya dengan, atau tindakan komunikatif. 

Nah, dalam ruang public ini dialog bisa terjadi, perbedaan bisa dibicarakan, permasalahan bisa diselesaikan dan, hemat saya, penderitaan bisa ditanggungkan. Karena ruang public tidak melulu diisi dengan intellectual discourse an sich tetapi bisa menjadi tempat self representation.

Setiap orang bisa mengeskpresikan ke"diri"annya secara utuh dan menyeluruh. Tanpa ada intimidasi. Maka salah satu jalan dalam dialog adalah, mengikuti Bagus Takwin, a) manusia berhadap-hadapan sebagai pihak yang sejajar dan berdaulat sehingga komunikasi tidak menciptakan situasi subjek-subjek yang bersubordinasi satu sama lain, b) komunikasi menyediakan ruang kebebasan untuk menangkap maksud orang lain dan tidak ada pemaksaan agar satu pendapat diterima dan yang lainya disampahkan.

Dengan begitu setiap orang dengan kompetensinya masing-masing diperbolehkan untuk berbicara dan bertindak dalam satu diskursus, setiap orang diperbolehkan mempertanyakan pernyataan apa saja yang diucapkan orang lain dalam proses komunikasi, setiap orang diperbolehkan mengajukan keputusan apa saja ke dalam diskursus, setiap orang diperbolehkan mengeskpresikan perilaku keinginan dan kebutuhannya.

Dengan menandaskan asumsi yang telah saya sebutkan diatas, maka sah dan logis lah kalau surat ini berhak ada di ruang public. Karena dialog bagi saya tidak hanya sebatas diartikan dengan tindakan persuasi, ngomong. Dialog bisa juga dimaksudkan dengan melemparkan gagasan lewat tulisan dan tulisan ini juga tidak mesti ketat ilmiah bisa saja dalam bentuk longgar sastra misalnya surat, puisi, cerpen, sajak, prosa, essai dan lainnya.

Alasan, selanjutnya adalah karena, saya pribadi, kadang kala susah mengeluarkan opini atau gagasan manakala rasio diliputi emosi erros atau thanatos. Maunya sumpah serapah. Maka untuk menghindari itu, saya mengurangi pembicaraan manakala emosi tidak terkontrol, karena saya akui sekali lagi saya sangat temperamental.

Akhirnya sampai pada memberitaan tentang penderitaan saya, ternyata keran dialog tidak tertutup, hanya zaman sudah berubah, tuan.

diam dalam diam, bosan terperangkap lembuk,
hati lama tak diketuk.. aku merana meski terus mengamuk..
ada apa dengan kita..


Kawan, Pesantren Luhur tiada lagi bertutur, apa yang luntur, apa yang kabur? Aku tak tahu, aku tak tahu, aku tak tahu.. dan kamu tak mau tahu.. asyik sendiri dengan pekerjaanmu..

Aku mempunyai mimpi yang sangat akut terhadap persantren luhur ini. Melihat potensi yang ada, namun kenapa Pesantren luhur ini seolah kehilangan kharisma, kecolongan wibawa hanya tinggal nama. Memang, Pesantren luhur selalu dielu-elukan "di luar" tetapi perkenankan saya berbicara sebagai "orang dalam".

Terlalu jauh untuk membicarakan genealogis pertama kali saya datang ke pesantren ini, namun kesadaran memang bersifat historis maka mau tak mau saya akan beromantisisme sejenak. Secara singkat, saya masuk ke Pesantren Luhur ini sebelum dikutuk untuk masuk IAIN, waktu itu saya masih kuliah di Stembi, Imarot, STB dan Laskar Panggung. Memang tidak disengaja.

Saya mengantar teman di imarot kemudian ikutan daftar, walhasil saya masuk tetapi teman saya itu tidak diambil .. entah kemana sekarang nasibnya. Saya memasuki lingkungan yang sama sekali anyar. Lambat diketahui ternyata, sebagian dari santri pendaftar memang sudah mempunyai kaitan secara emosional atau organisasi terhadap pengurus Pesantren Luhur. Oleh karena itu mereka sudah memaklumi siapa saja yang mendirikan Pesantren luhur ini, bagaimana dedikasinya dan mengetahui sampai sejauh mana keseriusannya.

Selanjutnya, seiring dengan berlarinya waktu, tak disadari satu persatu dari kawan saya angkat kaki. Mulai dari Wisnu yang mempunyai alasan kerja, kuliah dan lainnya kemudian disusul dengan presiden pertama Zaky Yamani dengan alasan sama, Purnama Shiddiq saya kurang tahu alasannya, Yudi Kosasih dengan alasan kebingungan eksistensial, kang Wildan, entah kemana. Maka ketakutan untuk mengembalikan uang pembiayaan karena dana dari umat dalam hati mulai pudar, karena itulah yang saya takutkan dan mengapa saya tidak juga keluar.

Saya masih bertahan, meski tertatih dengan alasan klasik. Perkuliahan terus berjalan, lamat-lamat kehadiran santri mulai berkurang Budi Hamid dan Dede Kurniawan tarik menarik dengan IRM. Akhirnya tiba Pesantren Luhur membuka santri baru, hebatnya sekarang membuka untuk santriwati. Tak ubahnya dengan generasi pertama, angkatan kedua pun mendapat terpaan yang sama seperti dengan generasi pertama.

Generasi kedua ini hanya sedikit yang bertahan. Abdullah masih ngotot, Toni Abdul Syukur meski "tertidur" terus bertahan, Imas Sri Rayani di dukung dengan tekad belajarnya, Dali Muzdzalifah dan Fauzah Hazanah entah apa yang membuat mereka berdua bertahan , hemat saya, energi misterius. M Iqbal terus "bertamu" dan belajar, Rusli Halim naluri kepemimpinannya memaksa dia untuk keluar, teman saya Daden keluar karena persinggungan ideologis (dasar fanatik!). Generasi kedua banyak yang rontok di tengah jalan.

Pasukan peluru yang masih bertahan dan terlihat sampai sekarang adalah; Hendra Kadarusman, M Harton Iksan (?), Rohman Hendrayana, Sani Sonjaya, Yuki Agustin, Taofik Yusmansyah, Supriatna Abd Ghafur, Imas Sri Rayani, Dali Mudzdalifah (?), M Faizal Aad, M Iqbal Dahlan (?) serta saya sendiri dan surat ini terkhusus untuk kalian semua.

"aku tiba" kata ajal menyapa. kenapa wajahmu durja?
mulut terluka 'nganga bicara… kata sudah kehabisan tenaga,
kerja sudah kehilangan nyawa..
ada apa dengan kita..


Kawan, Pesantren Luhur tiada lagi bertutur, apa yang luntur, apa yang kabur? Aku tak tahu, aku tak tahu, aku tak tahu.. dan kamu tak mau tahu.. Asyik sendiri dengan pekerjaanmu..

Kawan, selain santri-santri mulai berkurang, hal ini juga di amini dengan para dosen yang jarang datang atau kalaupun datang kita yang tidak datang sehingga dosen dan santri jarang bertemu.

Ditambah dengan problematika-emosional santri yang fluktuatif sehingga berimbas terhadap kegiatan-kegiatan lainnya. Saya rindu dengan ungkapan-ungkapan kita yang dahulu nakal, saya kangen dengan kebersamaan kita dahulu yang sempat disemai. Kemana canda tawa itu, kemana saling berbagi keluh itu.. kita seolah asing terhadap kawan kita sendiri dan diri kita sendiri.

Perubahan yang sangat drastis adalah manakala prabu Pesantren Luhur menjadi Ketua BTM (pak Hendar) dan seluruh personil santri Pesantren Luhur dimasukkan kedalam struktur BTM. Bukan maksud saya mau mengkambing hitamkan tetapi hal ini nyata terjadi dalam keseharian kita. Sebab kita bukan Superman! Yang bisa memikirkan semuanya. Di satu sisi kita mesti memikirkan tugas idealitas kita di Pesantren luhur tetapi di sisi lain pekerjaan di BTM harus segera di tuntaskan. Akhirnya satu kesampaian satunya lagi enggak.

Apalagi setiap santri telah memegang job-nya masing-masing, sadar tidak disadari kita makin terkotak-kotakan kemudian ditambah dengan spesifikasi kerja yang berupah. Kita akan makin manut!

Ada yang asyik mengotak-atik ayat-ayat corel draw dan photoshop dengan memenuhi pesanan dari majelis-majelis sampai menggadaikan malam harinya, ada yang menjelma menjadi sorpus ipse penunggu perpustakaan, ada yang meniti sejarah dengan menyadarkan pentingnya pembangunan peradaban dari derma, ada yang bantu sana kemari dengan semangat utilitarianisme sehingga hampir sempurna menjadi lilin, ada yang sebentar hengkang untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya, ada yang melenyapkan diri berusaha merenung tentang perasaannya, ada yang … 

Situasi sepi seperti ini terus berlanjut kian lama kian meranggas apalagi ditambah dengan kepergian dua santri ke Kediri untuk belajar. Personil santri semakin berkurang, perkuliahan terakhir semakin nggak keruan mesti pada perkuliahan akhir sempat padat (pada materi fiqh, mungkin karena kebanyakan dosen yang datang dari luar). Kondisi seakan-akan hendak pulih, manakala tersebar maklumat ujian akhir dari seluruh perkuliahan. Semua santri kembali memijar semangat di matanya. Kepala hendak mengeras kembali.

langit meletakkan pena, tak kembali mengukir pelangi,
"panggil aku melankoli"…katanya, asap mengepul bersuara
karya tiada makna, wacana jadi hampa..
ada apa dengan kita..


Angin segar meski horror berhembus seiring dengan datangnya surat maklumat ujian. Meski segan dan gentar, akhirnya saya berkata kepada diri sendiri " akhirnya ujian.." saya sangka ini adalah perjalanan akhir saya di Pesantren Luhur dengan berakhirnya ujian maka berakhir pula perkuliahan di Pesantren luhur.

Personil Pesantren luhur kembal mulai sedikit rame kendati tak sehiruk seperti dahulu sebab kedua teman yang dari Kediri sudah pulang. Minggu pertama ujian dimulai hanya mengerjakan tugas bunga rampai, revisi (atau mungkin buat lagi) makalah fiqh lingkungan hidup. Minggu kedua dalam jadwal adalah ujian lisan, namun ternyata tidak jadi. Minggu ketiga ujian tulisan nasibnya sama seperti minggu kedua, tidak jadi. Akhirnya sampai pada minggu ketiga, ujian makalah, sama juga tidak jadi.

Mungkin saya tidak seperti santri-santri lain yang disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaannya "membangun peradaban"(makanya saya menyibukkan diri dengan membangun peradaban Empire Earth). Setidaknya dengan kosongnya pikiran, saya jadi kepikiran dengan kondisi Pesantren luhur, kenapa bisa begini?

Apa yang terjadi? Apakah memang akhir dari Pesantren luhur itu seperti ini, atau ini hanya sementara. Kalau tidak seperti apa, sedang saya tidak sanggup untuk bertanya kepada waktu sebab jawabannya selalu bisu, kasihan juga waktu memberi jawaban dari semua persoalan manusia. Karena kebanyakan manusia suka neumleuhkeun segala jawaban masalah ke waktu. Saya tidak bisa seperti itu.

Ternyata kita para pesorak buku yang berusaha militan terserang juga penyakit seperti yang disebutkan oleh salah satu dosen kita, Beqi; sebentar ribut membicarakannya, lalu segera melupakannya dengan berbagai macam alasan rasional (atau sengaja dirasionalisasi). Misalnya saja ujian kemarin, bukankah kita juga ribut-ribut dengan sangat serius tetapi setelah itu, mulut kita kembali diam. Tidak sampai disana, hebatnya kita adalah ketika kita melupakannya kita sudah siap dengan alasan untuk melupakannya. Kita harus bangun dan kenyataan harus dikabarkan, begitulah seru bang Iwan

ruang dan waktu menuntut bicara…
karena hati sudah tak saling menyapa..
mata sudah tak saling menatap..
dan rasa sudah tak lagi berguna..


Kawan, aku mungkin terbuai dengan mimpi-mimpi idealisme yang pernah kita diskusikan bersama kalaupun perih, mungkin harus kupaksakan merangkai lagi puing-puing itu sendirian, karena menunggumu kembali lama sekali. Kamu sudah menemukan pulau baru untuk berlabuh dan seolah lupa dari pulau mana kamu berasal. Hal itu wajar manakala kita telah menemukan kenikmatan, namun kata-kata yang pernah kau ucapkan menuntut dan memintamu kembali.

Aku masih berada di pulau ini sama seperti pulau pertama kali saya datang. Karena di pulau ini saya mendapatkan pelajaran berharga, nggetih dalam nalar. Saya mengganggap pulau ini sebagai rumah bukan terminal sementara untuk kemudian pergi berlayar mencari tambang emas lebih banyak lagi. Aku masih ingat bagaimana bangun pagi di sapa monster shubuh di pulau ini, di pulau lain mungkin kau tak akan mendapatkan.

Kawan, akhirnya saya ingin mengatakan bahwa saya adalah pendusta! Pendusta kata! Pendusta karya! Pendusta kerja! Pendusta wacana! Semoga kamu tidak seperti itu. Sebelum mengucapkan, saya sudah siap sedia untuk tidak melakukan kata-kata yang saya ucapkan itu. Sebelum berkarya saya sudah menjual karya itu, sebelum bekerja saya sudah minta upah, sebelum berwacana saya sudah berzina kata. Dan dengan bangga saya katakan bahwa saya ini adalah pendosa! Ucapan saya semisal onani kata, setelah berbicara tak ada keinginan untuk melaksanakan. "bawalah aku terbang dan bantingkanlah aku ke dalam laut… karena kutahu bahwa bagi diriku prahara besar ini berasal darimu…"

matahari letih pulang ke peraduan, membawa buku di ketiak
mengulum mata merah menangis darah
sudah lelah tak beda pasrah dengan menyerah
atau memang beginilah kita..
menelan liur atas nama tutur luhur


Kawan, pesantren luhur adalah rumah kita dan mesti ada yang merawat dengan sebenar dan itu adalah kita bukan orang lain. Kita besar dalam atap yang sama, meski sengsara dan tidak MENDATANGKAN GAJI tetapi Pesantren Luhur adalah rumah yang memberikan dan mengajarkan kedewasaan. Memang saya tidak sepintar kamu dalam ilmu-ilmu klasik tafsir, kalam, tasawuf dan bahkan saya juga terbata-bata dalam membaca arab gundul, tidak seserius kamu dalam membuat makalah-makalah dan tugas-tugas, tetapi saya mempunyai cara lain dalam mencintai.

Dengan sangat sadar, saya katakan, terlepas dengan latar belakang sosiologis-psikologis yang menimpa diri saya, surat ini hadir bukan karena saya menginginkan ujian, tetapi saya sudah muak, jengah dan amuk dengan kondisi pesantren luhur yang ternyata tidak luhur… seluhur namanya. Karena cita tidak selamanya menjadi nyata. Karena cinta tak lagi menjadi nyawa. Karena kata tak lagi berharga.

Kini kata-kata sudah merintih kesakitan karena janji-janji palsu yang pernah kita ungkapkan, karena kita sudah mengkhianati diri kita sendiri. Last but not least,suara ini tidak bisa dibungkam lagi. Melaku tidak hanya bisu.

Tabik Pesantren Luhur!

Bandung, 17 February 2007

Salam hangat,
te. Ditaufiqrahman
Elegi [tak] Luhur

muka memberita luka, suara membicara sungkawa..
ada apa dengan kita..
gumpal darah di buku itu, mengkilau. dan engkau bertanya,
mengapa mengerbuk sesuatu?
aku jawab, kata telah berurai air mata, aku terlunta meski tak meminta..
disekap sunyi ditikam sepi,
ada apa dengan kita..
diam dalam diam, bosan terperangkap lembuk,
hati lama tak diketuk.. aku merana meski terus mengamuk..
ada apa dengan kita..
"aku tiba" kata ajal menyapa. kenapa wajahmu durja?
mulut terluka 'nganga, bicara… kata sudah kehabisan tenaga,
kerja sudah kehilangan nyawa..
ada apa dengan kita..
langit meletakkan pena, tak kembali mengukir pelangi,
"panggil aku melankoli"…katanya, asap mengepul bersuara
karya tiada makna, wacana jadi hampa..
ada apa dengan kita..
ruang dan waktu menuntut bicara…
karena hati sudah tak saling menyapa..
mata sudah tak saling menatap..
dan rasa sudah tak lagi berguna..
matahari letih gontai pulang ke peraduan, membawa buku di ketiak
mengulum mata merah menangis darah
lelah, tak beda pasrah dengan menyerah
menagih janji sang purnama

memang beginilah kita..
selalu menelan liur
atas nama tutur luhur

0 komentar:

Posting Komentar