The Ridiculous Case Of Kh Godot Bennington (3)


Kini aku merasakan kesendirian yang mendalam, kesedihan yang tak tertahankan, kepedihan yang tak terbantahkan, kesunyian yang tak tergambarkan, keraguan yang tak teryakinkan. Aku tak percaya lagi pada tangisan sebagai pelampiasan perasaan begitu juga sajak atau nyanyian.  Aku tak percaya lagi pada mantra-mantra suci sebagai penangkal kekecewaan hati. Aku tak percaya pada apapun, aku tak percaya pada siapapun. Aku hanya percaya pada kenyataan hidup yang kadang kala memberikan kepedihan yang tak terperi. Hanya itu yang kuimani. Sedang yang lainnya tidak.

Yang lain hanya aksesori semata, sebab hidup mesti sampai pada ila bukan hanya sekedar menepi pada huruf nafi. Itu yang kupelajari dari seorang penyair Persia.

***

 Aku tahu.  Ini semua salah. Seharusnya aku tak berada di sini.  Kesalahan ini sudah terlampau jauh. Terlampau penuh.  Yang kuingat,  mungkin kesalahan itu ku buat ketika memilih bangku kuliah, seharusnya aku terus menekuni bidang teater, masuk jurusan teater, menjadi seniman, menjadi seperti  apa yang kuinginkan.  Bukan belajar ekonomi sembari memanfaatkan fasilitas gratisan belajar bahasa arab. Seharusnya dari dulu aku tahu, bahwa manusia tidak bisa hebat dalam banyak hal, seperti Sandy teman Spongebob pernah bilang, manusia hanya bisa hebat dalam satu hal.

Tentu saja, aku tidak bisa menjalani semua-muanya dalam satu waktu, seharusnya aku yakin, bahwa pada suatu saatnya nanti harus ada yang kulepaskan, harus ada yang ku relakan pergi. Kita tidak bisa hidup selama-lamanya di dunia ini bersama-sama. Seharusnya aku tahu, bahwa kehidupan di dunia itu ada batasnya. Ya seharusnya aku tahu.

Tapi aku sudah ada di  sini.  Tak bisa kemana-mana lagi. Pergi ataupun lari. Sekalipun hidup bagai di depan cemeti. Tetap saja ku jalani dengan sepenuh hati.

Tentu saja, hidup yang kujalani ini bukanlah sepenggal epik heroik layaknya kisah tentang Achilles, Maximus, bahkan kaum Spartan yang di urat nadinya seakan-akan sudah mengalir api keberanian. Bukan kisah yang sungguh penting dan agung.  Tidak di penuhi bahaya dan tegangan, melainkan sebaliknya, monoton, biasa saja. Terkesan sinting, dan sungguh tidak penting. Terkadang anda tak ingin tahu akhir ceritanya, karena sebelum kisahnya berlanjut, anda keburu bosan. Jenuh. Itu-itu aja, gitu gitu aja.

Tapi aku keras kepala tetap menuliskannya, karena aku percaya waktu bisa melampaui, sedang kehidupan pasti menepi, suatu saat nanti aku pasti mati. Dan hal itu tidak bisa di elakkan lagi. Di terima atau tidak. Dan, sangat disayangkan ketika aku mati tidak meninggalkan apa-apa.

Sudah kusadari dari awal, apa yang ku tuliskan ini memang tidak akan bermanfaat, tetapi tak apa, aku sendiri tidak meniatkannya untuk orang lain. Tulisan ini kupersembahkan untuk diriku sendiri, yang sedang sakit, sakit fisik dan batin, yang sedang kebingungan dalam perjalanan kehidupan, yang sedang mengalami goncangan, yang sedang mengalami sesuatu hal yang tidak bisa ku deskripsikan lebih lanjut pada kalian. Yang sedang mencari arti bahwa perjalanan hidupku ini memang sangat berarti . Bahwa aku mempunyai  banyak kesempatan untuk kembali, hanya saja aku tidak mau.  Aku terus melangkah maju karena aku persis tahu, bahwa aku sedang memperjuangkan sesuatu.

Sialnya, itu dulu, sekarang aku lupa, … 


***

Apa yang kita perjuangkan?

Kadang kita sendiri juga lupa atas apa yang kita perjuangkan. Kita selalu bertanya-tanya apakah memang benar hidup itu mesti ada sesuatu yang di perjuangkan? atau tidak. Sedemikian pentingkah mengetahui apa yang kita perjuangkan dalam hidup? Kalau iya, apa yang kita perjuangkan? Kalau tidak, mungkin pertanyaan yang paling logis adalah buat apa kita hidup?

Atau kita tidak membutuhkan sama sekali semua pertanyaan itu? Hidup, jalani saja. Tokh akhirnya nanti akan berhenti juga. Tentu, bagi sebagian dari kamu, yang sudah sangat berkecukupan dalam hidup bakal merasa terganggu mempersoalkan hal seperti ini, bagi kamu yang tidak kekurangan sesuatu apapun dalam hidup, mungkin kamu akan risih mendengar pertanyaan ini.

Ya bagi kamu, yang tidak mau menyadari bahwa setiap manusia itu sebenarnya mempunyai beban dan tanggung jawabnya masing-masing, kamu bakal menganggap apa yang saya bicarakan ini adalah Anjing!

Tapi tidak bagi aku, bagi mereka yang sedang menjalani titik nadir dari kehidupan. Yang seolah kematian sudah berada di pelupuk mata, tetapi begitu takut dan pengecut hanya sekedar untuk memandangnya, karena mereka begitu mencintai hidup. Bagi mereka yang sudah menyerah pada kenyataan hidup, mungkin pertanyaan "Apa yang kamu perjuangkan?" bisa menjadi secercah permenungan yang berarti.

Karena dengan pertanyaan itu, energi pertahanan menjadi terkumpul, seperti halnya ketika Manajer Personalia menyampahkanku menjadi orang gudang. Energi "apa yang sedang kuperjuangkan?" menjadi pelipur lara di sela-sela kepahitan. Energi itulah yang membuatku masih bisa tersenyum dan dengan logis menjawab semua pertanyaan Manajer Anjing itu.

"dimana pak?" jawabku

"Di depok" jawabnya sembari tersenyum, tentu saja seorang Manajer Personalia paham betul bagaimana menguasai emosi dirinya sendiri dan bagaimana mengendalikan emosi orang lain agar bisa sejalan dirinya. Tetapi aku tak mau kalah, aku masih punya energi cadangan untuk membalas penghinaan dirinya dengan cara yang sangat logis, aku seret dia dalam sebuah media komunikatif.

"wah, kalau di depok, jauh pa, berapa gaji seorang gudang, ditambah biaya kos, biaya makan, saya akan terima tawaran bapak itu asal bapak meminjam kan modal hidup saya selama satu bulan" jawabku dengan tenang karena aku sudah bisa mengendalikan emosi. Sang manajer mungkin kaget mendapat jawaban seperti itu, dikiranya setelah melumpuhkan derajat Sarjana-ku menjadi orang gudang aku bakal kalah. Hehe.

Tidak jenderal! Aku adalah orang yang keras kepala dalam memperjuangkan apa yang sudah menjadi bagian tanggung jawabku. Ada beberapa nyawa yang masih hidup di pundakku. Dan aku lebih memilih kematian ketimbang nyawa yang ada di pundakku mati. Tak apa menjadi orang nista, asal nyawa-nyawa itu masih hidup. Karena Tuhan lebih tahu, ketimbang manusia yang sok Maha tahu.

"Pinjam saja pak ardi" jawab Sang Manajer, "dia banyak uang, sebentar lagi dia kan mau nikah"
"pak, kalau pak ardi punya uang, buat apa dia melamar pekerjaan di sini?" jawabku

Sang Manajer sudah kehabisan akal, akhirnya dia kembali bertanya, "gimana, Mau di ambil atau tidak?
"ya itu tadi pa, saya bakal ambil asal bapak minjemin saya modal hidup selama satu bulan"

Setelah terseret pada perbicangan keras dan dingin, akhirnya Sang Manajer kembali memegang kendali, dan aku sudah tahu dari awal, bahwa aku pasti bakal kalah, hanya saja aku tak mau kalah tanpa perlawanan. Aku hanya mengulur kekalahan, hanya untuk memastikan dalam setiap kemenangan pasti ada kekalahan. 

Aku keluar dengan kekalahan di lain pihak, dan kemenangan di pihak lain. Sang Manajer juga sama, dia menang sekaligus kalah. Kita berdua adalah orang yang sama. Hanya saja memang hidup itu memang mesti begini adanya.

"gimana pa, …" tanya Pak Ardi.

Aku hanya tersenyum, bersalaman erat kemudian menepuk pundaknya, sambil berkata "Good Luck" dalam hati.

"eh mau kemana?" tanya Pak ardi kemudian.
"pulang" jawabku.



…………………………………………………………...

0 komentar:

Posting Komentar