Behind The Godot ; Catatan dari Sang Admin


[1]

Kehidupan Yvan sangat tragis, berbeda dengan kedua karibnya Chandra Konstantin dan Hermann Tribbiani yang selalu diberikan senyum manis oleh hidup, Yvan selalu di pandang sinis oleh nasib. Nasib seolah-olah tidak pernah memberikan kata “baik” bagi Yvan, selalu saja “buruk”. Untunglah Yvan tak pernah mengeluh. Makanya ia selalu menatap hidup dengan mantap, sekalipun kerjaannya hanya sebatas kasir supermarket.

Sungguh, kalaulah Yvan bersungguh-sungguh dulu menyelesaikan kuliahnya, mungkin kehidupan Yvan lebih baik dari sekarang ini; tidak hanya sebatas sebagai kasir supermarket dengan gaji tujuh ratus ribu rupiah perbulan. Tapi itulah, waktu tidak bisa di putar balik, Yvan tidak akan pernah bisa memperbaiki apa yang pernah di buatnya di masa lalu. Selain menerimanya dengan tanpa rasa ragu.


Di tanah Jawa ini Yvan hidup sebatang kara. Untuk mengurangi pengeluarannya Yvan lantas melobi majikan tempatnya bekerja, supaya ia diizinkan untuk tidur di toko saja. Sang majikan awalnya menolak, tapi kemudian akal picik kapitalistiknya bekerja. Maka di suruhlah Yvan sekalian bersih-bersih dan sebagai imbalannya Yvan bisa menggunakan ruang kosong di belakang sebagai tempat tinggal. Yvan mafhum dengan permintaan majikannya itu, Yvan pun tidak keberatan. Yvan mengerjakannya dengan senang hati.

Jadilah Yvan selain kasir juga adalah seorang cleaning service.

Namun, rupanya sang majikan jatuh hati pada keterampilan Yvan Saepudin yang bisa melakukan pekerjaan kasar sekasar-kasarnya sekaligus pekerjaan halus sehalus-halusnya yang membutuhkan pemikiran sistematis. Yvan bisa melakukannya. Mulai dari angkat barang, ngecet, membetulkan kamar mandi mampet… singkatnya semua pekerjaan seorang tukang semua-muanya bisa Yvan lakukan.

Tapi Yvan juga bisa melakukan kerjaan yang membutuhkan otak, bukan otot. Seperti halnya beberapa minggu yang silam, ketika majikannya sedang kebingungan menganalisis fluktuasi penjualan, Yvan tanpa ragu memberikan saran, masukan, solusi dan… celakanya ternyata pendapat Yvan itu tepat.

Karena memang, sejatinya Yvan adalah seorang sarjana yang pernah mengenyam pendidikan selayak mahasiswa pada umumnya, hanya saja dia tidak memiliki ijazah.

Apatah artinya keterampilan sarjana dalam dunia kerja tanpa disertai legalitas sehelai kertas yang dinamakan ijazah. Orang boleh saja mengaku-ngaku dia adalah seorang Magister, Doktor bahkan Professor sekalipun tapi dunia tidak akan pernah mengakuinya sampai orang itu membuktikannya dengan sehelai kertas!

Dunia ini sekarang dikendalikan oleh sesuatu yang rumit, rumit sekali! Namun juga sekaligus ghaib. Tetapi yang rumit itu, yang ghaib itu tidak bersifat metafisik. Ia nyata, ia ada. Tapi kita tidak bisa melihatnya, karena memang lebih baik tidak melihat. Sebab ketidaktahuan adalah berkah.

Dalam dunia seperti itulah Yvan hidup, maka ia hanya dihargai sesuai dengan nilai kertas itu yakni SMA, dengan UMR tujuh ratus ribu rupiah.

Tapi Yvan tak pernah mengeluh.


[2]

Yvan Saepudin adalah seorang atheis. Tapi dia tidak pernah memberitahukan keyakinannya ini pada siapapun. Dalam semua administasi identitasnya seperti KTP, Kartu Keluarga dan semacamnya agama Yvan tertera Islam hanya saja keyakinan Yvan mengenai agama jauh berbeda dengan orang islam pada umumnya.

Yvan bukan tipe orang yang suka cari masalah, maka ia tak mau membuat geger masyarakat dengan masalah sepele ini. Keyakinan atheis Yvan hanya disimpannya dalam hati. Tetapi adakalanya Yvan mengatakan terang-terangan keyakinannya ini kalau dibutuhkan. Misalnya siang itu, Mas Markus, orang Banten yang sudah lama tinggal di Pemalang bertanya pada Yvan.

“mas gak sholat jum’at?” tanya mas Markus. Yvan tersenyum, lalu menjawab dengan enteng,
“aku atheis mas, jadi gak perlu sholat”
“Wah masa?” jawab mas Markus. Tapi tidak lama dari itu, mas Markus balik bertanya, sembari berbisik “eh mas… atheis itu apa sih?”

Dalam batin Yvan tertawa, tapi di tahan.

“atheis itu mas, orang yang tidak percaya pada Tuhan, jadi gak perlu repot-repot sholat. Gak perlu repot-repot puasa”

“wah berarti sama dong” jawab mas Markus gembira.

Mendengar jawaban mas Markus ini, Yvan semakin heran. Yvan saja perlu bertahun-tahun untuk mengambil keyakinan atheis ini, tapi mas Markus dalam sepersekian detik, bisa menjadi atheis.

“lho, maksudnya?” tanya Yvan penasaran. “bukannya agama mas Markus Islam? Maksudnya gimana?”

“ya itu sama, aku kan gak pernah sholat, gak pernah puasa juga. Jadi kita sama-sama atheis bukan?”

Yvan tidak menyangka pikiran mas Markus bakal sampai kesana. Tapi Yvan cuman terkekeh mendengar kejujuran mas Markus ini. Kemudian Yvan iseng menjebak mas Markus dengan bertanya,

“lha itu, mas Suripto sekarang pergi sholat jum’at, tapi bulan ramadhan kemarin tak pernah puasa, itu gimana mas?”

Mas Markus menjawab dengan enteng, “lha dia ‘kan NU?”

Kali ini, Yvan tidak menahan tawanya,

“hahaha….jadi dia NU mas? Bukan Islam”

“iya” jawab mas Markus serius, masih belum sadar dengan ucapannya.

Dan memang Mas Markus tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Buktinya, mas Markus tidak meralat apa yang dia ucapkan, setelah di cek oleh Yvan. Mas Markus merasa ucapannya itu benar. Dan juga tidak pernah peduli, kalaupun teryata dia salah. Karena dia pikir, kita tidak hidup di dunia sendiri. Dan suatu saat pasti kita keliru, tidak akan pernah benar setiap waktu.

Sedangkan Yvan, ia merasa sangat terhibur dengan keberadaan orang-orang yang katanya tidak berpendidikan tetapi mereka sangat jujur menjalani kehidupan apa adanya; Suripto kepala satpam; Mas Markus pemenang tender parkir di supermarket selama satu tahun; mas Untung Tukang becak; mas Maman tukang sol; Bakri tukang Pempek di depan; Zahir, Agus, Suman anak buahnya mas Markus dan lain-lainnya pekerja di sekitar supermarket.

Sedangkan mereka, para staff yang bekerja pake dasi, pake jas, kemeja lengan panjang, mereka semuanya brengsek! Bisanya cuma nyuruh-nyuruh, bikin inilah-itulah, suruh kesinilah-kesitulah. Apalagi Pak Adi, Manajer Personalia. Menurut Yvan, dia adalah seorang pembual. Kalau saja kakinya tidak pincang dan bukan manajer, mungkin dia sudah di cincang sama preman-preman sekitar.


[3]

Dan…

Tentang bagaimana Yvan meninggalkan kuliahnya dan bekerja sebagai kasir supermarket di Pemalang meninggalkan kota asalnya Bandung adalah misteri. Misteri yang akan terungkap seiring berjalannya dengan waktu dan cerita ini.

Untuk sekarang, biarkan cerita ini mengalir begini saja; Yvan diangkat menjadi bagian administrasi oleh sang majikan. Alasannya sederhana, kenapa Sang Majikan mengangkat Yvan, karena ia mau disuruh apa saja dan bisa melakukan pekerjaan apa saja.

Menjadi staff administrasi, gaji Yvan naik seratus ribu dan penghasilannya delapan ratus ribu rupiah itu, Yvan membaginya menjadi; empat ratus ribu untuk kiriman ke orang tuanya yang ada di Bandung, seratus ribu Yvan simpan di balik jam dinding untuk tabungan masa depan, sedang sisanya tiga ratus ribu untuk bekal Yvan selama sebulan ke depan.

Berikut rutinitas Yvan sehari-harinya; biasanya dia bangun jam enam, karena dia seorang Atheis, maka Yvan tak pernah memusingkan perkara Sholat Shubuh yang hanya menganggu aktivitasnya saja, setelah itu lekas bersih-bersih kantor. Pokoknya sebelum jam tujuh Yvan sudah menyelesaikan aktivitasnya sebagai cleaning service. Tapi hanya kantornya saja, kalau sewaktu dulu menjadi kasir, Yvan juga ikut-ikutan bersih toko. Sekarang tidak. Karena Yvan sudah naik pangkat, cuman dia tidak pake dasi dan lengan panjang. Itu saja bedanya. Seragamnya tetap yang dulu. Hitam putih.

Jam delapan, karyawan sudah pada datang, dan Yvan pun salah satu diantaranya karena ia juga termasuk staff administrasi. Yvan membereskan pekerjaannya, menulis surat-surat, membereskan arsip-arsip dan tetek bengek urusan administrasi lainnya. Tetapi selain itu, Yvan juga sebagai tukang suruh para karyawan kantor, di suruh potokopi, beli pempek, nyeduh kopi, singkatnya office boy. Karena itu, dia tidak punya meja sendiri.

Sang Majikan, memang picik, dengan menaikan gaji Yvan seratus ribu saja, ia sudah mendapatkan satu orang dengan tiga fungsi; staff administrasi, office boy, cleaning service dan Yvan Saepudin-lah orangnya. Yvan tahu hal itu, tapi dia memilih tidak tahu, karena kebenaran itu kadang-kadang lebih menyakitkan daripada kebohongan.

Setelah kantor tutup, sekira jam empat sampai jam lima, semua karyawan pulang. Yvan juga pulang ke kamarnya, tetapi masih di lingkungan supermarket. Dan pada jam enam malam, biasanya ia kembali bekerja sebagai tukang parkir, mencari tambahan, sampai jam sembilan.

Dan jam sembilan, sampai tengah malam, Yvan kembali masuk ke kantor. Disinilah berkah bagi Yvan karena dengan menjadi staff administrasi, Yvan memiliki akses bebas kemana saja termasuk kantor. Pada jam-jam inilah Yvan kembali melakukan kebiaasannya yang dulu yakni menulis. Yvan sangat senang menulis. Apalagi fasilitas internet yang ada di kantor itu semakin memanjakannya.

Pada jejaring sosial facebook, Yvan pun menjelma jadi sosok yang bernama Kh Drs Godot Bennington.


[4]

Seperti biasa, setelah rampung, Yvan log in pada akun kesayangannya Kh Drs godot Bennington, ia posting tulisannya yang ia tulis selepas pulang mudik dari Bandung kemarin yang ia kasih judul “Behind The Godot ; Catatan dari Sang Admin”.

Namun tidak seperti biasanya, kali ini ada konflik batin yang serta merta menyerubungi Yvan, “ah tidak usah di tagg aja” gumam Yvan di depan komputer. Entah apa yang ada dalam pikirannya, namun keraguannya itu semakin melebar. Penyakit autis yang pernah diidapnya beberapa tahun dulu tiba-tiba berkunjung lagi.

Yvan merenung-renung, antara tagg dan tidak.

Padahal dalam interaksi facebook itu urusan sepele; kalau di tagg, otomatis tulisan Yvan itu bakal ada di dinding orang yang Yvan tagg, tetapi kalau tidak, ya tidak bakalan ada. Tapi untuk urusan sepele itu, Yvan terus menimbang-nimbang dengan sangat serius.

Ternyata, keraguan Yvan ini bermuara pada kejadian-kejadian dahulu yakni tidak berkomentarnya orang yang Yvan tagg.

“lah buat apa di-tagg kalau tidak di komentarin?” gumam Yvan kesal.
“jempol-jempol, tinggalkan jejak dong tuan? Aku kan bikin tulisan dengan sangat serius bukan main-main”.

Namun lantas kemudian pikiran Yvan berubah,

“hmmm, tagg aja deh biar keren. Biar keliatan eksis! Biar semua orang tahu bahwa ada seseorang yang bernama Godot Bennington yang tidak akan pernah berhenti menulis kecuali nyawanya diambil…!”



0 komentar:

Posting Komentar