TERGANGGU KENTUT…!?


[bagian pertama]



Kalau saya ibaratkan penyair adalah bokong dan puisi adalah kentut.

Kentut biasanya bau menyengat, menggangu, bakalan merubah suasana bahkan sampai menghentikan peristiwa atau malah menurunkan presiden dari singgasananya, itu kalau kentutnya rame-rame, berbarengan seindonesia seperti yang dilakukan oleh banyak mahasiswa ketika menurunkan “bapak kuli bangunan”.

Tetapi untuk kentut bukan hal yang gampang, kita sering mendengar bahwa untuk bisa kentut saja orang berani membayar jutaan rupiah. Makanya kentut itu perlu disyukuri dan memerlukan keberanian. Merasa terkentuti oleh penyair. Nah, untuk membalas kentut dari penyair, silahkan balas dengan kentut lagi. Percuma dibalas dengan bersin karena penyair akan terus dan terus mengentuti hingga mulek. Penyair nggak bakalan bosen untuk kentut. Karena kentut bagi penyair adalah kebutuhan jiwa, pembersihan hati. Bokong penyair akan berhenti kentut manakala ada kentut yang lebih besar, ada kentut yang lebih bau, yang lebih nyinyir. 

Kalau sudah ada yang bisa kentut lebih bau, lebih besar, penyair yang lain juga akan berusaha untuk menyiapkan kentut yang lebih dahsyat lagi. Bukankan kita sering mengadakan seyembara kentut. Maka kentutlah!
* * *

Kentut busuk bila ditinjau dari ukuran nilai-nilai yang sedang berlangsung pada masa ia dilemparkan, dihembuskan. Tetapi kentut pula bisa membangunkan kemacetan, kebungkaman bahkan kentut bisa menerobos hidung yang sedang pilek sekalipun. Kalau begini caranya, kentut berubah menjadi senjata ampuh untuk memanggil orang-orang di gua Plato. Hasilnya kentut menjadi pembawa pencerahan.

Mengganggu kedamaian formal yang sedang mengendap tanpa menghasilkan, menghentikan pembicaraan untuk sejenak merasakan bau bahkan nyaris menghentikan perjalanan nilai-nilai dalam sebuah institusi atau rapat formal. Sehingga membuat seseorang mesti mengundurkan diri dari lingkaran rapat. 

Karenanya dengan kentut, banyak orang yang menjadi merasa dirugikan, tersinggung, marah, disamping juga iri hati karena tiba-tiba mengerti bahwa ia benar-benar telah tua, terlalu banyak omong kosong tak berguna, terlalu pengen menang sendiri, terlalu sok banyak tahu. 

Kentut biasanya jarang berbarengan tergantung kondisi perut. Kalau yang kentutnya cuma satu, gampang kena batunya seluruh telunjuk tertuding kerah hidung yang kentut. Tetapi kalau kentutnya berbarengan tak ada yang disalahkan, didiskreditkan, karena dia mayoritas padahal juga belum tentu benar. Apakah benar atau salah ditentukan oleh banyak atau sedikitnya orang yang melakukan. 

Walhasil urusan kentut adalah persoalan ekspresi. Siapa yang berani mengekspresikan diri. Maka kentutlah! Ekspresi ini terkadang dihalangi oleh pihak dari luar kita seperti norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, sopan santun atau mungkin dibekukan oleh diri kita sendiri misalnya karena takut dibilang beda sama orang lain, nggak mau keluar dari kelompok meski sudah tidak cocok lagi. Dalam hal ini untuk kentut memerlukan pertimbangan yang matang dan dewasa.

Pengennya kita kentut tetapi… kalau kita kentut pasti ditindas, pasti dijauhi, pasti diasingkan. Bukankan seseorang yang pernah kentut juga bilang lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Apakah perut kita mau dibiarkan kembung untuk menahan kentut. Apa nggak sakit. Mungkin karena dorongan dari dalamnya kurang serta desakan dari luar makin menggila maka lebih baik ditahan saja lah nggak mau hidup yang aneh-aneh. Ya … efek sampingnya, kembung. Milih mana kembung atau ekspresikan. Kok kentut dibilang aneh, wajar dong kalau bokong mau bersuara, boleh dong pantat mengeluarkan opininya. Kalau sedikit bau, ya … maklum saja ‘kan keluarnya dari bokong, dari pantat namanya; KENTUT. Mana ada kentut yang harum bunga levender. Saya jamin kentut Cleofatra juga nggak harum-harum amat. Kalau keluarnya dari mulut bukan kentut lagi namanya … bisa berbagai macam, bisa dipilih tergantung pesanan.

Ekspresi kentut sebenarnya bisa kita siasati, kalau kita masih merasa takut untuk mengeluarkan kentut. Kita bisa mengatur nada irama kentut. Bisa dilangsungkan, bisa juga dicicil bisa ditahan. Ada yang melepes biasanya lebih bau daripada yang bersuara besar. Atau sudah kentut kemudian keluar setelah beres konflik perkentutan dan keluar kambing hitam siapa yang dituduh kentut kita datang lagi, dan bersikap seperti biasa. Bukankah rubah banyak mengajarkan kepada kita tentang hal itu. 

Tetapi sekarang kentut mengalami pergeseran nilai, kentut sedikit memaksakan diri, pura-pura kentut dilaksanakan saja untuk menyatakan kehadirannya saja tanpa ada niatan ekspresi, kasian juga… biasanya untuk cari aman. Cari posisi yang enak. 

Kalau kita masih percaya dan benar-benar berminat untuk tetap mempercayai kentut sebagai sumber kesegaran dari suatu kemacetan komunikasi, maka kita akan melakukan penelitian-penelitian. Disamping meningkatkan kualitas bau kentut dengan tanpa polesan tetapi genuin. Kesungguhan, keaslian, kejujuran kemantapan dalam mengentut.

Jangan salah, dalam soal kentut-mengentuti diperlukan kemantapan. Kalau sudah pertama kali kita kentut, kemudian diberi makanan yang enak atau paling tidak HP dari yang kita kentuti, lambat laun kentut kita akan molor, tergantung pesanan diusahakan kentut bisa berpegang pada idealisme kekentutannya. Kasihan sama perut kita, memangnya perut kita pabrik, apa? 

Kentut adalah sebuah acara pribadi yang diusahakah secara pribadi yang hasilnya kadang-kala ada yang boleh dipertontonkan sebagai unsur keseimbangan dari sebuah keadaan yang macet dan loyo tetapi adakalnya juga yang nggak boleh dipertunjukan, tidak dipakai untuk umum tergantung yang punya kentut sendiri. Sebab sekali lagi kentut itu milik pribadi dan tergantung pribadi mau digimanaim juga tetapi kalau ada orang yang menyalahgunakannya, maka jangan kira yang punya kentut akan diam.

Sudah tentu sah dan tidak ada larangannya kalau seseorang ingin menjadi tukang kentut sebagai cita-citanya yang tertinggi. Kentut sebagai karya dalam hidupnya. Ia akan berusaha utuk mencari sekolah kentut, bacaan-bacaan tentang kentut dan terutama sering bergaul dengan orang yang mempunyai minat sama dalam perkentuttan.

Yang akhirnya dalam hal ini, tidak ada bedanya kentut dari orang muda, orang tua, dari senior, dari junior. Yang ada hanyalah ada kentut yang membusuk dengan cara menyebar sangat cepat ada kemudian hilangnya juga cepat. Ada kentut yang sekali tembak memabukkan. Ada kentut yang secara perlahan tapi pasti membusukkan suasana. Dalam volumenya, ada kentut yang nyaring, ada yang sama sekali tidak menyapa dalam suara tetapi terasa sangat dalam bau. Ada yang menggelekgak tetapi tak menghasilkan bau apa-apa. Ada juga yang kentut tetapi tidak disangka kentut karena tidak terdengar suaranya dan tidak tercium baunya.

Akan tetapi, kadang kala kita selalu mendapati diri kita terjebak dalam lingkaran yang membuat diri kita tidak terbiasa dengan bau kentut tersebut, apalagi kebetulan kalau kita sendiri yang diserangnya. Kentut itu menerkam, menerjang dan menghangtam diri kita sendiri. Dengan berbagai macam dalih dan teori kita berusaha untuk menangkis. Kita sendiri dengan seluruh keakuannya berusaha untuk mengelak. Karena dengan serangan ini, kita mengerti siapa diri kita ini yang sebenarnya; apa dan bagaimana kita.

Karena kita, yang selalu berbicara tentang moral, tentang spiritual, tentang perubahan-perubahan, tentang etos kerja pendeknya segala yang baik-baik, segala yang ideal-ideal, segala yang teoritis-teoritis ternyata hanya merupakan penggembira saja.

Maka, dengan segala keterbatasan kita sendiri. Kalau memang mau kentut ya .. kentut saja tidak usah berganti nama untuk melindungi diri sendiri takut-takut ketahuan kalau kita yang kentut. Terang terangan mengentuti orang lain, tidak perlu memakai topeng atas nama teori apapun. Mengentuti untuk memperkaya khazanah baru ruangan. Kalaupun toh pada akhirnya kita yang pernah bercita-cita untuk menjadi tukang kentut seumur hidup kemudian lantas dikentuti jangan dibikin pusing oleh kentut itu sendiri. Toh kita bisa membalasnya dengan kentut yang lebih busuk, lebih dahsyat dan lebih heboh lagi. 

Untuk saat sekarang bebaskan dulu untuk berkentut ria, supaya jelas siapa yang kentutnya. Ayo bung mari kentut jangan jadi penakut. Penakut Cuma cecurut!

* * *

Diantara orang yang paling banyak kentut adalah penyair golongan seniman dan mahasiswa pada umumnya. Nah untuk saat sekarang, yang akan kita bahas adalah kentut dari penyair. Di lain kesempatan kita akan berbicara mengenai kentut-kentut yang lain

Penyair mempunyai wujud kentut dalam bentuk; puisi dan sajak. Untuk memperjelas kentut penyair kiranya lebih baik kita jabarkan sedikit bagaimana kondisi perut, pantat penyair. Hal ini penting, karena akan mempengaruhi kualitas kentut yang akan diproduksikan. Dalam kosa kata penyair kentut berubah menjadi karya.

Bokong penyair halus sangat halus dari bokong makhluk manapun bahkan dari bokong makhluk halus sekalipun. Tetapi juga sangat rapuh serapuh sarang laba-laba, sekaligus kuat sekuat pohon oak bahkan sejuta kali lebih kuat dari itu. Sehening gurun pasir yang paling gemingpun di dunia tetapi ramai seramai suara sungai Niagara. Gelap segelap malam tanpa bulan dan bintang namun terang sebagaimana matahari menyiangi bumi. Tapi kalau urusan kentut dia paling jago. Dia paling bau dan menyengat. Maklum perutnya diisi dengan kemuakkan, kejengkelan, kekesalan dan berbagai perasaan lainnya. 

Penyair melakukan kentut kadang-kadang dengan takut-takut maka tak jarang ia disebut dengan pengecut, pecundang, pembual, pemalas tetapi kalau ia paling depan maka ia akan dicap sebagai pemberang, pemberani, penghantam, penghujat, pengkritik, pencerca dan pekerja keras.
* * *

Dalam diri seorang penyair dua titik ekstrim berkumpul dalam satu daging, dua gagasan tertampung dalam satu pantat, panas dan dingin dalam satu tungku. Bokong penyair adalah bokong seorang pengecut yang tidak berani mengentut apa yang dikehendaki tetapi sekaligus pemberani karena ‘kentut-kentut’ yang tidak bisa dikeluarkan oleh orang awam dengan ringan dan tanpa beban terlontar dari pantatnya. Kenapa demikian? Karena dunia adalah miliknya. Dunia berada lurus dalam pandangannya. Dunia berada dalam genggaman tangannya. Hanya ada dia, aku dan saya yang lain …

Bokong penyair pemalas gawenya hanya merenung, melamun, menatap langit-langit dengan tatapan mata yang kadang nanar, kadang kosong, kadang membara bahkan terkadang pula hampa seperti bangkai. Dengan tatapannya itu dia mengukir, merangkai, menyusun kata-kata, baris-berbaris, paragraf per paragraf, kalimat per kalimat supaya padat, kental dan dengan tepat menonjok, menohok, meneror bahkan membunuh sasarannya.

Tetapi juga sekaligus pekerja keras. Rumusnya gampang saja berkerja dengan dia; prinsipnya berikan dia pekerjaan. Maka dijamin pekerjaan akan selesai ditambah bonus ide-ide fresh. Tak akan banyak cingcong. Kenapa demikian? Karena ubun-ubunnya telah ditiup oleh dewa Dynosius dan tangannya diberkahi kekuatan perang dewa Ares sementara hatinya dihuni oleh dewa Erros. Dan pikirannya diberkahi urat dewa Zeus. Dia dikutuk untuk seperti itu apa adanya selama dia menyandang gelar sebagai seorang penyair. Dia bukan dewa tetapi bisa melebihi dewa, dia juga bukan iblis tetapi bisa lebih jahanam dari Mephistopeles, bisa lebih rakus ketimbang Faust, bisa lebih bijak melebihi King Lear…

Dia adalah pengkritik ulung, penghujat mendekati laknat, membabat objeknya sampai sekarat. Tak pandang bulu. Siapapun ia hantam, ia terjang, ia terkam sekali ada yang tidak cocok dengan pikiran atau perasaannya telenges langsung didamprat habis. Tetapi dia juga pemalu. Seolah olah sepuluh ribu rasa malu orang terkumpul dalam dadanya sehingga kadang-kadang dia tak segan dan berani mengentutti diri sendiri, sampai bugil, sampai pingsan sekalipun. Maka tak jarang melihat di murung, bingung, bermuram durja, merasa diri paling lemah, paling susah, paling sedih, paling menanggung beban dunia yang sangat berat seakan-akan ia ingin mengakhiri hidupnya hanya sampai disini saja. 

Akhirnya penyair seperti juga seniman lainnya. Bagi yang masih percaya bahwa seniman itu senewen. Artinya kira-kira brengsek! Mengatur seniman adalah pekerjaan sia-sia. Seniman juga penyair penggiat seni lainnya, dianggap sebagai manusia yang cerewet, bawel dan memusuhi segalanya. Bahkan tidak sering juga memusuhi dirinya sendiri. Jadi memang edan! 

Modalnya adalah jujur dan kejernihan pikiran. Dengan kejujuran rangkaian kata tak susah untuk keluar jumpalitan dari mulutnya. Tak jarang ide-ide segar dengan gampang menerobos nongol dari kepalanya. Dengan pikiran yang jernih dia dengan mudah membeset segala peristiwa, membongkar makna dari sebuah fenomena dan terkadang pula besetannya itu tidak disukai oleh orang lain. Karena tugasnya hanya satu; mengentutkan kebenaran. Dan memang orang-orang sekarang tidak suka kebenaran, maka kadang kala suara penyair dipotong, dipangkas kalau sedikit saja mendapat kepercayaan, orang yang berkepentingan segera kebakaran jenggot memburu untuk membusukannya!

Memang sepintas dia seperti orang gila, seperti filsuf kadang dalam kegialaannya mengaku-ngaku nabi, tapi, bukankah dahulu juga nabi dianggap gila. Dia sombong, polontong, tingkahnya selalu aneh-aneh. Kata orang eksentrik, padahal semua tingkah yang puspa ragam itu hanya untuk menutupi kekurangan, kepengecutan, kepecundangan dan berjuta-juta kelemahannya. Begitulah, dengan pelbagai macam manipulasi, siasat dan tipu daya, dia pintar menyembunyikan kelemahannya menjadi barang yang baru di mata orang. Kelemahannya menjadi kelebihan, itulah makanya seolah-olah dia tanpa cacat dan dengan gagah mengkritik orang lain.

Soal pekerjaan, bagi dia tiap hembusan nafas, tiap detakan waktu adalah kerja. Kerjanya tidak terikat ruang dan waktu. Di selokan, di kamar mandi, di bis, di sekolah, di penjara bahkan di atas ranjang tidurpun ia berkerja. Jam delapan, jam satu, jam dua belas malam dia terus bekerja. Dia terus memikirkan sesuatu-sesuatu yang baru-baru lagi dan lagi. 

Meski kelihatan lemah tak berniat untuk balas dendam jangan macam-macam dengannya. Penyair mempunyai sensivitas rasa yang cukup tinggi. Sekali nyenggol menyakitinya maka sejuta tahun dia tak akan melupakannya. Bahkan dengan gajahpun berani bersaing. Tetapi sekali kalau kena sentuh hatinya, maka dia akan jinak memperlakukanmu bak seorang raja, pangeran, permaisuri bahkan dewa.

Macam-macam sikapnya kalau ada yang menyakiti hatinya. Ada yang frontal langsung menghajar mukanya untuk melampiaskan kemuakkannya. Ada juga yang diam saja. Ini yang paling berbahaya, sebab diamnya adalah mengatur strategi, tentunya bukan strategi perang. Dia akan terus bekerja menghasilkan karya untuk menghantamnya, menerornya karena serangan apa yang paling ampuh dalam melumpuhkan lawan adalah penyerangan eksistensial yaitu terror mental!

Maka lebih baik, baik-baik aja sama mereka. Bukankah karya-karya Tolstoy, Chekov, Gorky, Pramoedya, Chairil yang memberi insprasi dan spirit para revolusioner untuk melakukan revolusi, untuk melawan penindasan

Senjata para penyair bukan senapan dan pistol laras panjang. Tetapi pena, bukan taktik perang tetapi taktik kata-kata, siasat teror. Senjata para penyair adalah PUISI.
* * *

Dengan puisi para penyair menghembuskan virus-virus pemahaman. Dengan lambat tapi tepat merobohkan para lawannya. Puisi bagi seorang penyair adalah segalanya. Seperti anak bagi orang tua. Tidak ada satu, kehilangan sangat. Seperti halnya penulis maka pena adalah segalanya bagi dia. Arti puisi bagi seorang penyair; seperti petani dengan cangkulnya, seperti tentara dengan senjatanya, seperti polisi dengan mantra tilangnya, seperti ulama dengan fatwa matinya, seperti montir dengan obengnya, seperti Romeo dengan Julietnya. Tak bisa dipisahkan.

Puisi adalah nadi kehidupannya. Getar gerak dan sejarah hidupnya. Hembusan nafas dan erangan kesakitannya. Amukan kemuakkannya!Betapa sangat berarti makna puisi bagi para penyair. Karena dalam menciptakannyapun seorang penyair tidak seperti membalikan telapak tangan. Bukan hal yang mudah, memerlukan permenungan, membutuhkan kesunyian, merangkul harapan dan kekuatan. Penuh dengan kehatian-hatian, dengan seksama dalam pemilihan kata, penempatan nada. Bukan hal yang gampang. Membuat puisi adalah kerja seorang penyair dan puisi berbeda dengan berkata-kata sehari-harinya. Ada irama, ada nada, ada pesan, ada kepadatan. Ada diri untuk terus MENGADA.

Dengan puisi, penyair mencoba untuk menancapkan pesannya baik itu kritik, saran, sanjungan, hujatan tepat dalam jantung objeknya. Puisi adalah kata lain dari kristalisasi rasa yang coba disusun dengan apik dalam sebuah larik-larik.

Oleh karena itu, puisi tidak hadir dalam ruangan hampa, kosong, a historis . Di ruangan itu ada yang dikritik, ada yang dipertanyakan, ada yang didiamkan, ada yang dibekukan atau ada yang dibunuh. Maka sudah sewajarnyalah ada orang-orang yang akan merasa tidak enak, terganggu, tercubit, terkentuti dengan salah satu puisi sebab, mungkin, merasa kesindir. Tetapi perlu diingat bahwa seorang penyair kadang kala melakukan generalisasi atas kasus yang partikular. Jadi bisa saja puisi itu bukan untuk anda tetapi anda sendirilah yang merasa seperti itu. 

Apakah penyair bisa ngamuk? Tentu saja, amukan penyair bahkan bisa lebih dari orang pada umumnya, mengingat pandangan asumtif yang diatas. Mengingat puisi adalah segalanya bagi penyair maka konsekuensi logisnya adalah apa yang akan dilakukan penyair terhadap orang yang menyelewengkan karyanya akan lebih berat dari penghinaan orang itu terhadap karyanya.

Penghina mungkin hanya sejengkal menghina puisinya, tetapi penyair bisa seribu kali jengkal menjauhinya, mengentutinya. Karena penyair adalah seorang yang berusaha berkabung dan berdoa serta bersuka dalam kekabungan. Dia akan terus berada dalam kekabungan, memberikan pijar bagi yang lain sementara kadang dirinya terbakar.

Sederhananya, kalau anda seorang bapak; bagaimana kalau seandainya ada yang menghina anak anda di hadapan anda.

Selanjutnya kita akan memperdelan, sutdi tentang kentu tadi.

Merdeka !!!

Bandung. 24 agustus ‘06

0 komentar:

Posting Komentar