KATAK DALAM KOTAK KENA KUTUK JADI KETEK


"keluarlah dari kotak jangan jadi katak kalau tidak mau kena kutuk nanti malah bau ketek!. Mau jadi katak kena kutuk bau ketek dalam kotak?"
(te.Ditaufiqrahman, Kotak; 2006)

Di dalam kotak, aku mendapatkan buku karangan Carl HonorĂª, judulnya In Praise Of Slow,buku yang sangat menarik! Berbicara tentang perlawanan balik paradigma modern. Sebagaimana judul bukunya In Praise Of Slow maka kritikan yang ditembak adalah perihal KECEPATAN. Sempat tidak sadar bahwa kita memang benar-benar pemuja kecepatan! Segala sesuatunya pengen cepat! …. Instan, mungkin kata itulah yang tepat bagi kita sekarang.

Saat ini, begitu dalam buku ini diungkapkan, seluruh dunia mengalami time sickness! Hari ini kita semua tunduk pada kultus percepatan. Mengapa kita selalu berada dalam keadaan tergesa-gesa? Mungkinkah, atau bolehkah memperlambat ritme kehidupan? Begitu pertanyaanya.

"Kita sedang bergerak dari suatu dunia, tempat yang besar memangsa yang kecil menuju suatu dunia tempat yang cepat menghabisi yang lamban" begitu manifesto Presiden Forum Ekonomi Dunia Klaus Schwab.

Saya katakan, buku yang sangat menarik dan penting untuk dibaca. Akan tetapi saya dan mungkin juga anda masih berpikiran bahwa kecepatan memang penting! Meski mungkin saatnya sudah tiba untuk menantang obsesi mengenai kebiasaan melakukan segala sesuatu secara lebih cepat. Toh kita masih beranggapan bahwa sejarah lain hidup manusia adalah usaha manusia membuat segalanya tak terlihat. Dahulu berbicara dengan orang lain dengan jarak yang jauh adalah sebuah mitos, khayalan! Tetapi sekarang menjadi kenyataan.

Dengan berlarinya teknologi semuanya menjadi mungkin! Mitos identik dengan primitif dan primitif sangat erat hubungannya dengan keterlambatan, lambat. Tentunya, kita tidak mau disebut dengan primitif! Kita tak mau disebut dengan lambat! Meski semenjak teknologi ini ditemukan sudah berapa banyak dukun yang gulung tikar.

Secara Antropologi; semakin panjang makanan dari tangan ke mulut semakin maju peradaban, semakin pendek makanan dari tangan ke mulut semakin mundur peradaban. Segala sesuatunya menjadi lebih berperadaban, lebih up to date kalau tidak terlalu besar, mudah dilipat, mudah didapatkan, cepat sampai tidak terlihat dan tidak memerlukan waktu yang lama.

Tetapi saya tidak mau membahas perihal kecepatan itu. Ada yang lebih menarik perhatian; Apa yang lebih menarik? Bahwa ada penawaran konsep lain, gagaasan lain, opini lain, ada alternatif, ada kotak lain, ada dunial lain di sekitar kita yang ternyata itu telah terabaikan dalam benak kita, telah terlupakan, telah tertidurkan atau sengaja ditidurkan. Hal itu sebenarnya pernah ada dalam diri kita akan tetapi seakan ada ombak besar yang dengan sengaja dan terencana telah melindas segala apa yang ada di tepian pantai, konsep lain itu pernah kita tuliskan di tepian pasir putih bareng teman-teman kita hasil diskusi dan wacana panjang sampai larut malam tetapi nasibnya hanya sebatas pada terpaan ombak yang dengan segera menghapusnya.

Maka dengan ini saya deklarasikan bareng bung Karno. Bung! yang menjadi persoalannya bukan baik tidaknya konsep yang ditawarkan itu, tetapi mau menerima nggak konsep yang ditawarkan itu. Pendek kata, diri kita lapang tidak untuk menerima dan mengamalkan konsep yang ditawarkan itu.

Karena semenjak tulisan kita yang telah terhapus kita belum menuliskan apa-apa lagi, kita keburu sibuk dengan setumpuk agenda kemanusiaan lainnya yang meski belum juga kita tunaikan. Gawean ini diambil alih oleh serdadu ombak, dengan gagah menuliskan apa yang dikehendak oleh ombak itu, dengan kokoh dan dibeton sehingga ombak lain tak bisa menggangu. Maka yang terpahat dalam pikiran kita bukan lagi ekspresi diri melainkan hasil tulisan ombak yang bisa jadi itu berasal dari negera HOLLAND. Malah parahnya lagi, kita akan diingatkan dengan cerita orang-orang yang tinggal di gua yang pernah dikisahkan oleh Plato. Tulisan itu kita anggap dari Tuhan. 

Dalam situasi lain, kita telah diciptakan dan sengaja dibuat memukimi kotak-kotak tertentu sehingga tidak pernah mau melihat kotak lain, nuansa lain, pandangan lain, dunia lain dari dalam diri kita. Kita hanya memandang dunia dalam satu sisi kotak kita sendiri, sehingga dengan gampang mempersetankan kotak-kotak yang lain. Jangan diharap untuk melihat kotak yang ada di luar diri kita, untuk melirik saja kotak yang sejak dulu kita pakai … ENGGAN!

Padahal Tuhan telah menyiapkan tidak hanya satu kotak dalam diri kita ini. Berpuluh, beribu bahkan bermilyaran kotak-kotak yang tersedia untuk kita tempati. Yang ternyata kotak lain itu lebih bisa bermanfaat, lebih cocok, lebih sesuai, lebih tepat daripada kotak yang kita diami selama ini. Apa yang menyebabkan kita rigid demikian, bukankah hidup adalah tumpukan perubahan, tak ada di dunia ini yang abadi, yang tetap?

Kita mengagungkan kotak kita sendiri. Tanpa pernah mau bersikap dan berpikir objektif tentang kelemahan kotak kita sendiri. Seharusnya kita sejenak mencoba keluar dari kotak tempat kita tidur, makan, berak, kencing untuk mencari udara seger, supaya hidup kita kembali berwarna, bernuansa dan dinamis. Agar kita bisa lebih arif bahwa memang ternyata ada kotak lain di sebelah kita yang itu lebih menarik dari kotak kita, lebih berwarna, lebih berasa, lebih mengenjot dari selama ini yang pernah kita bayangkan.

Setelah Soeharto tumbang, kita yang dahulu menyuarakan, meneriakkan, menjeritkan, menghujat kepadanya perihal status quo, dengan diam-diam kita sendiri sekarang yang mengidap penyakit itu. Jangan-jangan sejak dahulu juga kita sangat menginginkan status quo dalam diri-diri kita sendiri, sehingga dengan paksa kita rebut kepemilikan soeharto. 

Ya … kita adalah soe…harto, harto baru yang akan terus dengan cengkaraman tangan besi mengkerangkeng kebebasan rakyat untuk beropini, terus bergagasan. Karena dalam diri kita bersemanyam iblis-iblis kecil yang akan terus merencanakan untuk menguasai orang lain dengan berbagai macam kondisinya, asal bisa menguasai!

Maka bullshitlah, omongkosonglah filsafat kebajikan yang kita bicarakan! Sebab dalam benak kita sudah tertanam duluan, terpatri sejak start, sudah ada pra asumsi bahwa kita yang benar dan yang lain salah! Ego kita yang akan menguasai filsafat kita, sehingga dengan sangat tidak sadar sehebat apapun buku filsafat yang kita gunakan semuanya hanya dalam rangka membuat legitimasi agar alasan kita benar. Merasionalisasi segala tindakan kita yang benar sebenarnya menjadi sebenarnya benar-benar.

Tanpa melihat, melirik. Tanpa tedeng aling-aling membabat habis segala kotak pandangan yang berasal dari kotak luar dengan paradigma kotak sendiri. Karena kita belum terbiasa keluar dari tempat tinggal kita, kita ini anak mamih, anak gedongan yang sukanya melihat keadaan luar dalam kacamata kita sendiri, seolah orang lain tak punya kacamata. Meski memang, kacamata kita bisa memandang ke segala arah, tetapi kenapa tidak mencoba untuk melihat dalam kacamata orang lain dan tidak memaksakan kacamata kita untuk orang lain. 'Kan min nya tidak sama?

Dengan mencoba kotak lain, pandangan lain, gagasan kita tidak menjadi hanya bau ketek yang keluar dari kotak lain sehingga baunya tidak sedap. Dengan memakai kotak lain kita tidak hanya berbunyi seperti katak kena kutuk bau ketek? Memangnya kita pangeran katak?

0 komentar:

Posting Komentar