“Sang Penghibur” Menggempur Dunia yang Kabur




aku bukanlah seorang yang mengerti..
tentang kelihaian membaca hati,

Kutipan lirik lagu diatas nampaknya hendak menegaskan bahwa filosofi tanaman padi—semakin berisi semakin merunduk yang menjadi inspirasi nama grup bandnya sekaligus dijadikan prinsip hidup kelompok musik Padi—tetap dipegang teguh.



Grup band asal Surabaya yang didirikan 8 April 1997 ini diawaki oleh Satriyo Yudi Wahono alias Piyu (gitar), Andi Fadly Arifuddin (vokal), Ari Tri Sosianto (gitar), Rindra Risyanto Noor (bas), dan Surendro Prasetiyo alias Yoyok (drum). Kini semakin berisi dalam bermusik dan merunduk dalam berlirik yang pada album terbarunya—bertajuk Tak Hanya Diam—begitu kental terasa tema sosial dan nilai-nilai universal, tidak hanya bercerita tentang hubungan cinta pria dan wanita.

Dengan lagunya Sang Penghibur—yang menjadi hits single—Padi seolah ingin memberikan sebentuk interupsi terhadap waktu yakni menggugat kecepatan. Tak sadarkah bahwa kini ritme hidup kita begitu cepat?

Dalam segala aspek kehidupan kita mengidolakan kecepatan; mencuci baju ada mesin pencuci, mendapatkan atau menyampaikan informasi ada internet, menyapu ada penyedot debu, makan ada makanan cepat saji sampai aktivitas-aktivitas yang paling intim (seks) pun kita menginginkan cepat. Bahkan karena saking cepatnya kita tak pernah sadar bahwa sebenarnya kita sedang bergerak dengan cepat dan menginginkannya lebih cepat lagi.

Saat ini, ungkap Carl Honorê penulis buku In Praise Of Slow, seluruh dunia mengalami mengalami time-sickness (mabuk-waktu). Hari ini kita semua tunduk pada kultus kecepatan. Kita selalu dalam keadaan tergesa-gesa.

Pada tahun-tahun awal abad ke 21 ini, segala sesuatu dan semua orang berada dalam tekanan untuk bergerak lebih cepat. Di zaman serba sibuk dan penuh ingar bingar ini segala sesuatu berpacu melawan waktu, tutur Guy Claxton seorang psikolog asal Inggris, akselerasi kini telah menjadi sifat dasar kedua dari manusia. Kita telah mengembangkan suatu psikologi tentang kecepatan, penghematan waktu dan pemaksimalan efisiensi yang semakin menguat dari waktu ke waktu.

Obsesi modern terhadap kecepatan waktu telah melampaui segala hal dan menyebabkan semua orang merasa bahwa penundaan beberapa menit saja dapat menghancurkan seluruh hadapan untuk hidup.

Program diet gagal? Cobalah sedot lemak. Terlalu sibuk memasak? Beli saja microwave. Ketinggalan informasi, dapatkan koneksi dengan internet. Semua orang sibuk dengan koran di tangan, bermain video game, mendengarkan musik dari Mp3, bekerja dengan laptop, mengatur jadwal dengan PDA atau asyik ber-“ha-hai” dengan Hp.

Budaya kita yang berkembang dibawah telunjuk modernisasi dan ketiak peradaban industrialisasi mula-mula memperbaharui cara kerja dengan mesin kemudian mengambil cara kerja mesin sebagai model hidup. Kita tengah diperbudak oleh kecepatan dan semuanya telah mengalah kepada virus busuk—yang sama yakni hidup dengan cepat—dan lamat-lamat merembes hingga wilayah kehidupan pribadi dan memaksa mengonsumsi makanan cepat saji. Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, begitulah kata peribahasa Italia.

bukankah hidup adalah perhentian…
tak harus kencang terus berlari,

Mengapa kita selalu tergesa-gesa? Mungkinkah atau bolehkah memperlambat ritme kehidupan?

Kecepatan tidak selamanya merupakan kebijakan terbaik, kata Carl Honorê. Hukum evolusi bekerja menurut prinsip survival for the fittest bukan survival for the fastest. Memang benar, kecepatan telah terbukti membantu kita memperbaiki dunia ini hingga mencapai taraf yang mengagumkan dan membebaskan. Kita tidak bisa menyangkal kebebasan yang diberikan oleh internet dan kecepatan yang diberikan pesawat jet.

Namun persoalannya adalah kecintaan kita terhadap kecepatan dan obsesi untuk melakukan segala hal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sudah keterlaluan. Kecintaan dan obsesi itu sudah berubah menjadi candu (addiction) atau malah telah menjadi berhala. Bahkan sekarang kecepatan mulai berbalik memangsa kita ketika kita mulai lupa bagaimana memperlambat gerak. Ketika kita mulai lupa bagaimana menulis dengan pensil karena terlampau sering menulis dengan komputer. Inilah salah satu dampak dari kultus kecepatan yakni dehumanisasi.

Rumah sakit dipenuhi orang-orang yang menderita sakit akibat stress, frustasi, gelisah, gemetaran dan sênewên karena tidak tepat waktu (John Girdner menyebutnya dengan istilah newyorkitis), gangguan pencernaan, sulit tidur, migrain, tekanan darah tinggi, asma dan lainnya. Budaya kerja menjadi budaya “kejar” yang akhirnya merusak kesehatan mental.

Kehidupan yang tergesa-gesa dapat menjadikan dangkal dan banal, Milan Kundera menulis (1996) “ketika segala sesuatu terjadi dengan terlalu cepat, tidak ada lagi orang yang merasakan kepastian tentang apa pun. Tidak ada orang yang merasa pasti lagi, bahkan tentang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang menyatu bersama kita dan membuat kehidupan bermakna—komunitas, keluarga, persahabatan—maju menyatu cepat dalam sesuatu yang tidak cukup bagi kita, yakni; waktu”

Depresi, insomnia dan pelbagai kerusakan lainnya akibat time-sickness, tak salah kalau Honorê menyebutnya dengan Abad Kemarahan. Kita menuju jalan yang penuh kemarahan, pasar yang dipenuhi omelan, jalanan yang disesaki caci maki, hubungan yang ditandai perseteruan, persahabatan yang dibumbui kedengkian dan romantika kekerasan lainnya.

Tak ada lagi tutur kata yang ramah dan santun. Kini kata-kata berubah menjadi kata-kata yang kotor penuh umpatan, hujatan, cacian, makian, kasar dan telenges. Dalam kondisi ini tepatlah apa yang digambarkan oleh Padi

setiap perkataan yang menjatuhkan
tak lagi kudengar dengan sungguh
juga tutur kata yang mencela
tak lagi kucerna dalam jiwa

Sudah hilang nilai-nilai budaya hormat ka saluhureun, nyaah ka sahandapeun, someah ka sasama, resep nulung kanu butuh, nalang kanu susah, silih asih, silih asah jeung silih asuh, hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Masyarakat kita menjadi lebih resep maledog kanu gede, nalipak kanu leutik, aing-aingan, resep pasea jeung garelut.

Mabuk-kecepatan ini juga menjadi sebuah gejala dari rasa tidak tentram yang bersifat eksisntensial dan mendalam. Kita kehilangan selera untuk memperlambat ritme kehidupan dan hanya membiarkan diri dengan pikiran kita sendiri. Ketika tak ada yang dikerjakan (baca; nganggur atau nyantai) kita pun panik, bosan, gelisah dan akan berusaha mencari sesuatu, apa saja bisa memanfaatkan waktu.

Kebosanan merupakan temuan abad modern, kata Honorê. Masa hidup kita ini terobsesi oleh hasrat untuk melupakan dan untuk itulah kita dipaksa untuk “beriman” kepada setan kecepatan bahwa manusia ini sudah lelah dan muak terhadap dirinya sendiri.
Kenapa hal ini bisa terjadi?


bukankah ku pernah melihat bintang
senyum menghiasi sang malam
yang berkilau bagai permata
menghibur yang lelah jiwanya
yang sedih hatinya

Pada titik ini virus time-sickness telah menjalar pada pribadi yang menyebabkan penyakit eksistensial; kehampaan hidup, ketidakberartian. Orang-orang barat kemudian sibuk mempelajari yoga, kearifan-kearifan timur dan mengikuti kumpulan-kumpulan spritualis semacamnya.

kugerakkan langkah kaki dimana cinta akan bertumbuh
kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi yang terputus
masih kucoba mengejar rinduku
meski peluh membasahi tanah
lelah penat tak menghalangiku menemukan bahagia

Sebaliknya masyarakat kita malah sedang gandrung dengan antek-antek kerajaan setan kecepatan ini, kita mengagungkan efisiensi, efektivitas, gila kerja dan semacamnya—karena yakin bahwa kecepatan dan ketepatan adalah kebajikan moral yang membawa kesuksesan—untuk memburu kesenangan.

Seharusnya kita bisa berhenti sejenak dari segala perlombaan kesenangan ini, hanya sekedar untuk merefleksi; mengapa kita harus bekerja mati-matian?.

kuhelakan nafas panjang
tuk siap berlari kembali
melangkahkan kaki


Time-sickness yang membuat dunia (barat) menjadi kabur (melarikan diri) sesungguhnya tidak-lah keliru. Hanya saja dengan “rukun iman” waktu adalah uang akhirnya membentuk falsafah kebudayaan yang cenderung materialistik dan pragmatis. Dalam falsafah kebudayaan ini, materi dijadikan sebagai tujuan kebajikan puncak sedang dunia spiritual hanya dijadikan sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan secara materi (dan kita di sini sedang menirunya).

Sesungguhnya serangan balasan terhadap ritme kecepatan bukan berarti anti-kecepatan melainkan melakukan hal dengan tenang, hati-hati, reseptif, tidak tergesa-gesa, reflektif, sabar dan kualitas diatas kuantitas. Melakukan dengan lambat berarti melakukan hubungan yang nyata dan berarti, dengan orang lain, dengan budaya, dengan pekerjaan, makanan dan segala sesuatu.

Dengan memaknai bahwa hidup adalah perhentian, kita memiliki surat izin untuk santai, untuk berpikir, untuk merefleksikan persoalan-persoalan eksistensial yang besar. Karena bergerak dengan cepat berarti bereaksi bukan berefleksi. Bisakah pertanyaan-pertanyaan—kenapa kita hidup? buat apa hidup ini? hendak kemanakah kita menuju dengan segala pencapaian peradaban ini—yang bersifat eksitensial dijawab dengan cepat. Maka sebenarnya melakukan segalanya dengan reflektif berarti berjalan

…menuju cahaya.

Hidup yang tidak ditanyakan tidak pantas untuk dijalankan, ungkap Socrates. Socrates hidup beberapa abad sebelum masehi, dia hidup jauh sebelum ditemukannya komputer sedangkan grup band Padi hidup di tengah hiruk pikuknya perkembangan teknologi. Grup band Padi memang bukan sekumpulan filsof—seperti halnya Socrates—tetapi mereka mencoba untuk berfilsafat lewat lagu-lagunya.

Sungguh ada benarnya perkataan Goethe bahwa apa yang terlihat konyol untuk diceritakan bisa dikatakan lewat lagu (dinyanyikan). Tabik Sang Penghibur!

*Penulis adalah penggemar musik dan lirik, anggota Madzhab Santai.

0 komentar:

Posting Komentar