Interupsi Nasionalisme untuk Bangsa Indonesia




Individu hanya hidup bila jiwa dan jasad berpaut padu.
Suatu bangsa hanya hidup bila mampu memacu tradisi masa lalu.
Individu akan mati bila alunan hayat mengering tak berinti.
Suatu bangsa akan mati bila kehilangan pegangan pada tujuan hidupnya sendiri.
—Muhammad Iqbal



Pada tanggal 3 Mei 1998 atas desakan rakyat Indonesia—yang pada waktu itu dimotori oleh elemen mahasiswa—Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI yang berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Indonesia memasuki episode baru yang lebih dikenal dengan sebutan era Reformasi.

Yang dimaksudkan dengan reformasi adalah pembaruan atau perubahan yang tentu saja menuju perbaikan. Reformasi merupakan bagian dari peningkatan arus aspirasi rakyat dengan prasyaratnya yaitu demokratisasi.

Menurut Dahlan Ranuwihardjo (1998) reformasi merupakan suatu keniscayaan sejarah (historische notwendigkeit). Sebagaimana pada masa Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang, Bung Karno selalu mengumandangkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan historische notwendigkeit sehingga akhirnya kemerdekaan itu terwujud melalui proklamasi 17 Agustus 1945.

Seiring dengan bergulirnya agenda reformasi—salah satu agenda utamanya adalah terwujudnya clean government yang di dalamnya terdapat penghapusan dan penghukuman bagi siapa saja (terutama pejabat teras) yang telah melakukan praktik KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme)—ironi sekali ternyata Soeharto menjadi salah satu tersangka pejabat yang terlibat praktik KKN. Soeharto yang dulu pada zaman orde baru nyaris menjadi “orang yang tak tersentuh” kini menjadi “sentuhan” sehari-hari bahkan pada level kelas terendah sekalipun.

Soeharto menjadi sosok paling fenomenal sekaligus kontroversial di negeri ini. Dicibir sekaligus di sanjung, dicaci tapi dipuji. Pada tanggal 27 Januari 2008 kembali menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia, mantan presiden kedua Republik Indonesia yakni Jenderal Muhammad Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya.

Soeharto tetap Soeharto—terlepas dari pelbagai kesalahan yang pernah dibuatnya—kita tidak boleh melupakan statusnya sebagai manusia. Sebagai seorang putera terbaik negeri ini yang pernah memberikan sumbangan pikiran dan tenaganya untuk kemajuan bangsa ini. Sudah sepantasnya kita mendoakan kebaikannya dan memaafkan segala kesalahannya sekaligus menyampaikan rasa terimakasih atas segala jasa-jasa yang telah diberikan oleh bapak pembangunan ini. Selamat jalan pak Harto. Mari kita menatap jalan ke depan untuk perbaikan bangsa dan negara Indonesia ini.

Rata PenuhInterupsi Nasionalisme

Dalam matra politik, refleksi terhadap negara dan bangsa dalam konteks dunia mendapat tempat dalam agenda tiap negara, tak terkecuali Indonesia. Mereka dipaksa kembali merenungkan dirinya, sejarah dan cita-citanya. Nasionalisme sebagai sebuah tema yang menyeruak kembali dalam kaitannya dengan banyak aspek, baik ekonomi, politik, kebudayaan, maupun pertahanan.

"Negara anda sudah merdeka. tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?" tanya Rendra (1993). Itulah pertanyaan sesungguhnya. Bukan pada masih ada tidaknya nasionalisme tapi pada "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu sendiri. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan.

Nasionalisme adalah sebentuk pencerahan yang bersandar pada akumulasi pengalaman penjajahan yang harus dijejakkan pada pengalaman aktual. Merdekakah kita ketika penggusuran masih terjadi? Merdekakah kita ketika makna bahasa masih dihegemoni dan dipelintir untuk kepentingan golongan tertentu dan pendidikan ternyata tidak mencerdaskan bahkan membodohkan?

Merdekakah bangsa kita ketika kemiskinan masih merajalela di tanah air sendiri? Merdekakah bangsa kita ketika kesenjangan sosial dan politik begitu jauh? Merdekakah bangsa kita bila tidak ada jaminan perlindungan dan keadilan hukum? Merdekakah bangsa kita bila sistem ekonomi makin mencekik pedagang kecil?

Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu, adalah kemerdekaan negara dan bangsa? lanjut Rendra.

Indonesia lahir bukan dari lamunan asal jadi melainkan dari imajinasi kreatif yang menjadi energi bertindak dan penuh keberanian dari para pelopor bangsa kita. Republik Indonesia berdiri bukan karena adanya paksaan dari salah satu suku besar, melainkan karena adanya rasa kesatuan yang murni dari semua suku yang beragam budaya, agama dan keturunan.

Nasionalisme memperkenalkan identitas nasional sebagai tali pengikat diri dan—dengan demikian—menjadi jati diri individu. Identitas nasional adalah sebentuk kesadaran diri, ia juga kesadaran orang lain. Kesadaran itu mengidentifikasikan mereka yang memiliki identitas itu, dan mereka yang wajib kita bantu

Namun senadung nasionalisme tak akan menggaung tanpa "nada-nada kecil" yang bernama rakyat. Kedaulatan rakyat hanya eksis bila rakyatnya menyadari dan mengakui (nasionalismenya) itu.

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Iqbal “suatu bangsa akan mati bila kehilangan pegangan pada tujuan hidupnya sendiri”. Dan tujuan hidup itu adalah nasionalisme.

Wallahu ‘alam bis showab.

0 komentar:

Posting Komentar