Solo, Kamis, 07 Juli 2011


Menikmati hari ini sendiri lagi. Sudah lama tidak merasakan kondisi seperti ini. Ditinggalkan sendiri. Ada sesuatu yang menikam, Begitu mencekam. Di sela waktu ini, di tempat yang berbeda, ada seorang yang gantung bunuh diri, karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, padahal kebutuhan hidup tidak bisa di tahan.

Kali pertama, mendapatkan pekerjaan hanya ingin menyalurkan hasrat eksistensi dengan mendapatkan prestasi sesuai dengan bakat atau legenda pribadi yang ingin ia wujudkan, Namun lama kelamaan, ia menjadi lupa dengan tujuan hidupnya. Dan biarlah alur hidup itu sendiri yang membawanya kemana bersinggah.
Banyak hal yang membuat ia lupa, namun hanya satu yang ia ingat, bahwa ia sengaja melupakannya, melupakan mimpi-mimpi yang sempat ia bangun dahulu, sempat ia rawat, dan peliahara dengan sangat. Kini mimpi itu memudar dan di perbaharui dengan yang lebih segar, lebih kini. Mimpi itu perlu di revisi. Di seleksi. 
Karena di dalam kenyataan tidak ada peri keberuntungan yang ada hanya penderitaan yang selalu bergelantungan tak terperi.

Namun juga, ada yang sebaliknya, menurutnya pekerjaan bukan tentang mendapatkan uang atau bukan, melanjutkan hidup atau bukan, melainkan pertahanan harga diri. Menurutnya itulah benteng pertahanan terakhir dari kemanusiaan.

Aku bukan ingin membandingkan satu orang itu menjadi pemenang, satu orang lagi adalah pecundang. Tak ada pikiran ke arah itu. Hidup bukanlah perkara menjadi pemenang. Karena sejatinya kita semua yang hidup, adalah pemenang. Tak ada yang perlu di menangkan lagi dalam hidup ini. Yang di perlukan adalah menjalaninya dengan tenang. Banyak orang yang diindikasikan sebagai pemenang; dalam hal materi mungkin ia kaya, dalam hal popularitas mungkin tak terkalahkan, dalam hal jabatan mungkin ia paling berkuasa?
Tapi apatah artinya semua itu kalau kehidupanya tidak tenang?

Ia begitu gelisah menghadapi hari. Begitu tersiksa ketika malam? Apa artinya semua yang ia dapatkan kalau hanya untuk menunjukkan bahwa ia adalah paling super? Paling hebat, paling tahu, paling segalanya? Bukankah yang paling-paling itu adalah Tuhan. Dia adalah Maha!

Kita bukan apa-apa sebenarnya, hatta seorang nabi, ulama atau bahkan presiden sekalipun hanya kumpulan daging yang bertulang seperti halnya pemulung di sisi jalan? Atau seorang pelacur yang menjajakan tubuhnya untuk sekerat daging KFC. Tidak ada yang membedakan.

Sebentar, sebenarnya saya tidak tahu mau menulis apa. Sholat dulu ah, ini mah pemanasan aja karena sudah lama tidak nulis. Hehe.




0 komentar:

Posting Komentar