KORESPONDENSI 4; PERGOLAKAN BATIN HERMANN TRIBBIANI*



Memiliki kekuasaan atas seseorang itu ternyata tidak mengenakkan, menjadi pemimpin bagi orang lain itu ternyata lebih susah ketimbang menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Kalau untuk diri sendiri, segala sesuatunya menjadi gampang, terserah kita mau melakukan apa saja juga, karena kita yang bakal menanggung konsekuensinya, bukan orang lain. Tapi ketika memimpin orang lain, segala keputusan kita, selain kita yang bakal menanggung, orang lain juga bakal kecipratan resikonya.
 
Oleh karena itu, Hermann mengakui kalau pemimpin itu mesti bijak, dan bijak adalah salah satu kosakata yang belum tuntas Hermann pahami apa maknanya.
 
Kemungkinan, menurut Hermann, bijak melebihi sikap adil. Seseorang yang adil, belum tentu bijak, tetapi seseorang yang bijak, sudah tentu adil, karena terkadang kebijaksanaan tidak selalu berbarengan dengan keadilan. Bahkan, bisa saja, kebijaksanaan bertentangan dengan keadilan?
Apa mungkin? Hermann juga sebenarnya ragu. 

Seorang pengacara, ketika membela klien nya, selalu mengedepankan “asa praduga tak bersalah” tetapi ketika berhadapan musuhnya, selalu berkata “dia salah”. Bagi pengacara keadilan berasal dari siapa yang membayar. Sekalipun yang membayar itu sudah jelas-jelas salah. Tentu saja pengacara tidak bisa disebut bijak. Tetapi sudah tentu adil, sekalipun kerap kali memakai standar ganda, ketika menilai seseorang.
 
Dan begitulah aku, kata Hermann. Kita selalu begitu, ketika satu malapetaka menimpa orang lain, kita selalu bilang begini dan begitu. Tetapi ketika malapetaka yang persis sama menimpa kita sendiri, dengan sigap kita bilang; jangan terlalu cepat menuduh.
 
Maka Hermann sangat tidak percaya pada ungkapan bahwa seluruh manusia di dunia ini pada dasarnya adalah saudara. Kalaulah iya saudara, tidak akan ada kemiskinan, pembunuhan, pembantaian yang kerap kali dilakukan oleh satu manusia kepada manusia lainnya. Bagi Hermann, pelbagai macam kejadian di dunia ini sudah cukup membuktikan bahwa manusia itu pada dasarnya bukan saudara, melainkan seteru. Aku dan kamu. Saya dan orang yang membaca.
 
Entah siapa yang pertama kali menghembuskan kata-kata mutiara itu, yang jelas hal itu telah membuai manusia hidup dalam alam kemunafikan. Sudah jelas-jelas manusia itu berbeda; agama, ras, tubuh, pemikiran. Maka tak usah dipaksa untuk di sama-samakan. Banyak sekali kebohongan yang di wariskan oleh nenek moyang kita, hanya saja kita tak mau membongkarnya, karena ketika kita mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya, ternyata hal itu sangat menyakitkan.
 
Nenek moyang kita sengaja membuat kebohongan agar tata kehidupan di dunia ini stabil. Tapi kehidupan memang tidak bisa stabil, tidak diciptakan untuk stabil, diam, statis, melainkan bergerak, dinamis; dan lambat laun kebohongan itu pun terbongkar satu persatu. Maka siap-siaplah umat manusia untuk menjadi pesakitan dari hari ke harinya.
 
Namun jangan khawatir, manusia yang paling sadar adalah dia yang paling banyak merasa sakit. Dan yang paling cerdas diantara mereka adalah yang paling tampak kepucatan, Hermann mengingat perkataan Rumi itu dengan seketika.
 
Dan sungguh berat sekali ketika kita mempunyai kekuasaan untuk melakukan apa saja terhadap orang yang membenci kita; apa yang akan anda lakukan terhadap orang yang membenci anda, ketika anda memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja terhadap dia?
 
Atas jawaban pertanyaan ini, Hermann mendadak pengen jadi Tuhan, pengen jadi malam, pengen jadi hujan, pengen jadi angin, pengen jadi senja, pengen jadi apa saja yang tidak memiliki perasaan, karena ketika ingat ia memiliki perasaan, Hermann serta merta ingin membunuh.
 
Tentu saja, memaafkan itu tak seberat memindah samudera, seperti yang dilantunkan Padi dalam sebuah lagunya.
 
Hermann sepakat dengan hal itu, tapi sampai sejauh mana kesalahan itu bisa di maafkan? Karena kita adalah manusia, yang selalu mempunyai limit keimanan, kesabaran, ketabahan. Semuanya memiliki batas. Hanya Tuhan-lah yang Maha Tak Berbatas.
 
***

Sejatinya, Hermann sudah memaafkan orang yang diidentifikasi membencinya itu, bukan siapa-siapa yakni karyawannya sendiri. Alasan kenapa karyawan membencinya sangat sederhana; karena Hermann pernah menegur dia. Sebagai seorang atasan, lumrah saja kalau Hermann menegur kinerja bawahannya. Ketika karyawan akhirnya balik membeci dirinya, Hermann rasa hal itu juga wajar, karena dia tidak bisa memaksakan orang lain untuk menyukainya begitu juga sebaliknya.
 
Sisi positifnya adalah, akhirnya Hermann jadi tahu bagaimana sikap dan watak dia sebenarnya; dia tidak bisa menerima pendapat orang lain, hatta dari Hermann sekalipun yang nota bene sebagai seorang atasannya. Hermann kira, itu juga wajar, karena hak setiap orang untuk menerima atau menolak pendapat orang lain.
 
Hanya saja dalam bekerja, ada kata mutiara yang kerap kali di sebut profesionalitas, inilah kosakata kedua yang belum tuntas Hermann pahami maknanya. Yang jelas, selepas di tegur, produktivitas karyawan itu malah semakin menurun. Itu yang Hermann heran. Tidak hanya saja itu, sikap dia terhadap Hermann juga berubah drastis. Berbeda dengan karyawan lain, yang sama-sama kena teguran, namun tetap pada stabilitas kerja seperti dulu pun tidak merubah habitualitas sehari-harinya dari segi interaksi, komunikasinya terhadap Hermann.
 
Hal pertama yang Hermann pikirkan adalah; mungkin aku terlalu keras kepadanya, mungkin terlalu cepat mengharapkan sebuah perubahan, tidak mungkin seseorang bisa berubah dalam jangka waktu yang relatif singkat, semuanya butuh proses, mungkin dia sedang memikir-mikirkan teguranku, mungkin dia ada masalah di keluarganya, mungkin dia dalam transisi merubah dirinya, mungkin,… mungkin,… mungkin, … Ada pelbagai banyak kemungkinan disana yang tidak mungkin Hermann rinci satu persatu.
 
Beberapa bulan berlalu,
 
Perubahan sikap yang diharapkan pun tak kunjung muncul ke permukaan. Malah, dalam pandangan Hermann, karyawan itu kerap kali menghindar ketika Hermann hendak berkomunikasi dengan dirinya, seperti males. Tentu saja, Hermann juga sebenarnya mules dengan sikap dia, hanya saja. Hermann acuh dengan keadaan itu. Ada sebuah pertimbangan besar, untuk sampai pada keputusan mengeluarkan dia dari pekerjaan. Maka ide untuk memecat dia, Hermann jauh-jauhkan dari pikirannya. 

Hanya saja, semakin hari ide itu di jauhkan malah semakin terpikirkan.
 
***

Memecat seseorang mungkin saja adalah perkara yang gampang bagi orang lain; tinggal pecat! Gitu aja kok repot?
 
Tapi tidak bagi Hermann. Itu sulit, sesulit mencari pekerjaan itu sendiri, Hermann sudah lebih dari cukup merasakan pahit getir bagaimana susahnya mencari pekerjaan; kirim lamaran sana sini, menunggu panggilan wawancara, pemasukan tidak ada sementara pengeluaran tidak bisa di terka. Dalam seketika, pengangguran menjadi kalimat paling laknat yang pernah di dengarnya dan sarjana berubah menjadi dogma yang sejatinya berasal dari neraka, hanya saja dunia berhasil menyulapnya menjadi kosakata manis tidak terkira.
 
Bagi orang lain yang tidak pernah merasakan hal yang serupa, mungkin saja keadaan Hermann itu dianggap lebay. Mereka akan bilang; “serius amat? Jalani hidup ini dengan santai!”
 
Tapi bagi Hermann, orang yang tidak memiliki tenggang rasa terhadap pengalaman yang dirasakan oleh orang lain, derajatnya lebih rendah daripada Anjing! Arti hidup mereka sama dengan tai!
 
Hermann tidak ingin orang lain, orang yang nanti akan di pecatnya, sampai merasakan kepahitan yang serupa.
 
Hermann masih memegang teguh prinsip bahwa inti ajaran kemanusiaan adalah memperlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin di perlakukan, sebagaimana yang pernah ia baca di bukunya Voltaire beberapa tahun silam.
 
Tapi, kemudian Hermann ragu kembali akan kebenaran ucapan itu, karena tidak semua orang akan bereaksi sama terhadap suatu perkara seperti halnya kita bereaksi. Karena ternyata hukum kehidupan itu bukan hanya di atur oleh hukum pahala dan dosa, surga dan neraka melainkan juga di atur oleh suatu hal yang sangat sepele, bernama selera.
 
Seperti halnya cheff Farah Queen, Rudi Choirudin atau Barra Patiradjawane memperlakukan masakannya, begitulah juga kita memperlakukan sesuatu yang metafisik; kepercayaan, agama, dan Tuhan pun diatur sesuai dengan selera masing-masing.
 
Hermann kemudian berpikir bahwa menjadikan diri sendiri sebagai patokan terhadap orang lain adalah suatu kemungkinan bukan kebenaran tetapi bukan kesalahan; mungkin setiap orang akan berlaku sama seperti kita, mungkin juga tidak, sebab setiap orang berbeda. Dan itulah kebenarannya. Kehidupan manusia tidak bisa dipakem dengan hukum logam, dimana ketika dipanaskan selalu memuai. Tentu saja, karena manusia bukanlah barang, yang tidak memiliki perasaan dan pikiran. Namun, itu tadi, perasaan dan pikiran seluruh umat manusia di dunia ini tidak mungkin bisa disamaratakan, sekalipun jasadnya bisa jadi persis sama.
 
Ini meresahkan Hermann, karena ternyata prinsip yang selama ini di pegangnya mempunyai celah salah, dan bagi Hermann sebuah prinsip tidak mungkin di bangun atas sebuah kesalahan, sebuah prinsip itu mesti diusahakan sempurna tanpa cela argumentasi setidaknya bagi orang yang memegang prinsip itu sendiri. 
 
... tapi untunglah itu tidak berlangsung lama, karena Hermann selalu siap dengan segala perubahan sekalipun perubahan itu cukup menghenyakkan. Karena ada prinsip lain yang dipegang oleh Hermann selain tentang kemanusiaan yakni tentang perubahan dan tentang hal lain yang kerap kali berbenturan.

 
….

 
“ya, aku akan memecatnya sehalus senja” gumam Hermann akhirnya.[]




_______________________________
*sebuah pertanggung jawaban

0 komentar:

Posting Komentar