Satu Kata, Rahmatân lil ‘Alamîn!




Katalog ingatan keberagamaan umat Islam pada umumnya sudah cukup penuh dengan pengalaman munculnya aliran-aliran sempalan, misalnya Mahesa Kurung, Sholat Billingual ustadz Roy, Jamaah Salamullah Lia Aminudin, Al Qiyadah Al Islamiyah, Al Qur’an Suci—dan yang kini terus mendapat sorotan media massa adalah—Jama’ah Ahmadiyah.



Akhir dari riwayat mereka pun berbeda-beda ada yang tragis, sadis atau cukup dramatis; Lia Aminudin serta Ustad Roy mesti rela mempraktikan ritual keagamaannya di penjara, Mosadeq sang Nabi dipaksa melepaskan singgasana kenabiannya dengan bertobat di depan publik sedang nasib Jama’ah Ahmadiyah banyak yang terlunta-lunta dikarenakan rumah tinggal beserta rumah ibadatnya di rusak.

Melihat kejadian yang menimpa mereka, entah kenapa saya jadi teringat perjalanan Nabi Muhammad saat pertama kali memproklamirkan dirinya sebagai Nabi. Segenap warga Quraisy memperolok-olok dan mengejeknya, sebutan Al Amin yang melekat pada dirinya pun serta merta berubah menjadi Majnun (orang gila).

Nabi, manakala sudah diperintahkan oleh Allah untuk berdakwah secara terang-terangan (QS. al Hijr; 94), pernah diludahi, di lempari batu hingga seluruh giginya rontok. Tetapi, seperti halnya diungkapkan oleh sosiolog Islam Malik Ben Nabi (2002; 32), Nabi adalah mereka yang mewakili umat manusia dalam kesempurnaan tertinggi dalam kondisi fisik, moral serta intelektual. Nabi Muhammad tak pernah marah ataupun tersinggung terhadap apa yang telah diperbuat orang lain terhadapnya. Hatta, ketika seseorang yang senantiasa melempar kotoran ke muka Nabi sakit, beliau menjenguk dan mendoakannya.

Begitulah yang diajarkan oleh Nabi, karena sesungguhnya dia diutus untuk menyempurnakan akhlak (al hadist). Namun, apakah sekarang dibutuhkan seorang nabi lagi? Moralitas masyarakat, khususnya Indonesia, memang sedang terancam, berada di jurang titik nadir. Tetapi sampai membutuhkan diutus Nabi lagi untuk menyelamatkan, rasa-rasanya tidak perlu.

Sebab semua pedoman moralitas, tata perilaku hidup dan akhlak sesungguhnya sudah terangkum dalam dua perkara yakni Al Qur’an dan As Sunnah (Al Hadist), sekarang tinggal bagaimana umat manusia, di belahan dunia manapun bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Wajah Toleransi Kemanusiaan

Nampaknya wajah toleransi yang sering didengung-dengungkan oleh setiap kelompok keagamaan hanya sebatas lip service semata. Yang pada kenyataannya semua itu hanya bualan dan omong kosong belaka. Seiring sikap toleransi diucapkan seiring itu pula sikap benci dihembuskan.

Dalam tatapan sosiologis salah satu faktor penyebab yang vital kenapa sikap toleransi ini tak jua kunjung muncul, adalah persepsi yang dilakukan seseorang terhadap seseorang lainnya. Salah satu kenyataan yang terlihat dalam situasi sosial seperti itu adalah bahwa komunikasi antarwarga lebih diwarnai oleh relasi Subjek-Objek, khas modern (logika Cartesian). Dalam relasi ini, seorang warga atau satu kelompok dalam masyarakat akan melihat warga atau kelompok lainnya sebagai sosok yang tidak memiliki keunikan dan hak untuk berada. Hubungan yang dibangun dalam relasi ini adalah dominasi dan paksaan, seperti halnya manusia melihat alam.

Sekelompok masyarakat yang karena memiliki paham dan keyakinan berbeda harus menerima nasib tragis, dikejar-kejar, dikucilkan, dan dihancurkan rumah ibadah mereka!

Lalu pertanyaan yang muncul; apakah ada toleransi bagi orang Islam yang mengaku ada Nabi setelah Nabi Muhammad? Hemat penulis, ada! Yakni sebagai murtad atau kafir (al Kafiruun; 1-6). Maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana memperlakukan orang kafir?
Nabi menjelaskan ada dua jenis orang kafir yakni kafir harby dan kafir dzimi. Kafir harby adalah orang kafir yang menyerang maka kewajiban umat Islam juga untuk menyerang balik dalam rangka pertahanan diri. Sedangkan kafir dzimi adalah tipe orang kafir yang tidak menyerang, damai dan rukun hidup bersama dengan muslim. Pada jenis kafir ini Nabi tidak memperintahkan untuk berperang.

Tetapi kenyataan tentang kejadian pengrusakan rumah ibadat Jama’ah Ahmadiyah, oleh beberapa ormas (yang menamakan) Islam sungguh menghenyakkan dan menyayat hati. Mungkinkah keadaannya menjadi terbalik, kitalah yang kafir bukan ahmadiyah?
Sesungguhnya, benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Ahmad Wahib dalam buku hariannya itu, yang kita kenal sekarang adalah Islam menurut NU, Muhammadiyah, Persis, MUI sedang Islam menurut Allah sendiri kita tidak pernah (akan) tahu.

Kadangkala untuk memahami satu ayat al Qur’an saja perlu menghabiskan waktu separuh usia kita maka saya heran mengapa masih ada orang (beragama) yang arogan atas nama Tuhan. Bukankah agama Islam mempunyai visi rahmatân lil ‘alamîn? Kenapa bukan itu saja yang kita perjuangkan mati-matian?

Wallahu ‘alam bis showab

Penulis adalah muslim

0 komentar:

Posting Komentar