Pacaran; Budaya Permisif Atau Tindak Kekerasan?





Pacaran mungkin bukan istilah yang asing lagi bagi kalangan remaja sekarang. Pacaran—dalam kamus besar bahasa Indonesia—sama artinya dengan bercintaan atau berkasih-kasihan. Hingga saat ini kita melihat pacaran bukanlah institusi yang diakui keberadaannya oleh masyarakat dan hal ini dikukuhkan dengan tidak adanya ajaran agama tentang hubungan pacaran. Namun meski tanpa pengakuan, masyarakat memandang pacaran itu kewajaran.



Ditengah-tengah anggapan kewajaran itu, pacaran ternyata lambat laun menyembunyikan sembilu yang pada gilirannya menimbulkan pelbagai macam persoalan seperti free sex, hamil di luar nikah, tindak kekerasan, aborsi, HIV dan lain sebagainya.

Budaya Permisif

Kini budaya permisif begitu "mengideologi" dalam setiap tindak berpacaran. Praktik seks bebas (free sex) yang menjalar di kalangan remaja zaman sekarang telah menjadi problem serius. Berubahnya orientasi seks dari sesuatu yang sangat pribadi dan tertutup lalu kini dibuka lebar-lebar, seolah menjadi fenomena umum remaja modern. Mereka menjadi begitu permisif untuk saling menyentuh, bergandengan, berpelukan, petting (bercumbu tanpa melakukan coitus) dan bahkan bersenggama dengan lawan jenis. Memang tidak semua remaja melakukan hal itu. Tapi, penelitian membuktikan, angkanya selalu bertambah dari tahun ke tahun.

Sebagai gambaran, menjelang Valentine Day, Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) pernah melakukan survei terhadap remaja pinggiran Kota Bandung seperti Cimahi, Batujajar, Padalarang, dan Lembang. Dengan menyebarkan 500 angket ke siswa-siswi tingkat SMA di daerah tersebut. Mengejutkan, dari 413 responden yang menjawab angket secara "sah" 26,4% di antaranya mengaku lebih suka merayakan Valentine Day bersama gebetan atau kekasih dengan jalan-jalan, makan-makan lalu berciuman (melakukan seks) (PR 12/02/05).

Meski bukan satu-satunya penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di lingkungan kita, tetapi budaya serba boleh (permisif) di kalangan kita mendorong perilaku seks, narkoba semakin meningkat. “Ah, pacaran kalo cuma gandengan doang mah garing, enggak ciuman enggak asyik, Temen-temen juga sudah banyak kok yang sudah gituan. Gue nganggepnya fine-fine aja tuh”.

Salah satu faktor penyebab adalah kurangnya pendidikan seks di sekolah maupun di rumah. Gu¬ru tidak pernah mendiskusikan masalah seks, karena alasan normatif (tidak ada aturan atau kurikulumnya). Sedangkan orang tua di rumah tidak pernah mengomunikasikan masalah seks kepada anaknya karena alasan budaya, tabu.

Tindak Kekerasan

Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau (Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar.

KDP merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan definisi kekerasan terhadap perempuan itu sendiri, menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994 pasal 1, adalah “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”

Namun demikian, walaupun termasuk dalam kekerasan terhadap perempuan, sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.

Kekerasan yang terjadi dalam relasi personal perempuan ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual. Dari segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, meninju, menendang, menjambak, mencubit dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti cemburu yang berlebihan, pemaksaan, memaki-maki di depan umum dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan dalam hal ekonomi jika pasangan sering pinjam uang atau barang-barang lain tanpa pernah mengembalikannya, selalu minta ditraktir, dan lain-lain. Jika dipaksa dicium oleh pacar, jika ia mulai meraba-raba tubuh atau ia memaksa untuk melakukan hubungan seksual, maka ia telah melakukan kekerasan yang termasuk dalam kekerasan seksual.

Akhirnya, jika kita masih percaya di pundak pemudalah masa depan bangsa, maka tidak ada kata terlambat untuk memulai dan memperhatikan setiap problema remaja karena selama ini remaja hampir selalu ditinggalkan.

Wallahu ‘alam bis showab.***

0 komentar:

Posting Komentar