Memahami Akar-Akar “Mengingkari Janji”



Mengapa manusia bisa mengingkari janji kepada sesamanya? Pertanyaan sederhana ini menyimpan berjuta keheranan. Keheranan adalah sebuah perasaan yang timbul saat orang menghadapi yang tidak lazim. Namun ironinya pada saat sekarang ini, mengingkari janji nampaknya sudah (hampir) berada pada titik batas kewajaran, menjadi sesuatu hal yang lumrah dan lazim. Sehingga kompas keadaan menjadi berbalik arah; “mempersoalkan” mengingkari janji menjadi “sesuatu yang tidak lazim” sedang “melakukannya” menjadi “sesuatu hal yang wajar”.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam sebuah masyarakat yang menganggap mengingkari janji sebagai sesuatu yang lazim. Tak ada keheranan yang muncul atasnya, akal pun tertidur, dan bersamaan dengan itu mengingkari janji tidak pernah dipersoalkan. Sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan konsistensi ucapan/perkataan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan di atas sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.



Jawaban atasnya sangat mendesak dan kian merebak justru sesaat sesudah pencoblosan cagub/cawagub Jawa Barat selesai, dimana begitu banyak janji-janji kampanye di umbar oleh mereka. Katalog ingatan kita nampaknya sudah numpuk dengan pengalaman para pemimpin yang mengingkari janji-janji mereka sewaktu kampanye.

Mereka dengan enteng kemudian berkilah bahwa mengingkari janji itu hal yang manusiawi. Manusia ‘kan diserang oleh penyakit yang namanya lupa. Padahal di tengah keadaan yang dianggap "normal" dan sifat anamnestik ini begitu banyak orang mengalami nasib mengenaskan disebabkan janji-janji kesejahteraan—yang mereka ucapkan dulu sewaktu kampanye—tak kunjung jua terpenuhi.

Akar-Akar “Mengingkari Janji”

Dalam ulasan ini saya akan menarik perhatian pada dua akar mengingkari janji saja, terkait dengan conditio humana, yaitu; yang bersifat epistemologis dan sosiologis.

Hannah Arendt, filsof sosial perempuan kelahiran Jerman, menyebutkan salah satu fungsi sentral ucapan yaitu untuk menyingkap identitas agen. Dalam ucapan individu memperlihatkan diri sebagai individu khusus dan memperlihatkan pada dunia bahwa personalitas mereka itu khas. (d’ Enteves, 2003; 122)

Jadi hanya dengan ucapan, individu dapat memperlihatkan dan menekankan identitas mereka. Ucapan dalam pengertian ini terkait erat karena memuat jawaban pertanyaan yang diajukan setiap pendatang baru : siapa Anda? Dan penyingkapan tentang siapa ini dimungkinkan dengan mengucap kata-kata.

Ketika seseorang diam maka dia tidak menjadi “siapa” (pelaku) melainkan menjadi “apa” sebab pelaku hanya dimungkinkan jika pada saat yang sama adalah pengucap kata-kata.

Selanjutnya Arendt menegaskan, ucapan tanpa diiringi tindakan akan kehilangan kualitas kejelasannya dan tidak bisa diidentifikasikan dengan suatu agen (individu). Karena itu ucapan tidak bersuara lebih keras dibanding tindakan, namun sebaliknya tindakan juga—pada dasarnya—membutuhkan ucapan sebagai konfirmasi maksud intersubjektif dan keinginan untuk berbagi motif. Penyingkapan siapa yang mengucap dan bertindak untuk mencapai pemahaman timbal balik untuk berbagi motif dan keinginan. (d’ Enteves, 2003; 124)

Lantas mengapa ucapan seseorang tidak sesuai dengan tindakannya? Menurut Arendt kualitas dan konsistensi ucapan dan tindakan bergantung pada tingkat solidaritas individu.

Secara sosiologis solidaritas ini bisa bermakna tingkat intimitas relasi individu dengan individu yang lainnya. Dalam proses sosialisasinya solidaritas ini bisa dibentuk oleh pelbagai macam faktor sosial yang ada, misalnya suku, ras, wilayah, cara pandang keagamaan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari kita akan menemukan solidaritas yang bertingkat-tingkat berikut frekuensi intimitas yang berbeda-beda, contohnya solidaritas yang dibangun oleh anak-anak punk lebih kuat ketimbang solidaritas para anggota partai politik.

Hal ini disebabkan oleh karena makna solidaritas sangat bergantung pada rasa senasib dan kepercayaan yang diberikan oleh setiap individu dalam sebuah kelompok. Kepercayaan ini tak lain dan tak bukan adalah konsistensi antara ucapan dan tindakan seseorang. Manakala antara ucapan dan tindakan seseorang sudah tidak selaras lagi maka tingkat kepercayaan yang diberikan orang lain juga semakin berkurang dan hal inilah yang merubuhkan solidaritas.

Mengingkari janji bisa dimaknai “terdistorsinya” antara tindakan dan ucapan seseorang yang mengakibatkan lemahnya bangunan solidaritas. Distorsi ini bisa disebabkan oleh karena, fakta di dalam rasio kita sudah melekat bahwa ketika keinginan pribadi sudah terpenuhi maka janji tidak—dirasa perlu lagi untuk—ditepati. Dari akar epistemologis ini kemudian melahirkan aksi sosiologis berupa tindakan-tindakan hipokrit.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa sekarang begitu banyak lahir manusia-manusia hipokrit? Menurut Arendt hal ini dikarenakan solidaritas yang dibangun bukan “solidaritas kemanusiaan”—dimana seseorang bersama dengan orang lain dalam kebersamaan manusia—melainkan “solidaritas kepentingan”.

Wallahu ‘alam bis showab



0 komentar:

Posting Komentar