LELAKI LANGIT


# Menunggu Pagi 
Di sebuah ruangan, yang di sepakati masyarakat sebagai penjara, lelaki itu melipat kertas.

Matanya kemudian menatap keluar, sejauh pandangannya ia hanya menemukan pemandangan yang itu-itu saja, sebuah teras yang di apit oleh ruangan segi empat berteralis besi yang di penuhi orang-orang, seperti barang, tergeletak di sana-sini, tak beraturan. Berserakan. Mirip sebuah kamp pengungsian. Begitu saja.
Beberapa dari mereka, ada juga yang masih terjaga, seperti dirinya, tapi kebanyakan sudah terlelap. Ia sendiri masih belum terbiasa dengan kondisi seperti itu, perlu adaptasi.

Gak tidur? Tanya orang di sebelahnya.
Ia hanya menjawab dengan senyum.  
Tidurlah, tak ada gunanya juga terjaga.
Ya, jawabnya, disusul senyuman.

Di sakunya, kini tak ada BB. Bajunya juga bukan dari sponsor sebuah program televisi, tapi seragam. Sama seperti mereka, pencuri ayam, pemerkosa, para bandit dan segala bajingan yang sudah dulu meringkuk di balik jeruji LP. Seragam pesakitan, pertanda orang buangan, sampah masyarakat, kurang bagus untuk dibiarkan berkeliaran di luar sana, karena mengganggu.

Ya mengganggu. Alasannya banyak, karena mengganggu keamanan, merusak tatanan moral atau membuat keyakinan baru. Intinya meresahkan!

Dia diamankan karena meresahkan.

Sekalipun episode kehidupan seperti ini, tidak termasuk dari daftar cita-cita yang ingin diwujudkannya dalam hidup—siapa orang yang menginginkan di penjara?—tapi orang-orang di luar sana sudah melupakan bahwa dirinya juga manusia. Mereka ingin dia dihakimi, karena sudah meresahkan! Merusak moral anak bangsa, di hukum seberat-beratnya. Kalaulah kosakata Tuhan tidak ada, sebenarnya masyarakat ingin dia mati saja.

Tapi apa daya, masyarakat tidak bisa bergerak dengan leluasa, karena mereka masih hidup di bawah naungan Pancasila, yang salah satu silanya terdapat ungkapan Ketuhanan yang Maha Esa. Maka dengan sedikit munafik, menutupi keinginan yang sebenarnya, mereka menuntut agar orang seperti dia di hukum seberat-beratnya dan jangan dibiarkan bebas berkeliaran.

Penjara adalah tempat yang cukup tepat, sekalipun sebenarnya masyarakat sudah menginginkan dia dikirim ke neraka saja.

***

Betapa aku merasa menjadi orang yang paling bejat di seluruh dunia ini. Ya, perbuatanku memang tercela, sungguh sangat hina, nista. Laknat. Dan …
Aku sekarat. Gumamnya lirih.

Pikirannya kini sesak, semuanya mendadak terpikirkan. Tapi, karena saking banyaknya hal yang masuk dalam daftar pikirannya, ia sendiri jadi bingung tidak tahu harus memikirkan apa? Bagaimana? Mulai dari mana? Akhirnya karena lelah dengan keadaan, ia pun memutuskan untuk tidak memikirkan apa-apa. Hanya mengikuti saja kemana arah hatinya melangkah.

Miris.

Itu yang pertama kali terlintas dalam pikirannya, betapa miris sekali menjadi seorang pesakitan di kerangkeng tidak bisa kemana-mana. Serasa menjadi bukan manusia lagi tapi menjadi seekor binatang yang bahkan tak pantas hanya sekedar untuk berdiri di samping jalan, ini lebih rendah daripada setan! Setannya aja bebas berkeliaran. Kenapa dia enggak? Setan juga meresahkan? Kenapa tidak di penjara? Apakah karena setan bukan manusia? Oleh karena itu tidak pantas di penjara, sebenarnya siapa yang suka membuat keresahan? Setan atau manusia?

Ia pun menghela nafas, itu semua adalah pertanyaan yang paling konyol yang pernah terpikirkan selama ia memanggul kepala, sebelum akhirnya ia berkata pada dirinya sendiri. Bahwa betapa kehidupan itu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat dalam sekejap mata.

Dulu aku di sanjung di puja, menjadi salah satu ikon musik Indonesia. Lagu yang kuciptakan selalu menjadi hits, hampir tidak ada orang yang tidak mengakui kehandalanku dalam bermusik, dunia ada dalam genggamanku; apa yang diinginkan orang dalam bidang musik, aku sudah meraihnya, punya album, penghargaan Platinum, konser Tunggal, lagu banyak di gemari, untung dari RBT... semua-muanya.  Tak terkecuali.

Semua yang kuinginkan tidak pernah kekurangan; kekayaan, popularitas, perempuan?

Pada kalimat terakhir, pikirannya mendadak tersendat, seperti mendapatkan sebuah jurang yang membuat hari-harinya seperti kiamat.
Perempuan? Perempuan, Perempuan… Perempuan. Perempuan… ?

Seperti tidak sengaja beberapa kali ia mengulangi perkataan itu, dengan intonasi yang berbeda-beda, seperti kebiasaannya mencari nada dasar buat lagunya. Dan ternyata, menurutnya, ada sesuatu di balik kata itu yang belum bisa ia jabarkan. Ia semakin curiga dengan kalimat itu.  Ini adalah alamat.

Namun, setelah beberapa menit, jatuh pada kalimat itu. Ia pun memutuskan tak akan dulu melanjutkan pikirannya tentang itu, biarlah ia menjadi footnote, yang suatu saat nanti akan dipikirkan dengan lebih serius.

Itu harus! Bentak hatinya.

***

Malam semakin gelap, ruangan berbentuk segi empat itu kini hanya di huni oleh senyap di tingkahi dengan kondisi penerangan yang sungguh biadab. Kendati demikian, tak sekejap pun ia bisa memejamkan mata. Kepalanya sungguh sangat berat. Berat sekali. Di hadapannya hanya ada terali besi yang begitu rapat. Rapat sekali.

Ia pun bergumam lagi.

dan dengan segala pencapaian yang telah aku peroleh sekarang ini? Anehnya, membuatku semakin bingung mencari; apa lagi yang mesti aku raih?

Kepalanya menunduk, sementara kedua tumitnya menopang kedua tangannya.

Apa yang terjadi dengan hatiku. Kumasih disini menunggu pagi
Seakan letih tak menggangguku. Kumasih terjaga menunggu pagi
Malam begini, malam tetap begini. Entah mengapa, pagi enggan kembali
Entah kapan malam berhenti,
*

Dan kini, semua itu mendadak raib, tidak ada sofa nyaman, makan malam, jamuan-jamuan dari teman tentang persetujuan album rekaman, pertemuan-pertemuan dengan pihak label, konser, dunia pesta pora, canda tawa ria para penggemar. Semuanya sirna tak bersisa. Hanya ada dinding-dinding kumuh retak tak bersuara. 

Popularitas itu seumpama kayu bakar yang akan hangus menjadi abu ketika dilemparkan ke dalam tungku api. Tidak hanya popularitas sejatinya, loyalitas, integritas juga sama, bahkan identitas manusia sendiri mendadak nista ketika ada satu cela yang telah di lakukannya. Bukankah sudah diingatkan pula bahwa karena nila setitik bakal rusak susu sebelanga. Watak manusia itu sebenarnya tak kenal ampun, ketika menilai orang lain.

Hanya saja, masih mampukah kita memaafkan kalau yang melakukan cela itu adalah saudara kita, anak kita, adik kita? Atau bahkan diri kita sendiri? Mampukah kita melonggarkan rumus toleransi? Atau tetap dengan konsisten menghakimi?.[]















2 komentar:

  1. yang ingin baca dapet uang click di sini
    www.readbud.com/?ref=4308844

    BalasHapus
  2. tidak ada yang lebih menderita, ketimbang seorang yg terkoyak jiwanya.. satu terjebak dalam kemaksiatan.. satu tertarik pada cahaya kebenaran..

    tulisan-tulisan anda sangat luar biasa menyentuh bagi seorang awam spt saya.
    thanks for sharing.

    BalasHapus