Pembangunan Dan Kemajuan Zaman



Sumber : Wikimapia
Tumbuh kembangnya pelbagai macam bangunan baru—dimulai dari mall-mall, misalnya Carefour baru yang ada di Kiara Condong, menyebarnya minimarket-minimarket seperti Borma, Alfamart, Yomart, serta hotel-hotel dan bangunan lainnya—di kota Bandung ini sesungguhnya memberitakan bahwa memang Bandung sedang berjalan menuju kemajuan, namun kondisi ini juga dengan serta merta menyiratkan sebuah pertanyaan; akan kemanakah arah kemajuan ini dibawa? Hendak kemanakah kita melaju dengan segala perkembangan yang telah dicapai ini.
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan mengambil dua pandangan [klasik] yang selalu menjadi rujukan tentang teori kemajuan, kedua pandangan itu datang dari Comte dan Sorokin. Menurut Comte kemajuan berjalan secara linear, bahwa sejarah bergerak ke tujuan akhir, dan tahap-tahap sejarah sebelumnya penting, terutama karena sumbangannya terhadap tujuan akhir ini.

Bayangan Comte pada tahap terakhir akan memunculkan satu masyarakat di mana bimbingan intelektual dan moral yang diberikan oleh imam-imam sosiologi akan memungkinkan pemimpin-pemimpin politik untuk menentukan kebijaksanaan yang menjamin bahwa orang akan hidup bersama secara harmonis dan dimana industriawan yang berperikemanusiaan akan menyediakan alat-alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan materilnya secara mencukupi.

Dalam kemajuannya ini Comte meniscayakan adanya tiga fase yang mesti dilewati oleh satu masyarakat yakni fase teologis, metafisik dan positivis. Fase positivis ini, dalam anggapan Comte, adalah fase terakhir yang ditempuh oleh seluruh masyarakat dalam sejarah umat manusia. Tahap positif ini ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir dan mencerminkan keteraturan sosial yang bersifat industrial.

Di sisi lain Sorokin mengembangkan model siklus sosial; artinya di yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekadar pelipatgandaan saja; sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya luas dinyatakan.

Berbeda dengan Comte, Sorokin mengandaikan perubahan atau kemajuan yang terjadi dalam masyarakat itu berbentuk siklus. Sorokin tidak meniscayakan ada titik akhir dalam perjalanannya, tetapi kemudian ia lebih menekankan mentalitas budaya sebagai kunci dalam memandang arah perkembangan zaman.

Sorokin menyebutkan tiga mentalitas budaya; Pertama, mentalitas kebudayaan ideasional, yang menganggap bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Mentalitas ini memperlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden.

Kedua, mentalitas kebudayaan inderawi, bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik sedemikian rupa sehingga menghasilkan kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah. Sorokin menggambarkan mentalitas ini sebagai suatu “eksploitasi parasit” dengan motto “makan, minum dan kawinlah karena besok kita akan mati”

Ketiga, adalah mentalitas kebudayaan campuran, mentalitas campuran ini mempunyai dua corak, pertama mentalitas kebudayan yang campuran antara mentalitas kebudayaan inderawi dan ideasional sistematis dan logis berhubungan, sehingga tidak ada tarik menarik antara salah satu mentalitas kebudayaan tertentu. Corak kedua yang secara khusus didominasi oleh mentalitas kebudayaan inderawi, kedua perspektif (baik ideasional atau inderawi) tidak terintergrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.

Identitas Baru Bagi Bandung

Lantas, sesuai dengan pertanyaan yang saya ajukan pertama di muka, akan kemanakah arah kemajuan ini dibawa? Hendak kemanakah kita melaju dengan segala perkembangan yang telah dicapai ini.

Apakah kemajuan yang kita tempuh menuju masyarakat yang disebutkan oleh Comte yaitu masyarakat positivis, dimana teknologi berkembang dengan pesat yang ditandai dengan kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, dimana seluruh anggota masyarakatnya “awas” dan “melek” terhadap segala macam ilmu pengetahuan? Namun, kemajuan yang Comte bayangkan ini berimplikasi kepada tersisihnya pengetahuan-pengetahuan supra-inderawi, transenden (semisal bayangan tentang surga, neraka, malaikat bahkan tentang Tuhan sekalipun) karena pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak akan didapatkan “data empirisnya”.

Atau menuju tipe mentalitas kebudayaan yang digambarkan oleh Sorokin—mentalitas yang mana?—mentalitas kebudayaan ideasional, masyarakat yang memiliki jiwa tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden. Tidak perlu mengembangkan segala macam pembangunan dan pengembangan teknologi sebab tujuan kita yang utama adalah hari “disana” (akhirat).
Atau mentalitas kebudayaan inderawi, yang terus-menerus mengembangkan segala macam potensi alam semesta untuk kesenangan dan kepuasan seluruh anggota masyarakat atau mentalitas kebudayaan campuran?

Sejatinya, tidak ada yang salah, bagus atau jelek dengan paparan teoritis yang dikemukakan oleh kedua tokoh tadi—Comte dan Sorokin—tentang arah kemajuan satu masyarakat. Sebab masing-masing konsep yang ditawarkan memiliki konsekuensi-logisnya masing-masing.

Namun, satu yang menjadi perhatian dan keprihatinan penulis, bahwa beberapa dari kita tidak menyadari arah pembangunan dan pengembangan yang dilakukan, apakah untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian? Untuk memenuhi kepuasan? Untuk apa? Atau bahkan sebenarnya kita tidak menyadari untuk apa sebenarnya kita membangun?

Pembangunan adalah suatu kemestian karena dengan ini peradaban akan terus berjalan. Tetapi pembangunan yang tidak disertai alasan kemanusiaan akan mengakibatkan terasingnya manusia dari bangunan yang diciptakannya itu. Dengan pelbagai macam pembangunan yang terjadi di kota Bandung pada hakikatnya Bandung sedang memimpikan sebuah kemajuan (entah itu bernama kota metropolis, kota yang siap terhadap arus besar globalisasi). Namun yang jelas pembangunan, khususnya di kota Bandung tidak boleh karena alasan, yang disebutkan oleh Sorokin dengan “makan, minum dan kawinlah karena besok kita akan mati”

Wallahu ‘alam bis showab.

2 komentar:

  1. banyak yang mengecam kapitalisme, tapi sesungguhnya yg mengecam hanya iri.. karena merindukan menikmati gegap gempitanya.. mencaci maki US padahal rindu untuk menjadi bagian dari negara maju.

    bukan kapitalisme yang dibenci.. ketimpangan saja yg mereka sesali..

    pdahal semua luxurious kapitalism yg didambakan itu justru jug dibangun diatas ketimpangan, diatas eksploitasi sdm negara2 dunia ketiga, dan pengahncuran lingkungan dunia dengan emisi karbon negara kapitalis maju..

    ya.. pembangunan ini untuk apa pak godot.. sekdar formalitas saja sambil menunggu dunia kiamat.

    BalasHapus
  2. hehehe...iya untuk apa, saya juga lupa lagi, ini tulisan lama Wiangga, terimakasih for reading....

    BalasHapus