Dialektika;

Dialektika; Dialog atau Tonjok?!?

Hipotesis saya adalah; apakah kekerasan, adu jotos, maen tonjok-tonjokan adalah salah satu bentuk dialog?!? Saya mengatakan bukan, sebab dalam dialog inheren tindakan komunikatif, yaitu komunikasi dalam artian yang sebenarnya misalnya berbicara, diskusi, ngobrol.

Hipotesis saya yang kedua adalah untuk apa melakukan dialog? Sebagai proses dialektika untuk keluar dari kerumitan [masalah], bagaimana kalau ternyata dengan proses dialog tujuan itu (untuk keluar dari kerumitan [masalah]) tidak tercapai? Untuk itu saya menyerah, sebab benak saya masih belum bisa menerima bahwa kekerasan, adu jotos, maen tonjok-tonjokan adalah tindakan komunikasi yang include di dalamnya rasio melakukan aktivitas kognisi. Maka tesis saya yang terakhir kekerasan dalam artian murni seperti tonjok-tonjokan, adu jotos belum bisa dikatakan sebagai proses dialog. Kekerasan seperti yang saya sebutkan barusan adalah salah satu bentuk tindakan murni emosi yang tidak bisa disebutkan bahwa itu adalah bentuk lain dari dialog, dengan rasionalitas apapun dan bagaimanapun!
Berikut akan saya paparkan argumennya:

Dialektika; Strategi Pemecahan Masalah

Dialektika adalah milik hegel, siapa orang yang kepengen menggunakannya secara formal mesti meminta izin yang bersangkutan, itulah hukum hak cipta. Untungnya dalam tradisi intelektual hak cipta tidak terkait dengan property, maksudnya laba. Kecuali sudah dikapitalisasi menjadi buku, itu juga bersangkutan kepada penerbit, bukan penulisnya. Misalnya Marx mengadopsi konsep dialektika Hegel, kemudian meramunya lantas melahirkan konsep baru yaitu materialisme dialektis, tidak perlu bayar, cukup saja mengakui bahwa konsep materialisme dialektis dipinjam dari konsep dialektika hegel. Itulah salah satu bentuk hak cipta dalam tradisi intelektual, footnote adalah salah satu jenis hak cipta, dalam hadits ada yang disebut dengan sanad. Singkatnya hak cipta dalam tradisi intelektual berkait erat dengan kejujuran (jarh wa ta’dil). Maka kalau orang yang nggak jujur hidup dalam tradisi intelektual, mendingan jangan jadi ilmuan, cendikiawan atau intelegensia, ganti profesi saja; politikus misalnya, atau pekerjaan lain yang tidak membutuhkan modal kejujuran dalam menjalankannya.
Kejujuran adalah ruh intelegensia, sebab repot juga kalau intelektual tidak jujur, bisa-bisa omongannya ngelantur kamana karep. Dengan spirit kejujuran pula saya akan mula menyelusuri makna dialektika, tentunya tidak selengkap karya filsafat, hanya sebatas keperluan tulisan saja.
Franky menyebutkan, istilah dialektika didasarkan dari pengalaman sehari-hari dalam dialog. Jika dinyatakan sebuah pendapat, pendapat itu akan ditentang oleh pendapat lain, lalu karena tak puas dengan oposisi itu, kita berusaha memperdamaikan keduanya dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap.
Lanjutnya Budi Hardiman menjelaskan, dari proses itu kita bisa merumuskan tiga tahap, tahap pertama adalah sebuah tesis yang lalu memunculkan tahap kedua atau antitesis, akhirnya keduanya diperdamaikan dalam sebuah sintesis. Dalam sintesis (pendapat ketiga) tidak hanya terjadi peniadaan, pembatalan dari kedua oposisi karena munculnya sintesis membuat keduanya tidak berlaku, melainkan juga kedua aspek yang beroposisi disimpan dan diangkat ke taraf yang lebih tinggi, sebab kebenaran keduanya masih dipertahankan dalam sintesis itu. Kata Jerman yang mencakup seluruh pengertian ini adalah [diangkat] aufgehoben.
Maka dari itu, proses dialektika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan dengan garis lurus, sebut Bambang Q Anees.
Kemudian Bambang memaparkan lebih gamblang bahwa titik tolak atau tesis dari pemikiran dialektika yang dikemukakan oleh Hegel berasal dari Idee an sich, kesatuan antara Ada dan pemikiran, yang belum dibedakan. Atau, kita dapat katakan: Ada yang berpikir dan pemikiran yang ada. Dalam ide yang merupakan asal usul ini terkandung “segala sesuatu”, tetapi ia abstrak dan tidak konkrit. Munculah antitesis atau penyangkalan terhadap ide abstrak oleh ide kongkrit (Idee ausser sich) atau alam. Pemikiran dan Ada kongkrit (alam). Alam dan ide nampaknya asing satu sama lain, namun demikian pada kenyataannya alam berasal dari ide, namun ia diposisikan sebagai kebalikannya. Pemikiran dan Ada kongkrit (alam) kini telah berdiri sendiri, saling bertentangan. Pertentangan ini lama kelamaan menghilang, karena ide yang terkandung dalam alam dibangunkan oleh kesadaran manusia dan pengetahuan tentang alam.
Ilmu pengetahuan alam dan filsafat alam menyatakan lagi ide di dalam alam sebagai dasarnya. Sintesis mulai muncul yaitu sebentuk kesatuan yang baru antara pemikiran dan Ada (Idee an sich dan Idee ausser sich) yang sudah mengalami pembedaan dengan lahirnya Roh atau Ide (Ide an und fur sich).
Dalam pemahaman Hegel, Roh atau Ide ini dikenal melalui upaya saling pengaruh atau dalam komunikasi orang perorang. Roh atau Ide pertama kali mewujudkan dirinya dalam BAHASA. Dan bahasa adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari individu manusia. Karena itu bukan individu yang menciptakan bahasa, melainkan bahasalah yang menciptakan individu.
Struktur dasar dari dialektika Hegel berdasarkan pemahaman di atas pada dasarnya adalah DIALOG. Berdialog pada dasarnya hanya mungkin terjadi apabila orang bersedia membuka diri pada sesama manusia. Cara dialog ini bisa berlangsung dengan baik karena memberikan kesempatan bagi orang yang terlibat dalam suatu dialog untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing.
Di sini perlu juga dikemukakan gagasan mendasar lainnya yang dikemukakan oleh Hegel sebagai implikasi dari prinsip dialektika yang diyakininya, yaitu konsepsinya tentang KEBEBASAN. Bagi Hegel, kebebasan adalah kemampuan untuk merealisasikan diri sendiri. Diri, bukanlah suatu ego murni; secara konkrit ia adalah personalitas yang memiliki kecenderungan dan kapasitas yang pasti.
Bagi Hegel, langkah pertama menuju pengetahuan diri dan pembudayaan diri adalah pengakuan atas keikutsertaan seseorang dalam komunitas yang berkembang secara historis. Hanya dengan cara inilah orang bisa menemukan dirinya sendiri sebagai manusia yang utuh. Pribadi yang bebas menurut Hegel, adalah yang mampu mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan padanya oleh negara, yang bagi Hegel seperti yang telah dikemukakan di atas sebagai perwujudan dari Ruh Objektif.
Filsafat Hegel tentang kebebasan, jadinya adalah sebentuk kombinasi yang terlihat paradoksal antara kepatuhan ataupun pengabdian kepada negara dan kebebasan spiritual yang bersifat batiniah, yang sebenarnya menjadi trend di kalangan intelektual Jerman. Dalam kasus Hegel, akan tampak terlihat adil jika dikatakan bahwa ia menganggap ketaatan terhadap negara atau terhadap tugas-tugas dalam kehidupan bermasyarakat hanyalah salah satu aspek dari pembudayaan diri.
Akhirnya Bambang mengambil kesimpulan bahwa berpikir dialektis ada beberapa cita rasanya; pertama, berpikir secara dialektik berarti berpikir dalam totalitas, totalitas ini tidak cuma berarti keseluruhan dalam keberbedaan yang tak saling kenal dalam diam. Namun totalitas yang diinginkan adalah keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan) dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).
Pemikiran dialektis mengajarkan bahwa kehidupan ini berada dalam keberagaman yang saling menyapa dalam modus negasi, kontradiksi dan mediasi. Tak ada satupun realitas yang beragam sekaligus seragam. Keseragaman dalam keberagaman hanya melahirkan kesadaran yang kosong belaka. Kue bala-bala, misalnya, merupakan realitas yang terdiri dari beragam unsur yang tidak seragam; ada kontradiksi bentuk antara tepung (padat tapi lembut), sayuran, air dan minyak panas; mereka juga saling mengingkari namun lewat air (diadonkan) dan minyak panas mereka saling bermediasi.
Hubungan dialektika manusia-masyarakat tidak bisa diartikan sebagai kompromi atau mufakat. Pemufakatan adalah penyeragaman unsur-unsur yang beragam tanpa disertai kesadaran. Penyeragaman ini pada tingkat ekstrem akan menghasilkan peniadaan unsur-unsur paling lemah dalam keberagaman itu. Padahal dialektika hanya terjadi jika disertai dengan kesadaran pencarian jati diri.
Dialektika justru mengharuskan unsur-unsur beragam itu saling bertarung (berkontradiksi) sebab semua unsur dianggap memiliki kebenaran, dan karenanya tidak ada satupun yang ditiadakan. Dialektika membiarkan unsur saling bernegasi, dengan saling mengingkari dan diingkari. Setiap unsur berhak mempertahankan keberadaan dirinya sendiri sekaligus secara serentak makin memahami keberadaan dirinya sendiri. Sementara itu juga ia tidak boleh mengorbankan unsur yang lain sedemikian saja, karena unsur yang lain juga mempertahankan dirinya dengan cara mengingkari kebenaran unsur yang lain darinya.
Dialektika membiarkan unsur-unsur bermediasi. Tiap pihak merasa diperkaya jika ia diperantarai oleh lawannya. Lawannya ternyata memiliki dan memberikan apa yang tidak dipunyainya, demikian pula sebaliknya. Maka lawan yang semula diingkari dan dilawan justru dibutuhkan demi penemuan diri.
Kedua, berpikir dialektis berarti berpikir dalam perspektif empiris historis. Dalam kenyataan empiris, setiap preposisi mempunyai hak untuk berada dan dianggap benar, sehingga tidak bisa begitu saja ditiadakan atau dianggap tidak benar oleh preposisi lawannya. Dengan demikian dialektika menolak anggapan formal yang melihat suatu preposisi dari kebedaan bentuknya. Dialektika mengajak kita untuk lebih menekankan isi atau substansi dari masing-masing kenyataan empiris yang tidak boleh saling mengecualikan.
Misalnya, kita tidak bisa berpikir bahwa ‘lurus” sebagai lawan “tidak lurus” melainkan sebagai berlawanan dengan “bengkok” atau “melengkung”, “zig-zag” dan lain sebagainya. Teori dialektika menolak teori identitas subyek-obyek. Teori identitas subyek-obyek menekankan bahwa kesadaran (subyek) sudah mencapai kesatuannya dengan hal-hal di luar kesadaran (obyek), sehingga hal-hal di luar kesadaran sudah merupakan obyektifikasi sempurna dari kesadaran, dan dengan demikian tercapai pula identitas antara apa yang memahami (subyek) dan apa yang dipahami (obyek). Paham identitas meyakini bahwa subyek bisa membuat ada realitas.
Dalam kehidupan ini selalu terjadi konflik antara realitas dan kesadaran, sebab kehidupan ini bukan suatu realitas melainkan realisasi. Realisasi yang mengarah kepada kesatuan subyek obyek secara makin sempurna. Jadi menurut Hegel kontradiksi antara subyek dan obyek tak bisa diselesaikan justru dalam kontradiksinya itu keduanya diangkat ke dalam derajat lebih tinggi lewat proses dialektis sehingga terjadi ‘rekonsiliasi’ (penguatan, pembaharuan dan perdamaian) yang sungguh baru.
Ketiga, berpikir dialektis berarti berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis. Dialektika menginginkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praxis. Menurut Hegel, teori semacam ini harus berpangkal pada realitas. Teori semacam ini bersifat afirmatif, artinya mau menyatakan diri menjadi realitas. Roh yang tadinya terlepas dan terpisah dari dunia menyatakan diri ke dalam realitas dengan mengakui non-ada, yang dengan demikian keadaan menjadi semakin mengental.

Dialog Pencarian
Pengertian dialektika yang disebutkan di atas memang masih sangat terkesan filsafati, njelimet dan ribet tetapi saya bisa menerangkan begini; bahwa dialektika adalah sebuah proses pengkompromian dari satu pendapat ke pendapat lain tanpa menidak satu pendapat. Tapi begini juga masih ruwet?
Begini saja, dialektika adalah salah satu jalan, strategi buat mencari solusi dari sebuah permasalahan. Sebab asumsinya diyakini dalam masalah ada hal yang bertentangan, paradoks yang satu sama lain bertolak belakang, ada hitam ada putih, ada depan ada belakang.
Nah, dalam dialektika seperti yang dibesut oleh Bambang diatas dialog menjadi pendasarannya. Dialog menjadi sangat vital dalam proses dialektis, tanpa dialog maka proses dialektika, sebenarnya, belum bisa dikatakan berjalan. Lantas bagaimana proses dialog itu sebenarnya?
Upaya penerjemahan dialog ini bisa kita lacak pada salah satu filsuf social yang lucunya masih dari Jerman yaitu Habbermas. Dalam habbermas kita akan menemukan apa yang dinamakan dengan tindakan komunikatif dan inilah yang akan saya sebut sebagai dialog.
Secara epistemologis Habbermas melakukan terobosan besar dalam tradisi Marxian, yang kemudian menjadi salah satu identitas madzhab Frankfurt. Pokok gagasannya adalah mengenai perbedaan mendasar dua dimensi praxis yaitu kerja dan komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan bagaimana manusia sebagai spesies bergerak dan hidup di dalam dunianya. Pembaharuan dimulai dari dua tindakan manusia itu.
Dialektika mendasarkan dirinya pada dialog, proses dialog inheren didalamnya pemakaian bahasa sebagai media komunikasi. Habbermas berargumen bahwa kemampuan kita dalam berkomunikasi memiliki inti yang universal-struktur dasar dan aturan fundamental yang dikuasai seluruh subjek dalam belajar berbicara suatu bahasa.
Dalam berbicara kita menceritakan diri kita kepada dunia, kepada subjek lain, tentang maksud, perasaan dan hasrat-hasrat kita. Pada masing-masing dimensi tersebut kita selalu mengklaim, meski biasanya tidak secara implicit, validitas apa yang kita katakana, maksudkan, kita yakini-misalnya klaim atas kebenaran dari apa yang kita katakan menyangkut dunia objektif.
Habermas menemukan hubungan erat antara rasio dan bahasa. Sebab, dengan fungsi komunikatifnya, rasio ini tidak berorientasi pada sasaran, tetapi pada upaya saling-memahami (mutual-understanding) antara satu orang dengan lainnya, dan inilah inti dari proses dialog
Dalam praktik komunikasi yang diarahkan pada upaya saling-memahami ini, implisit di dalamnya ada klaim-klaim kesahihan. Dalam komunikasi, selalu ada usaha-usaha untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan itu benar (objektif), wajar atau yang seharusnya (normatif), dan jujur (ekspresif), dan bahwa klaim-klaim itu diandaikan berlaku, dalam arti dapat dimengerti dan terpikirkan, oleh semua lawan bicara. Klaim-klaim kesahihan ini, yang diandaikan berlaku bagi semua, menurut Habermas, menjadi syarat-syarat terbangunnya komunikasi.
Tanpa ada klaim-klaim kesahihan semacam itu, setiap komunikasi akan buntu, karena komunikasi tidak bergerak keluar dari lingkaran kepentingan para peserta yang saling berkomunikasi (diskursus). Tidak jarang kebuntuan komunikasi harus berakhir pada praktik-praktik kekerasan.
Nah, inilah alasannya oleh sebab praktik kekerasan adalah kebuntuan komunikasi, yang secara otomatis komunikasi tidak berjalan lagi. Oleh karena itulah mengapa Habermas begitu percaya pada diskursus, sebab dalam diskursus selalu ada tuntutan bahwa setiap peserta diskursus mempertanggungjawabkan klaim-klaimnya. Untuk itu, peserta diskursus memberikan argumen-argumen yang diandaikan berlaku bagi atau dapat diterima oleh semua yang terlibat dalam diskursus.
Pengandaian tersebut niscaya dan sekaligus menunjukkan bahwa setiap argumen dapat saja dibersihkan dari kepentingan-kepentingan subjektif. Di sini, Habermas percaya bahwa akal budi tidak mungkin sepenuhnya menjadi instrumental. Betapapun rasionalitas selalu dibentuk oleh sejarah dan dunianya, klaim benar-salah tidak pernah dapat dihilangkan.
Dalam hal ini para pelaku diskursus, menginsyafi suatu keharusan etis yang mensyaratkan sikap terbuka, dan kesediaan mengemukakan pandangan dengan argumen yang “diandaikan” dapat diterima semua orang tanpa memandang perbedaan keyakinan. Demikian, dalam pergumulan publik, Habermas menawarkan semacam etika diskursus.
Maka di ujung tulisan ini saya akhiri dengan tesis bahwa praktik kekerasan (adu jotos, tonjok-tonjokan) adalah murni tindakan yang bersandarkan pada emosi dan tidak bisa dikatakan sebagai proses dialog dengan rasionalitas apapun dan bagaimanapun. Wallahu a’lam bishowab, semoga kita bisa menghadapi setiap masalah dengan dialog tetapi manakala jalan dialog sudah buntu maka saya memberhentikan diri untuk mengurus masalah itu. Sebab hidup tidak hanya hidup dengan satu masalah!

0 komentar:

Posting Komentar