Kirana Maharani; 5


Untuk teman yang belum kukenal …
semoga bisa kuhafal

Bismilâhirrahmânirrahîm

Dengan mengucap Asalâmuala'ikum kusertakan salam hangat berikut arakan awan, sinaran rembulan, sentuhan pelangi dan malam pekat.

Orang lain adalah penjara kata Sartre (saya memanggilmu Kirana saja, sebab saya belum mengenalmu apalagi namamu). Kirana pasti sudah mengenal filsof ini, kendati demikian mari saya ulas sedikit perihalnya. Sartre adalah salah satu tokoh filsof aliran eksistensialisme. Tokoh filsof lain yang sealiran dengannya adalah; Nietszhe, Kierkegaard, Heidegger, Albert Camus, Henry Bergson dan lainnya. Dalam tradisi Islam Kirana akan mengenal Sir Muhammad Iqbal dan [mungkin] Ali Shari'ati. Malahan Iqbal disebut oleh beberapa ahli sebagai Nietszhe dari timur.

Aliran filsafat ini mengajarkan subjek yang otonom. Maksudnya, menjabarkan tentang KEBERARTIAN manusia di dunia ini. Maka tak salah lagi kalau aliran filsafat ini dalam ajarannya selalu dimulai dengan pertanyaan yang bernada sangat elementer dalam kehidupan, seperti; kenapa kita hidup, untuk apa kita hidup, akan kemana kita hidup, kenapa kita melakukan ini tidak itu. Hal ini wajar sebab dalam tradisi filsafat barat, aliran eksistensialisme berkembang pada zaman modern. Sebagaimana ciri zaman modern yang disebutkan sepuluh oleh Peter Hamilton diantaranya adalah rasionalitas yang mendasarkan diri pada subjek sehingga tak pelak lagi kalau berimbas menjadi egoisistis [bukan dalam artian Psikologi tentunya]

Seiring dengan dikeluarkannya jargon 'cogito ergo sum'. Aku berpikir maka aku ada. Oleh Rene Descartes bapak filsafat modern maka, secara tidak disadari, zaman telah berubah menjadi anthroposentris bukan lagi kosmosentris. Perbincangannya bukan mengenai alam. Manusia sekarang sebagai primadona. Dengan itu manusia telah kehilangan kepolosannya, celingak-celinguk, ditengah alam semesta, sekarang manusia dengan segala potensinya mengatur dunia ini. Seolah-olah mengatakan, sudah waktunya zaman membicarakan tentang manusia, bukan Tuhan lagi. Pada perkembangannya munculah aliran ini. Menurut beberapa literatur Founding Father aliran eksistensialis ini adalah Soren Abye Kierkegaard [lain kesempatan kita berbicara mengenai dia].


Nah, para ahli juga membagi aliran ini kepada dua bagian besar, aliran theis dan atheis, Sartre ini tergolong kepada nomor dua. Maaf, Kirana jadi ngelantur. Penyakit nomor satu; kalau berbicara sesuatu selalu pengennya panjang lebar dan mendalam. Hemat pribadi, sebenarnya rame kalau kita membicarakan mengenai aliran eksistensialis ini khususnya, umumnya filsafat. Maaf, saya sekarang [… penyakit saya mulai] juga berkewajiban untuk meluruskan pandangan orang-orang umumnya termasuk juga para mahasiswa khususnya, mengenai filsafat.

Begini, pengalaman saya pribadi, ketika menginjakkan kaki di IAIN sekarang menjadi UIN (sebenarnya saya juga pengen membicarakan perihal pergantian IAIN menjadi UIN tapi lain kali saja pada pembahasan tertentu…oh iya keburu lupa saya juga pengen membahas, pada awal tadi, tentang konsep KHUDI dari Iqbal dan saya juga ingin membahas mengenai LUPA saya juga ingin membahas … ah sudah kebanyakan. Takut nggak dibaca. Sampai dimana tadi … ]

Oh iya FILSAFAT! Ketika saya mendaratkan diri di IAIN terutama setelah kuliah. Ternyata masih juga banyak mahasiswa yang merasa jengah dan mendapat kesan angker dari filsafat. Saya bertanya kepada diri saya sendiri; kenapa. Mahasiswa yang sejatinya di persiapkan sebagai seseorang "yang 'ngerti", yang akan menjadi penjabar peristiwa bagi masyarakat awam, yang akan menjadi penggerak untuk perubahan, yang akan memberi kesadaran bagi masyarakat, yang akan … [saya juga mau membahas mengenai mahasiswa]
Kirana udah bosen? Tenang dulu saya belum selesai bicara. Merasa nggak mau belajar filsafat? 'kan aneh! Nggak banget! Please deh, mana mungkin akan menjadi seorang intelegensia kalau belajar filsafat aja ogah! Filsafat adalah sebuah keniscayaan.

Saya menganalisis kecil-kecilan, karena saya belum sah menjadi peneliti, dan hasil penelitian ini belum tentu benar kalau ilmiah sih saya masih bisa mempertanggung jawabkan dengan argumentasi yang cukup. Pertanyaannya kenapa mahasiswa sampai nggak mau belajar filsafat. Saya ingin bernostalgia sebentar terkait dengan hal ini, dengan tidak bermaksud sombong, tapi dengan dikatakannya juga sudah sombong ya? Lalu bagaimana ya … dikatakan jangan … ehm…. Baiklah sharing pengalaman aja.

Saya mulai tertarik filsafat ketika duduk di kelas satu Mu'alimin (setingkat dengan kelas satu SMA. Karena saya berasal dari pesantren … (saya juga ingin membahas mengenai santri dan pesantren tapi lain kali aja) Saya mulai membaca literatur filsafat secara acak. Pokoknya kalau ada kata filsafatnya dalam sampul buku saya ambil! Pernah saya mengambil judulnya Filsafat Pancasila, Kirana tahu pesantren saya menolak mentah-mentah dengan ideologi pancasila ini ketika ada ustadz melihat saya membaca buku itu, beliau dengan mata elangnya mendelik kepada saya. Pada waktu itu, saya tak mengerti, sungguh saya tak mengerti apa maksudnya. Setelah itu saya kecanduan buku-buku filsafat. Catatan lagi ; apakah saya mengerti; TIDAK! Alasan pertama, karena memang saya ingin tahu, kedua gagayaan, kelihatanya kita ini orang pinter abis padahal ngerti juga tidak. Tapi nggak kosong-kosong amat sih. Ada lah yang nempel. Eh tahunya, buku-buku yang semenjak kelas satu "SMA" saya baca, menjadi buku wajib ketika saya berada di IAIN. What a surprise …?!?

Begitulah sekilas, kembali kepada pembicaraan kita kenapa mahasiswa tidak mau belajar filsafat. Pada dasarnya filsafat tidak mempunyai salah terhadap siapapun. Filsafat it self was not guilty. Lantas? Hemat saya, pewarta filsafatnya yang mesti dibenerin. Maksudnya kadang-kadang kita melihat mahasiswa yang belajar filsafat dandanannya nggak keruan. Baju hitam, pakaian hitam, rambut gondrong, merokok, jarang mandi, bau. Kadang kala kita juga sering ketukar ini mahasiswa apa dukun? Atau yang lebih fatal lagi adalah pelanggaran normatif seperti tidak sholat, itu yang dinilai pertama oleh masyarakat luas, Atau perkataan dan perbuatannya yang terkesan 'jorok' (bukan dalam artian cabul).

Melihat kondisi objektif semacam itu, masuk akal lah kalau orang-orang menjadi serem dengan filsafat. Nah, celakanya lagi sesudah kita menyebut mereka serem. Kita tak mau tahu, terus ajak-ajak orang lain lagi. Bodo kok ajak-ajak. Keroyokan. Wah … lengkaplah kejahatan terencana ini. Kenapa? Sebab, paling tidak kalau kita mengetahui, sebenarnya filsafat tidak mengajarkan berambut gondrong, baju hitam, nggak mandi, berkata kotor, nggak sholat. Itu hanya ekses atau imbas dari belajar filsafat. Tentunya setiap orang berbeda, Kirana yakin 'kan bahwa tidak ada orang yang sama, sekalipun itu kembar siam pasti beda. Sebab betapa bodohnya Tuhan [maaf] tidak bisa menciptakan yang lain sampai ada sesuatu yang sama. Singkatnya nggak Kreatif, masa kita mengganggap Tuhan nggak kreatif. Musyrik tuh … mau tahu logikanya … ah nanti aja biar penasaran. Kondisi orang perorang berbeda. Jadi kalau filsafat dikemas sedemikian rupa dan para penggembira filsafatnya nggak bertindak aneh-aneh, saya kira nggak bakalan suueeerem. Gua jamin, nggak semua yang lo denger itu bener.

Filsafat mengajarkan kebijaksanaan sebagaimana islam mengajarkan rahmat bagi seluruh alam. Rahmat islam bisa berbicara salah satunya dengan kebijaksanaan. Maka bagi umat islam belajar filsafat adalah suatu keniscayaan. Apakah kebijaksanaan bukan sebuah rahmat. Jangan salah Kirana. Sayangnya kebanyakan dari kita tidak mempunyai kesadaran sejarah. Apakah islam tidak mempunyai sejarah mengenai filsafat. Mari saya ulas sedikit; siapa yang disebut dengan Avicena di barat, siapa yang disebut dengan Averoes, siapa al Jabar itu ... siapa dan siapa.

Kita umat islam mempunyai sejarah yang gemilang dalam khazanah keilmuan. Khususnya kegemilangan ini, tentunya selain dari zaman Rasul, terletak pada zaman Abasiyyah. Misalnya Kirana lebih tahu, pada zaman ini munculnya Madzhab-Madzhab Maliki, Hanbali, Syafi'i dan bukannya pada zaman ini pula term-term fiqih (Halal, Haram, Makruh, Mandzub) mulai bermunculan. Sekali lagi Kirana lebih tahu. Kita ini nggak baca sejarah sih, jadi weh cupik dalam memandang. Seperti perdebatan orang buta menentukan bentuk gajah. Jadi, hidup itu jangan dijadikan sebagai beban sejarah, kata Iqbal.

Kendati demikian kita tidak bisa menutup-nutupi kelemahan islam, itu terkait dengan filsafat, terletak pada kurang runutnya secara metodologis. Misalnya saja, Fazlur Rahman mengatakan bahwa metodologi filsafat islam itu hanya mengadopsi dari sistem epistemologi barat yang hanya ditambah dengan aspek transenden. Kekurangan umat islam ini menjadi kelebihan orang Yunani, orang Yunani barat umumnya, bisa mensistematisir dan memproseduralkan gagasannya. Kita berkaca aja pada sejarah. Bukankah penulisan hadits juga menjadi polemik yang terus dikaji di jurusan Tafsir Hadits. Itulah kita, yang tidak bisa me'lepas'kan aspek transenden secara berlebih. Mengingat kita orang Timur yang menurut kajian antorpologi cenderung berpikir mistis. 'Gak percaya. Mari sedikit saya bicarakan hal ini.

Pikiran mistis-tradisional yang kita gayut ini membentukkan dirinya pada tayangan-tayangan klenik pada acara televisi. Adzab Kubur, Uka-Uka dan berbagai kosa kata transenden lainnya yang padahal mistis … tradisional lagi. Coba kita lihat beberapa tayangan dari barat. Bagaimana Barat mengemas tayangan klenik berubah menjadi tayangan ilmiah dan rasional tidak pula bersikap mistis. Contohnya film Final Destination satu sampai tiga; dalam film ini diceritakan bagaimana aspek transenden tadi tidak dipersonifikasikan oleh hantu, jurig, dedemit, genderowo beserta kawan-kawan seorganisasinya yaitu ORGANISASI PERSETANAN. Terlepas dari masalah teknik visualisasi, kemajuan barat adalah dengan cara seperti itu. Lantas apakah islam harus menurut barat untuk bisa maju? Nggak juga! Tong tuturut munding atuh. Bisa nggak kreatif … jangan mempermalukan Tuhan kita. Mau dikemanakan WAJAH tuhan kita (beda lo T besar dengan t kecil) hemat saya, wajah tuhan tetap pada tempatnya. Kalau dipindahkan, bahaya tidak ada yang akan mengenali.

Ah capek … Saya kira dicukupkan sekian saja dulu tulisan dari saya, entah Kirana menyebutnya apa; surat, keluhan, artikel, kengelanturan terserah. Berikut maaf … tulisan saya ini tanpa tema yang jelas. Tetapi satu yang saya harapkan adalah RESPON Kirana atas tulisan saya ini. Sebab mungkin sedikit banyak tulisan saya ini menyinggung perasaan, pikiran sehingga Kirana berkata "kayaknya menurut saya nggak gitu deh…". Nah, yang nggak gitu deh teh disebelah mana dan kaya gimana coba tuliskan, sebab hemat saya ide besar itu bukanlah ide yang jumpalitan, berkeliaran,kebut-kebutan seperti tong setan, mondar-mandir kaya setrikaan di dalam kepala tetapi dalam berbuah di dalam KENYATAAN. Kalau Rendra mengatakan "kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi. Jadi perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata". Pikiran adalah kesadaran, perjuangan adalah tulisan. Pikiran adalah khayalan tulisan adalah kenyataan. Sebelum saya tutup, sekali lagi maaf kalau ada tulisan, kalimat, ungkapan yang terkesan menggurui, teu aya maksad kadinya tulisan ini bermaksud untuk membagi pengalaman saja yang dibungkus dengan beberapa argumentasi. Mungkin pengalaman Kirana lain, karena Coelho mengatakan bahwa kisah satu manusia adalah kisah seluruh manusia.


Banyak pembahasan yang ingin saya bicarakan dengan Kirana, termasuk arti nama KIRANA itu apa, tapi itu akan saya bicarakan setelah Kirana memberikan respon atas tulisan ini. Akhirnya saya ucapkan terimakasih.

"Mereka yang mencari kebenaran bukanlah sekedar teman melainkan saudara"
-Dan brown-

28 Mei 2006


Salam,
teditaufiqrahman

0 komentar:

Posting Komentar