Tulisan Figura Abadi Kehidupan




“demi pena dan apa yang tuliskannya”

Pepatah latin mengatakan scripta manent verba volant, yang tertulis akan tetap mengabadi sedang yang terucap akan berlalu bersama angin. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya dunia ini tanpa hadirnya tulisan. Mungkin akan menjadi—seperti yang dilaporkan oleh Anton Kurnia dalam bukunya yang berjudul—Dunia Tanpa Ingatan. Memang dengan tulisan seorang cucu dapat mengenal kakeknya, “tulisan dalam hal ini, kemudian menjadi suatu pengait antara masa lalu dengan masa kini, masa kini dengan masa depan” tutur Alfathri dalam kata pengantar bukunya Anton itu.



Tulisan adalah sesobek hasrat manusia akan keabadian. Kesementaraan yang dijangkarkan oleh yang Maha Entah pada eksistensi manusia membuatnya selalu gelisah dan terus berusaha membekukan waktu.

Dan tulisan adalah seumpama figura kehidupan melalui aksara. Dengan tulisan seseorang menciptakan sebuah figura kehidupan abadi yang menerobos ruang dan waktu. Kita yang berada di Indonesia, dan hidup di masa kini, kemudian mengenal cerita-cerita tentang umat manusia yang berada di belahan dunia lain, pada suatu masa lalu.

Sebut saja dongeng Romeo And Juliet, King Lear, Hamlet (Shakespeare), Divine Comedy (Dante), Faust (Goethe), Anna Karenina (Leo Tolstoy), Menunggu Godot (Beckett), Si Lugu, Candide dan Optimisme (Voltaire), Paman Vanya (Chekov), Kejahatan dan Hukuman (Dostoyevsky) serta cerita-cerita kanonik lainnya. Kita mengenal cerita-cerita tentang para nabi, orang suci orang bahkan terlaknat sekalipun berasal dari kalam Tuhan yang “dituliskan” dalam bentuk kitab suci (al Qur’an), bukan?

Sekali lagi, semuanya hanya mungkin bisa dihadirkan lewat tulisan. Bisa dibayangkan kalau semuanya itu dituturkan lewat lisan? Di tengah kesibukan manusia dengan dunia serta dengan segala keterbatasannya, masih lengkapkah ingatan manusia menampung cerita tentang Firaun atau Qarun?

Oleh karena itu tulisan, sering diartikan sebagai alat untuk membantu ingatan, kendati oleh sebagian pemikir—mulai dari Plato hingga Saussure—kerap dicurigai memiliki potensi untuk mencemari ungkapan langsung karena tulisan itu adalah ingatan palsu dan racun (pharmakon). Siapa yang menulis akan berhenti melatih ingatan dan menjadi pelupa, mereka akan lebih mengandalkan tanda-tanda luar tulisan daripada kemampuan diri mengingat sesuatu (AK, 2003; 15). Di atas semua itu, tulisan tetap tulisan tutur dan hadirnya mengabadi, menjelajah kerangka ruang-waktu menembus batas jangkauan ucapan-lisan.

Kawan akrab dalam budaya lisan adalah pembicaraan. Sedangkan sahabat dekat dalam kebudayaan tulisan adalah pemikiran. Dalam budaya lisan tulisan begitu lemah, kata-kata begitu kuat, penting dan mengalahkan aksara, orasi mematahkan deskripsi.

Sebaliknya dalam budaya tulis, kekuatan bicara tidak melebihi tulisan kata-kata, aksara mengungguli kalimat kata-kata dan deskripsi di atas orasi. Pada masyarakat yang berbudaya lisan, yang pintar adalah yang banyak bicara, yang panjang kalimat dan kata-kata dalam pembicaraannya. Sebaliknya, dalam budaya tulisan seseorang dianggap pintar karena dapat menuangkan ide atau pemikirannya dalam bentuk tulisan, yang pandai berarti yang banyak melahirkan tulisan. Namun benarkah tulisan lebih tinggi kedudukannya daripada ucapan, atau sebaliknya?

Terlepas dari silang-pendapat yang terjadi ihwal jati diri keduanya itu, kelebihan tulisan memang terlihat pada dimensi perenialnya. Tulisan bisa menyampaikan apa yang tidak (mungkin) disampaikan oleh ucapan, terutama keterbatasannya akan ruang dan waktu. Tulisan bisa merekam kesadaran suatu masa dan menghadirkannya pada masa yang lain. Dengan demikian tulisan menjadi semacam pengedor kehidupan, penggugat detak jantung hidup keseharian, teror atas gerak langkah manusia yang berubah menjadi lamban sekaligus sebagai penghujat dan pengkritik roda besar kemanusiaan. Menulis berarti menghadirkan penilaian seseorang atas dirinya, kata Ibsen (Gordimer, 1995; 72)

Betapa dengan tulisan, kita bisa belajar tentang hakikat kemanusiaan dari sajak-sajaknya Ronggowarsito, kitab Matsnawi-nya Rumi, novel-novelnya Paulo Coelho, dongengnya Maxim Gorky, drama-dramanya Henrik Ibsen, Moliêre serta tulisan-tulisan lainnya yang menggetarkan degup sejarah kemanusian.

Jangan lupakan sejarah, ungkap Bung Karno suatu ketika. Ya, karena kita mesti belajar dari sejarah. Namun nampaknya, secara umum, manusia senantiasa selalu lupa akan sejarah sebagaimana pernah dikatakan Hegel, sejarah menunjukkan kepada kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Maka oleh karena itu, tulisan terus hadir sebagai pengingat dan obat akan penyakit lupa manusia.

Namun seperti lukisan, ungkap Socrates, tulisan tidak berkehidupan. Tak dapat menjawab balik apabila anda mempertanyakannya (AK, 2003; 15). Tulisan sungguh tidak berguna, sia-sia dan tak bernyawa sampai ada seseorang yang menjasadkan aksara, kata-kata dan kalimat-kalimatnya melalui lintasan waktu yang beku dalam hidup keseharian lewat sebuah tindakan. Di saat itulah tulisan bisa mengubah dunia dan menuntaskan tugas mulianya.

(penulis penyuka tulisan tinggal di Bandung)

0 komentar:

Posting Komentar