Kartini Menggugat





Menyebut nama Kartini, tentu saja mengingatkan kita kepada seorang tokoh perempuan yang telah gigih berjuang meneriakkan hak-hak perempuan sebagai seorang manusia, yang pantas di untuk hormati dan mendapat perlakuan sama seperti halnya laki-laki. Kartini yang lebih dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan dan perlunya dipenuhi hak anak perempuan akan pendidikan pada dasarnya memperjuangkan agar dengan menghapuskan kemiskinan dan kebodohan serta hubungan antar jender yang setara.



Ungkapan gender secara sederhana sering diartikan kesetaraan. Lantas kenapa isu gender ini begitu penting? Hal ini bertolak pada kenyataan yang acap kali menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.

Untuk sebuah gambaran “manis”—diungkapkan oleh penulis De Beauvoir—diceritakan ada seorang bernama Giacometti, seorang seniman laki-laki, dengan gaya hidupnya yang luar biasa. Ia tinggal di dalam sejenis gubuk yang atapnya bocor, ia menangkap air hujan dalam mangkuk-mangkuk yang bocor juga; lantainya tergenang, tetapi ia tidak peduli.

Ia mempunyai studio kecil yang sangat tidak menyenangkan, tempat ia bekerja sepanjang malam; ia tidur semaunya, seutas benang dijadikan ikat pinggang untuk menyangga celananya; kedua tangannya belepotan plaster. Ia tidak peduli sama sekali dengan penampilan, dan semua orang menganggapnya biasa bahwa ia memilih hidup seperti itu; sebab ia seniman.

Segala sesuatu diperbolehkan dan khususnya istrinya menerima jenis kehidupan dia ini. Jadi mutlak ia tidak bersalah! Tidak ada yang perlu dipikirkan selain patung-patungnya. Tetapi sebaliknya, tidak dibutuhkan banyak imajinasi untuk menebak apa yang akan terjadi pada seorang seniman perempuan yang mengikuti contoh gaya hidup Giacometti ini.

Ia akan dikurung, atau setidaknya diperlakukan sebagai seorang gila. Tidak mungkin membayangkan seorang suami menyesuaikan diri dengan jenis gaya hidup seperti ini untuk istrinya, ia pasti akan dikucilkan! Dan tentu saja dalam kenyataan perempuan sendiri akan menolak menjalani kehidupan semacam itu (De Beauvoir, 2000; 134).

Melihat gambaran yang dinyatakan De Beauvoir, sadar tidak disadari memang ada kesenjangan antara perempuan dan laki-laki; apapun itu bentuk dan kondisinya. Maka oleh karena itulah pembahasan tentang gender ini menjadi mendesak dan penting.

Kesetaraan dan Kekhalifahan

Beberapa ayat al Qur'an mengindikasikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara; "ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi… " (al Baqarah; 30). Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa sesungguhnya tujuan/misi Allah menciptakan manusia adalah untuk menjadi khalifah.

Manusia melingkupi perempuan dan laki-laki. Dalam teks ayat tersebut tidak dikhususkan bahwa Allah menciptakan laki-laki menjadi khalifah sedang perempuan tidak. Kesetaraan yang sangat jelas dan tegas bahwa posisi manusia sama, yakni menjadi khalifah. Kesetaraan yang terkandung dalam ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut lagi oleh surat al Hujurat ayat 13.

Demikianlah, perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang sama. Hal ini sangat masuk akal karena tugas kekhalifahan tidak hanya dibebankan al Qur'an ke pundak laki-laki tetapi juga ke perempuan (Musdah Mulia, 2005; 32), sebagaimana Allah berfirman dalam surat at Taubah ayat 71.

Sebagai khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil âlamîn). Satu hal yang paling penting untuk menuju kesana adalah adanya kesadaran untuk menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma'rûf nahyi munkar).

Dan tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis kelamin manusia saja (baca: laki-laki), sementara jenis kelamin yang lain (baca: perempuan) tidak. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling bekerja sama, bahu membahu saling mendukung dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik dan indah.

Maka kesadaran mengenai kesetaraan gender ini sejatinya mesti tertanam di kedua belah pihak; perempuan dan laki-laki. Ketimpangan kesadaran gender—selain pula ideologi patriarkhi yang sudah mengurat akar pada benak kaum laki-laki—inilah, yang menurut hemat saya, menyebabkan adanya perlakuan yang tidak adil kepada salah satu jenis kelamin (baca: perempuan).

Misalnya, dikarenakan struktur kesadaran masyarakat tentang beban khalifah ini hanya dipupuk kepada laki-laki saja maka timbullah sikap “arogansi gender” dari pihak laki-laki yang merasa di nomor satukan oleh Tuhan merasa diri paling kuat, benar, pintar, hebat, dan merasa "kelamin" diri paling unggul.

Dari arogansi gender—yang sesungguhnya diciptakan oleh struktur masyarakat—inilah kemudian memunculkan sikap kesewenang-wenangan, salah satunya dalam bentuk kekerasan.

Maka pernyataan yang mesti segera terus didengungkan adalah; pertama kepada pihak laki-laki, bahwa ada makhluk lain yang sama-sama memikul beban kekhalifahan yaitu perempuan. Kedua kepada perempuan, bahwa dirinya adalah khalifah yang memiliki tugas dan peran yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian perempuan sadar bahwa dirinya adalah khalifah, dan sebaliknya laki-laki juga sadar bahwa bukan dirinya saja yang menjadi khalifah.

Oleh karena itu, pendidikan gender seyogyanya mesti ditekankan kepada kedua belah pihak. Bahwa perempuan memiliki kesadaran gender itu biasa tetapi laki-laki memiliki kesadaran gender itu baru luar biasa. Laki-laki yang memiliki kesadaran gender itu lebih baik daripada perempuan yang memiliki kesadaran gender sebab dengan demikian kekerasan terhadap perempuan segera bisa teratasi.


Wallahu 'alam bish showab.



0 komentar:

Posting Komentar