Santri

Santri adalah sebutan bagi orang yang belajar di pesantren. Ada pula yang mengotak-atikan menjadi; sun three. Bayangkan satu matahari saja sudah terang apalagi ini tiga. Mungkin pemahaman ini lebih berarah kepada do'a sebab zaman dahulu, di Indonesia khususnya, ada tiga golongan masyarakat; abangan, priyayi dan santri. Nah, santri adalah sekelompok yang mem(p)elajari ilmu agama. Kalau dikaitkan dengan sun three hal ini menjadi logis karena agama berfungsi sebagai matahari yang memberikan cahaya pencerahan bagaimana menjalani hidup. Rendra mengatakan kesadaran adalah matahari. Maka bisa diandaikan bahwa santrilah yang memiliki kesempatan tersadarkan, tercerahkan. Karena boleh dikatakan biang kerok kesadaran salah satunya adalah agama, spiritualitas khususnya. Disini memang mesti dibedakan antara agama dan spiritualitas. Orang beragama belum tentu memiliki spiritualitas dan tidak menjamin orang yang memiliki spritualitas tinggi beragama. Pendeknya spiritualitas, tidak berhubungan dengan agama formal. Inilah benih-benih yang memunculkan new spiritualitas pada era ini.


Lantas apa yang diperlukan, spiritualitas ataukah agama? mana yang lebih penting. Tidak ada yang lebih penting sebab keduanya tidak bisa dinegasikan satu sama lain. Sebab agama formal selalu mendorong atau paling tidak menjadi jalan untuk mendapatkan spritualitas. Sebagaimana perseteruan antara kaum formalis dan essensialis/subtansialis. Begitu pula antara spiritualitas dan agama formal jarang (belum tentu tidak ada) jalan tengahnya untuk mendamaikan. Biarlah hal itu menjadi khazanah keilmuan dan menjadi lecut semangat bagi para intelegensia muda bagi berijtihad. Celakanya, kita yang mengaku beragama tidak memiliki spiritualitas malah mencap jelek orang lain. Ditambah merasa diri paling benar kemudian pengen dibenerin dan ngotot lagi. Wah…lengkaplah persyaratan menjadi Tuhan! Bikin agama baru aja! sekalian dengan surganya.



Kembali kepada pembahasan mengenai santri. Dalam pelabelan, santri hampir mirip dengan mahasiswa, yang dianggap bisa membuat perubahan sosial. Santri yang digeber dengan ajaran normatif yang membludak dalam tarangnya. Sehingga tidak jarang pemimpin-pemimpin, para cendikiawan berasal dari kaum ini.


Tradisi yang berkembang dalam wilayah perpersantrenan pun makin mempribadi dalam diri santri. Mulai dari dogma ikhtilath dalam pergaulan sampai pada ideologi negara, kadangkala santri sangat tegas dalam keputusannya. Tapi sayangnya hal ini kadangkala hanya berlaku dalam lingkungan pesantren saja setelah keluar… ya gitu deh!


Maka bukan bermaksud menyamakan santri dengan kuda, dengan ungkapan kuda kalur ti gedogan. Asalnya berarti, bahwa ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang sangat baru dalam hidupnya atau dalam jangka waktu yang relatif lama, maka akan disebutkan dengan pepatah ini. Misalnya ketika orang kampung datang ke kota maka seluruh yang ada di kota dicobanya, inilah contoh kuda kaluar ti gedogan. Seperti bebas dari penjara.


Maka tak beda ketika santri keluar dari pesantren. Ambil contoh kasus, pemahaman mengenai ikhtilath. Ketika seorang perempuan atau lelaki berada di pesantren, maka untuk menjalankan idealisme. Angkuhnya minta ampun …! Sedikit-sedikit ikhtilath, ngobrol pun berjauhan. Apalagi untuk pacaran ih amit-amit…!Pokokna keur jadi santri mah, siga nu bakal pi surgaeun.


Tetapi, jangan harap, ketika sudah keluar dari pesantren. Memasuki perkuliahan, mantra ikhtilath yang dahulu sangat hafal di pesantren lambat laun mulai luntur dengan libido masing-masing. Perempuan yang dahulu jilbaber, alim abiiss…!mulai berkenalan dengan "ikhwan" berjanggut, berkening hitam (padahal sama saja bentuknya cowok-cowok juga) dengan dalih ta'aruf (atau PEDEKATE) setelah itu pacaran secara Islami (maksudnya sambil ngomong subhanallah, insya' allah… paling banter sebutan akhi dan ukhti. Atau hanya nelpon, sms dan surat bagi yang kekurangan modal) Lelakinya juga sama…apalagi lelaki.


Inilah yang disebut dengan santri kaluar ti gedogan. Hanya sedikit saja yang bisa mem(p)ertahankan idealisme kepesantrenannya. Maskud saya, kenapa mesti ditutup-tutupi kalau kita masih suka dengan yang namanya pacaran jangan terus di ARABISASI. Dengan hanya merubah "term-term"nya misal; pendekatan jadi ta'aruf, Catatan, tidak semua yang arab itu adalah Islam.


Apakah masih ada yang memegang semangat kepesantrenannya, wah… kayaknya pertanyaan ini sangat sulit dijawab. Dengan tidak bermaksud mengeneralasir, tetapi kayaknya kita juga tidak bisa menyebutkan yang jomblo berhasil memegang prinsip kepesatrenannya. Dengan ironi saya bisa berkata hanya jomblolah yang idealismenya penuh. Ini juga di legitimasi dengan kisah Soren Abye Kierkegaard, Immanuel Kant dan lainnya.


Pacaran atau pun tidak, hanyalah miniatur dari spirit kepesantrenan saja dan untuk menyebutkan beberapa, pacaran tidak cukup. Bukan itu yang menjadi titik permasalahannya. Tetapi bisa nggak kita memegang omongan kita? Maksudnya, kalau kita sering ngomong idealisme bertindaklah sebagaimana seorang idealis.


Ini mah … ngomong aja tentang keutamaan menjaga ikhtilath, tetapi pacaran tetap dilakoni. Bukankah itu yang disebutkan dengan kabura maqtan teh? Kade ah bilih hilap …


Lantas memang ada dalam kenyataannya. Syukur kalau tidak, tetapi kalaupun ada kita tidak terlalu kaget, melihat akhwat-ikhwan yang kelihatannya membuat kita ngomong "eh … ini orang apa nggak suka ya sama lawan jenis". Namun ternyata, sama saja! Sebab tidak semua orang gondrong itu jahat.


Dalam analisis sosial, kita akan menemukan konsep apa saja yang membentuk individu; apakah masyarakat/ lingkungan yang membentuk individu ataukah individu sendiri. Keduanya bisa berperan. Kalaupun kita melihat kasus santri yang keluar dari pesantren terus malah menjadi-jadi dan berubah drastis dari sikap semula, mungkin lingkunganlah yang sangat berpengaruh kepadanya. Dan porsinya terus berubah tergantung kuat-nggaknya orang itu.


Terakhir, kepada seluruh santri dunia-akhirat; JANGAN MENGATA JIKA MELAKU TAK BISA.


03 juni 2006
22:45

0 komentar:

Posting Komentar