3 Maret 2007


“Redamlah dendam dengan sebuah karya. Tumpahkanlah amarah benci angkara murka dengan semangat kerja. Karena tak ada jalan yang lebih baik untuk menghujat, menghina, mencerca selain dengan karya dan kerja”



* * *


Paling tidak itulah yang aku rasakan ketika rasa benci, amarah, muak, kecewa, sesal, jengah menjalar dalam tubuh menghujam ke seluruh badan. Tak ada jalan lain untuk menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan kecuali jalan itu. Bagaimana bisa menyekap perasaan yang keburu menyerang kita terlebih dahulu, menekuk lutut hingga tak berkutik, mencacah mata hingga keluar darah bahkan nanah, menyesak dada hingga tak bernafas, memelintir leher seakan tumbang. Bukan, bukan … tak ada kekuatan untuk menghajar, menghantam, menonjok tetapi ada kekuatan lain yang lebih dominan menyergap terlebih dahulu. Memaksa untuk diam lebih baik bungkam. Redam dendam.


Mari kita lihat rasionalisasinya,


Saya tanya; siapa orang yang tidak pernah merasakan benci kesal terhadap orang lain. Saya pastikan semua punya perasaan seperti itu. Dan kadang kala perasaan benci sesal itu tak terdefinisikan, tak teruntutkan dalam gagasan, dalam kalimat dan kata-kata karena dengan tiba-tiba perasaan itu datang begitu saja. Menyorong tanpa meminta ijin kepada kita terlebih dahulu, karena memang begitulah hukum dari perasaan. Rasakan dahulu baru rasionalisasi.


Bentuk perasaan mempunyai berbagai macam wujud; sayang, muak, kasih, khawatir, cinta, benci, dendam dan banyak rasa lain yang tak bisa terdefinisikan, kadang kala kita terkesiap menerima diri kita berada dalam perasaan yang kita sendiri tidak mengetahui apa namanya hanya bisa merasakannya.

0 komentar:

Posting Komentar