Pipit Piedra Fathonah

 
Dan memang ada beberapa hal di dunia ini yang lebih baik kita biarkan saja sebagai misteri, sebagai sunyi, sebagai sepi, sebagai gelap yang tidak di terangi matari sama sekali hingga terlelap. Seperti  halnya rahasia ia bungkam berjuta kata, berjuta rasa, berjuta cerita. Karena terkadang kita sendiri lupa, alpa atas alasan dari perbuatan yang telah kita lakukan. Seperti halnya kenapa Yvan dulu meninggalkan Piedra.



Sejatinya, Yvan dalam dirinya sendiri, persis tahu mengapa ia bisa meninggalkan Piedra pada waktu itu. Namun ketika sekarang Yvan terpikir lagi kejadian itu; Yvan jadi tahu betapa tolol dan konyolnya keputusan yang dia ambil. Sekali lagi Yvan berpikir bahwa kalaulah waktu bisa di putar kembali, tentu saja dia akan membenahi kesalahan yang telah ia perbuat dan alasan yang dia ambil itu sebenarnya kurang tepat.
Tapi tidak. Waktu tidak pernah lelah berlari dan tidak tahu kapan akan berhenti. Hidup tak pernah menyinggung tentang ujung.

Karena begitulah waktu, berlalu seperti apa adanya, seperti halnya maut, tidak ada yang bisa mensegerakan dan menundanya. Karena segala hal di dunia ini pasti ada masanya; ada masanya kita berbahagia, bersedih, bersuka, berduka; ada masanya kita pengangguran, ya tidak bekerja, kemudian sibuk, santai lagi, terus lelah, jengah, muak, jijik; ada masanya kita kehilangan, lantas mendapatkannya kembali, kemudian memberikan, terus meminta; sampai tiba…

masanya kita mati, kehidupan berhenti dan barulah kita sadar bahwa apa yang selama hidup kita usahakan; uang, kekayaan, harta benda, ketenaran, semua-muanya tidak lebih berarti ketimbang amal ibadah.


[5]

 “Some words are better unspoken and some feeling are remain unsaid”, hanya alasan itu yang paling Yvan ingat mengapa ia bisa meninggalkan Piedra menangis di pinggir selokan tepat di gerbang kosan-nya; bahwa ada beberapa hal yang baiknya tidak di utarakan dan ada beberapa rasa yang baiknya urung di ungkapkan.

Pertanyaannya kenapa? Kenapa tidak lebih baik di utarakan? Kenapa tidak lebih baik di ungkapkan? Bukankah komunikasi lebih baik dari segalanya? Bukankah dengan komunikasi orang menjadi tahu kehidupan satu sama lain? Bukankah komunikasi adalah solusi kemacetan dari segala macam perdebatan. Bukankah komunikasi..

Ya. Yvan mengakui hal itu, juga mengamininya. Namun tidak mengamalkannya, karena menurut Yvan tidak semua pendapat yang kita akui kebenarannya mesti di amalkan. Dan patut di ketahui, dalam diri Yvan terbentuk sebuah jurang yang membatasi antara pikiran dan perbuatan, antara persepsi dan tindakan; tidak semua yang Yvan pikirkan itu ia kerjakan dan tidak semua yang Yvan lakukan juga berasal dari pikirannya kadang dari perasaannya.

Dan antara perasaan, pikiran dan perbuatan membentuk koloninya masing-masing kadang berseteru kadang bersepakat, tak jarang mereka berdebat, saling menghujat, saling menginjak dan begitu seterusnya, mereka tak pernah akur dan bersahabat dalam jangka waktu yang singkat.

Itulah yang tidak bisa di pahami Piedra, kompleksitas bangunan diri Yvan yang sangat pelik. Sampai akhirnya Yvan meminta pamit pun, Piedra tetap tidak mengerti. Piedra hanya bisa memberanikan diri menatap wajah Yvan, tapi tidak berani bertanya; “kenapa kamu hendak meninggalkanku?”

Sempat Piedra mau berucap bahwa semua lelaki pada dasarnya adalah seorang pengecut yang tidak berani menatap hidup. Tapi ketika melihat kemurungan dan kesungguhan Yvan semua anggapan itu hanyut.

Pun Piedra tidak berani memegang tangan Yvan untuk mencegah dia pergi, karena itu melanggar norma yang dia anut; bahwa perempuan tidak boleh menyentuh tangan laki-laki yang bukan muhrimnya. Cukuplah ia merasa berdosa menatapnya, dan berinteraksi dengannya ia tidak berani melakukan dosa yang lebih yakni memegang tangannya!

Piedra hanya terpaku. Yvan pun berlalu. Dua-duanya membisu.


[6]

Empat tahun berlalu. Semenjak kejadian itu.

Piedra sudah menikah dan di karunia satu orang anak, tapi dalam kenangannya masih tersimpan manis bahwa dia pernah mengenal dan jatuh cinta pada seorang laki-laki misterius yang bernama Yvan Saepudin. Kenangan itu tak akan pernah bisa di hapusnya, karena memang Piedra tidak berniat untuk melakukannya. Piedra yakin seburuk apapun kejadian dalam hidup, semuanya terkandung mutiara hikmah tinggal bagaimana cara kita mencari hikmah itu. Ada yang menemukan ada yang tidak; yang menemukan mereka sering disebut orang yang sabar, yang tidak menemukan mereka sering disebut orang aral.

Tapi, selama empat tahun itu, Piedra masih belum mengetahui dengan persis apa alasan Yvan meninggalkannya. Yang ia ingat Yvan pernah memberikannya sebuah bungkusan, yang kelak kalau dirinya kepengen tahu alasan kenapa dia pergi, “bukalah bungkusan itu” pesan Yvan.

Namun Piedra hanya menyimpan bungkusan itu, tanpa pernah ada niat untuk membukanya. “biarlah aku mengetahuinya dengan waktu” tekad Piedra tepat ketika Yvan pergi.

Dan setelah empat tahun lamanya berlalu, ternyata waktu belum juga memberi tahu kenapa lelaki yang sempat menorehkan kata cinta dengan darah mesti pergi. Ternyata Piedra salah menadahkan alasan kepergian Yvan pada waktu, seharusnya pada bungkusan itulah Piedra menggantungkan jawaban.

Yvan cerdas, pikir Piedra. Mengelabui waktu dengan cara membekukannya pada sebuah bungkusan yang tidak pernah di ketahui oleh Piedra apa mangsa isinya. Tapi Piedra berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan pernah membuka bungkusan itu, dan biarlah alasan kepergian Yvan tetap menjadi misteri. 

***

Padahal ketika Yvan pergi, Piedra tak memiliki gairah untuk membuka bungkusan itu. Namun  entah apa alasannya, pada siang itu selepas membaringkan anaknya, Piedra secara tak sengaja melihat ada sebuah bungkusan coklat yang menyempil di lemari bukunya.

Piedra heran, bungkusan apa itu? Lantas ia mencabutnya berniat untuk membuangnya kalau itu sampah, kalau itu dokumen penting milik suaminya ia akan simpan di lemari, supaya lebih aman.

Sudah empat tahun lamanya, sekalipun Piedra tidak pernah melupakan keberadaan Yvan di dalam hidupnya, tetapi Piedra lupa kalau bungkusan yang sedang di pegangnya itu adalah bungkusan yang Yvan berikan.

“bungkusan apa ini?” gumam Piedra mengingat-ngingat, tetapi ingatannya tidak jatuh pada bungkusan yang Yvan berikan. Semakin dalam mengingat, Piedra malah semakin tidak ingat.

“apa ini?” sembari membukanya. Piedra semakin penasaran, karena dari bentuk fisik bungkusan itu, Piedra yakin isinya adalah sebuah dokumen. 

Dan ternyata sangkaan Piedra benar; bungkusan itu berisi sebuah map yang berisi dokumen. Ketika Piedra membaca, sedikit saja tulisan dari dokumen itu, baru ia sadar; ternyata bungkusan itu adalah bungkusan yang dimana Piedra mengharamkan dirinya sendiri untuk membuka.

Tapi semuanya sudah terlanjur. Bungkusan itu telah terbuka, dan Piedra sudah membaca.

Piedra diam terhening.


[7]

Piedra tidak mau melanjutkan bacanya. Biarlah Yvan menjadi kenangan, kenangan yang sangat manis. Piedra mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia tidak seperti dulu lagi. Kini ia sudah menikah, punya suami dan anak; bahwa suami adalah simbol kewajiban dan kepatuhannya. Kesanalah kehidupan Piedra bermuara, kehidupan seorang istri adalah untuk patuh dan taat pada suami; tidak boleh memasukan orang asing ke rumah jika suami sedang tiada, tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami. Itulah aturannya.

Tapi membaca bukanlah dosa? Pikir Piedra menimbang-nimbang.

Akhirnya hasrat ingin tahu Piedra mengalahkan segala tabu, dan mulai-lah Piedra membaca dokumen pertama berjudul Surat buat Piedra; 

Surat buat Piedra
Ayat 1
Piedra, orang lain adalah neraka, penjara…
 __________________________________________
 lihat cerita sebelumnya;
Yvan Saepudin dan Behind The Godot ; Catatan dari Sang Admin


2 komentar:

  1. di tepi sungai piedra aku duduk dan menangis, aku jadi teringat novel coelho yang ini om....

    BalasHapus
  2. ya begitulah, terinpirasi dari sana, khusus untuk namanya....

    BalasHapus