Quo Vadis Sosiologi Agama

Sosiologi [agama; selanjutnya akan disebut sosiologi saja] ibarat bayi yang baru lahir dan menunggu diberi nama. Pemberian nama itu ramai dibicarakan, diwacanakan dan didiskusikan sehingga sampai saat sekarang bayi itu bingung mau memanggil dirinya siapa.


Pada kesempatan kali ini, team redaksi ke[r]sa melakukan obrolan nyantai dengan 'sesepuh' atau mahasiswa sosiologi angkatan pertama. Nama aslinya Dindin tetapi lebih akrab dipanggil Kojak. Alumni? Bukan. Karena dia belum sah menjadi alumni. Dan kami sangat bangga mempunyai kakak seperti dia yang sangat mencintai, membimbing adik-adiknya sehingga pikiran untuk lulus terlupakan atau sengaja dilupakan?


Quo vadis Sosiologi di UIN? Itu tema yang team berikan. Sembari membenarkan letak duduknya dia menjawab. Kenapa mesti ada jurusan sosiologi di UIN? Kalau memakai logika dagang, pedagang akan melihat apa kebutuhan pasar supaya barang dagangannya bisa marketable, bisa terjual laris. Tidak ada pedagang yang mau rugi. Mau tidak mau, sadar tidak disadari kita ini sedang berdagang.


Kenapa ada sosiologi agama di UIN? Karena agama tidak hanya untuk dipandang dari segi historis-filosofis semata. Agama itu untuk manusia, bukan untuk Tuhan maka oleh karena itu dibutuhkan pembacaan sosiologis terhadap agama agar pemahaman masyarakat tentang agama bisa komprehensif. Nah itulah kenapa sosiologi ditempatkan di fakultas Ushuluddin.


Harus diakui bahwa disiplin sosiologi belum menjadi ratu. Yang sebenarnya sosiologi tidak hanya berbicara tentang realitas sosial secara teknis-deskriptif melainkan lebih mempertanyakan kemengapaan realitas seperti itu [fenomenologis]. Sehingga sosiologi lebih bisa emansipatif dalam menindak lanjuti ketimpangan realitas sosial.


Dengan asumsi itu maka jurusan sosiologi di UIN tak lain dan tak bukan adalah untuk mencetak sosiolog-sosiolog muda. Guna mencapai tujuan mulia itu, maka diperlukanlah perangkat pendidikan yang konvensional dimulai dari kurikulum, dosen singkatnya dibutuhkan surprastruktur dan infrastruktur yang mapan, jelas dan terarah. Pertanyaannya; apakah itu sudah ada? Apakah semua itu sudah dioptimalkan?


Lalu bagaimana mengenai perubahan sosiologi agama menjadi sosiologi saja? Bagi saya itu sama saja. Perubahan apa sih yang mendasar dari bergantinya sosiologi agama menjadi sosiologi ? Tidak ada bukan? Atau belum ada? Kalau belum ada, kapan? Secara kajian, sosiologi agama sudah bisa mengkerucut sedangkan sosiologi belum. Memang, kalau dilihat dari logika pasar sekarang sosiologi bisa lebih menjadi primadona di Ushulludin dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa baru yang masuk mengalahkan Tafsir Hadits.


Tetapi bukan lantas persoalan berhenti sampai disana. Cita-cita luhung nan agung yang diemban oleh jurusan dan fakultas seyogyanya, idealnya bisa ditafsirkan oleh BEMJ sebagai anak turunannya. Disinilah dibutuhkan keawasan dan kecekatan dari bihak BEMJ untuk membaca riak-riak dari pihak jurusan.


Persoalan yang pertama adalah keterputusan, setidaknya itu yang bisa terlihat, koordinasi antara BEMJ dan Fakultas. Sehingga dalam operasionalisasinya BEMJ dan fakultas menjadi terkotak-kotak dan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini akan mengakibatkan akan gampang dan mudahnya BEMJ ditumpangi kepentingan politis dari pihak luar yakin organ ekstra kampus.


Selanjutnya kurang ada, paling tidak oleh saya, targetan jelas dari pihak fakultas pertahun yang dikomunikasikan oleh dosen melalui media belajar mengajar. Sehingga tiap tahunnya proses belajar mengajar hanya merupakan rutinitas formal yang mesti digugurkan. Dosen tidak mempunyai sense of untuk membuat mahasiswa menjadi lebih baik dari tiap tahunnya.


Begitulah kilah mahasiswa yang saat itu mengenakan baju jawa. Obrolan pun terhenti sampai disana dikarenakan situasi yang kurang kondusif. Saat lain kita sambung lagi dalam tema dan kesempatan yang berbeda. Wallahu a'lam bish showab.

0 komentar:

Posting Komentar