Kepada Sepekerja

Hanya Sebatas

Senja mengurutkan dada, menyaksikan seorang pemuda dengan gontai pulang dari makam kekasihnya, makam ibunya, makam bapaknya, kakaknya, adiknya... lepas dari pekuburan keluarganya.

Kini dia hanya seorang diri di rumah itu, di ruangan itu, di kamar itu, di dunia itu yang disesaki hentakan yang mengecewakan kadang menggemaskan bahkan menghibakan. Sungguh benar apa yang di ucap Chekov, hidup penuh dengan ketiba-tibaan.
Tiba-tiba saja, satu persatu orang yang berarti bagi kita dialpakan oleh yang Maha Entah dari kehidupan ini, dengan sebab yang entah pula. Sungguh! Dunia ini selain penuh dengan kejutan, juga dipenuhi dengan sebab yang entah.
Entahlah apa yang akan terjadi nanti pada diri kita, kamu, aku dan mereka. Tidak ada yang tahu. Memang dunia ini diciptakan dengan (tanpa) skenario (yang pasti).
Namun, kini itu hanya sebatas kenangan. Keringat dingin yang muncul tanpa komando dari keningnya menyiratkan bahwa itu kenangan yang aduk. Kenangan yang tak perlu diingat, tetapi tidak pula lekas untuk dilupakan. Tepatnya, kenangan yang pantas dijadikan pelajaran baginya. Pelajaran di pemberhentian hidup dalam rangka untuk melanjutkannya lagi.
Dia teringat Santiago, seorang bocah yang pernah diceritakan Coelho dalam dongengnya Sang Alkemis, teringat sebuah perjuangan mewujudkan mimpi, teringat petualangan hidup yang tak menemu ujung, teringat akan semua peristiwa yang pernah menempa dirinya.
Dia menghela nafas.
“ah ini bukan apa-apa! Dulu pernah aku dibantai badai yang seribu kali lebih sunyi dari ini, kehidupan memang mesti berjalan seperti ini, seperti apa adanya”
Dia pun bangkit dari permenungan. Melanjutkan aktivitas seperti biasanya, menyeduh kopi, kembali pergi bekerja. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya, seakan-akan peristiwa itu hanya lewat sekejap pada benaknya. Dia pun tersenyum, sementara melodia lagu mulai kembali mengalun di belakangnya...
“ohh...bukankah ku pernah melihat bintang, senyum menghiasi sang malam, yang berkilau bagai permata, menghibur yang lelah jiwanya, yang sedih hatinya...”
12 Juni 2009
-epigon buat Ilham Nasrullah, seorang teman kerja-

0 komentar:

Posting Komentar