Makan Di Luar

Untuk urusan makan, saya ebih senang di rumah, memakan masakan istri. Tentu bukan karena biaya yang dikeluarkan, maksud saya itu bukan yang utama, bila hanya sesekali, kalau acapkali, itu bisa jadi masalah.

Tapi, momen menunggu, memasak, bercengkrama, dan tentu saja pas makan, terasa berbeda ketimbang makan di luar (entah itu di warung makan, atau restoran). Terlebih di restoran, nuansa kapitalistik kental disana, pelayan dan konsumen.

Bila makan di rumah, sekat itu hilang, semua bebas, tidak ada yang diperbudak oleh pekerjaan.

Tapi, tidak bagi istri saya, menurutnya makan diluar adalah upaya untuk mencicipi rasa. Hmm. Bisa jadi masuk akal, karena istri saya pengen buka warung makanan, kelak. 





Kali ini, kita coba makan steak, setelah sekian lamaa, mungkin berbulan-bulan meminta, baru kesampaian sabtu kemarin, entahlah begitu malas untuk keluar.

Sebelum makan, kita beli dulu Al Qur'an buat abang, karena dua hari kemarin abang beres iqro.



Alhamdulilaah, ini adalah murni pencapaian didikan istriku. Untuk pendidikan yang sifatnya formal, membaca, menulis, berhitung termasuk membaca al Qur'an saya serahkan tugasnya pada istri. Saya hanya mengisi kekosongan ruang didik yang tidak bisa di isi. Semisal, menjelaskan sesuatu, itu bagian saya, sekalipun yaa tidak tepat tepat amat.

0 komentar:

Posting Komentar