21 Februari 08

Pagi,
Aku bukanlah siapa-siapa, bapakku hanya seorang guru agama di tingkat SD, dia juga bukan apa-apa, bukan orang yang mempunyai nama besar. Dia tidak memiliki prestasi dalam bidang apa pun,

begitu juga dengan anggota keluargaku yang lain—kakak perempuanku, adik-adikku, ibuku—singkatnya kami adalah kumpulan orang sederhana yang sangat biasa saja. Tak ada yang bisa dibanggakan.
Kini aku sedang merintis karirku sendiri. Aku bertekad ingin menjadi penulis dan (bisa) hidup darinya. Namun ternyata hal itu tidak gampang, menjadi seorang penulis itu mesti memiliki mental yang mental. Inilah pengalamanku,
Karirku (sebenarnya, lambat kuketahui) sudah kurintis semenjak duduk di bangku sekolah menengah, waktu itu aku sering menulis dalam buku catatan. Ya menuliskan segala apa yang sedang kurasakan, apa yang kuinginkan, pokoknya aku menuliskan segalanya dalam buku harian itu.
Kebiasaan itu lambat laun menjadi sebuah kebutuhan yang tak bisa kutinggalkan, kemudian aku mulai suka membaca buku-buku maka bertambahlah wawasankau. Sewaktu kuliah aku mulai menjadi-jadi dalam kebiasaan tulis menulis ini, aku mendirikan sebuah bulletin yang sangat idealis. Aku menyuplai tulisan-tulisan untuk bulletin itu bahkan hampir semua tulisan yang ada dalam bulletin itu adalah hasil karyaku, meski memakai nama teman-temanku yang lain.
Setelah merasa mantap dan mengasah bakatku dalam tulis menulis ini aku mulai mencoba mengirimkan tulisanku ke Koran lokal. Aku mencoba mengirim tulisan sampai tiga kali namun tak kunjung di muat, setelah tulisanku yang keempat barulah dimuat. Setelah itu aku kecanduan untuk terus menulis dan (mungkin) keberuntungan masih berada di pihakku, berturut-turut tulisanku terus dimuat (hanya selang satu minggu).
Rasa percaya diriku semakin menguat dalam hati aku menobatkan diri sebagai penulis. Namun ternyata perjalanan menuju kesuksesan tak begitu mulus. Belakangan ini tulisanku belum jua muncul dalam wajah Koran yang selalu kunantikan (bahkan dalam mimpi).
Perasaan tak dimuatnya tulisan kemudian menonjok dan mulai merubuhkan kedirianku (yang sebetulnya tak seharusnya begitu). Sekarang beginilah keadaanku, aku sedang “turun” dan mencoba bangkit sebab aku masih ingat perkataan orang bijak “kenapa kamu jatuh? supaya kamu tahu bagaimana caranya untuk bangkit”
Setiap dari kita, pasti mengalami kejatuhan, kebangkrutan, kehancuran atau berada di titik paling nadir dalam kehidupan ini dan setiap dari kita juga memiliki cara untuk bangkit lagi. Untuk memulai kembali lembaran kehidupan yang baru di atas jilid kehidupan yang telah lama boyak.

Sore,
Tiada yang paling menyedihkan dalam hidup ini selain merasa tidak berarti bagi orang lain, teristimewa bagi keluarga kita sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar