Mudik Lebaran 1436

Mudik Lebaran tahun ini beda, sangat beda.

Alasannya sangat sederhana, tidak lebih dari seminggu menjelang bulan puasa, saya kembali dimutasi. Kali ini ke Jatim, setelah jauh-jauh hari sebelumnya kami sekeluarga menggambarkan bagaimana serunya melewati bulan ramadhan dan berlebaran di Medan, akhirnya gambaran itu binasa, karena saya pindah lagi. Mutasi ini tidak biasa, bisa di bilang mendadak, hanya saya saja yang dimutasi. Ceritanya, kawan saya yang di Jatim, memutuskan untuk mencari karir di tempat lain. Saya percaya bahwa kisah satu manusia adalah kisah seluruh manusia, bisa dibayangkan kalau kawan saya tidak resign, maka saya tidak perlu pindah ke Jatim. Saya berlebaran di Medan, tidak mudik pas momen lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, kisah itu tidak bisa di ubah, dan saya pikir itu takdir.

Kabar baiknya, saya bisa mudik, pas momen lebaran! Biasanya saya mudik sebulan, atau bahkan dua bulan setelah lebaran, mendekati Hari Raya kurban, sudah tentu sudah bukan suasana lebaran lagi! Jadi tidak terlalu menarik untuk di ceritakan.

Tapi, kali ini beda! Inilah cerita mudik saya dari Jatim ke tasikmalaya.

Sebetulnya, rute yang paling singkat dan sederhana adalah menaiki kereta api jurusan Surabaya Gubeng, kebetulan saya tinggal di daerah Pucang Anom, dan lebih dekat ke stasiun Gubeng, ke Tasikmalaya dan jurusan itu memang ada, namun dikarenakan saya baru saja pindah, ditambah situasi kerjaan sedang genting, belum ada pengumuman kapan bisa ambil libur dan tidaknya, maka saya belum berani memesan tiket. Kawan saya yang ada di Surabaya, sudah beli, harganya murah, 100rb jurusan Surabaya ke Bandung, sudah tiga tahun mereka di surabaya, jadi tidak ada kesulitan.



Saya baru berani memutuskan untuk mudik, menjelang akhir-akhir puasa, dan tentu saja, itu bukan pilihan yang tepat untuk mempersiapkan mudik secara finansial, karena jelas saja, harga tiket pesawat, kereta, bahkan bis pun sudah tidak wajar. Pesawat, nyampe 1juta, kereta 600ribu, dan bis 400ribu untuk keberangkatan tanggal 17 juli setelah sholat Id.

Kemungkinan besar naik bis, kata saya pada istri, karena itu yang paling murah, tapi luar biasa capek dan lama. Saya masih berharap menemukan solusi transportasi untuk mudik, dengan biaya terjangkau dan tidak melelahkan.

Dalam pada itu, saya berselancar menemukan sebuah situs tentang traveling, tapi tidak cukup membantu, saya baca-baca komentarnya, ada juga yang menanyakan jalur dari surabaya ke tasik, tapi semua pertanyaan normal, tidak memberikan jalur alternatif, akhirnya ada seorang penanya dan pemilik blog menjelaskan, jalur alternatif, bisa lewat sini, bisa lewat situ.

Saya mendapatkan pencerahan! Sepele, tapi bagi orang yang gelap, satu titik cahaya pun sangat berarti. Tempat tinggal saya di Garut, istri di Tasik atau kalau mau transit, bisa di Bandung? Begitu pikir saya. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya? Saya mulai mencari jalur kereta api, Surabaya-Tasik, Surabaya-Garut, Surabaya-Bandung.... terus saya putar-putar. Semua tiket yang murah sudah habis, tinggal yang eksekutif dengan harga yang, menurut saya tidak wajar.

Saya rubah rencana, bagaimana kalau jangan Surabaya, tapi di wilayah lain, saya mulai cari Semarang-Garut, Semarang - Tasik dan seterusnya, sampai saya rubah-rubah stasiunnya, mungkin stasiun ini penuh, bisa jadi di stasiun lain tidak, ya mungkin saja, banyak orang mudik dari surabaya, karena kota besar, tapi bisa jadi stasiun yang lain, misalnya Kutoarjo, jarang orang yang mudik ke tasik. Saya menggunakan ilmu peruntungan dan tebak-tebakan.

Dan, bener saja! Tebakan saya berhasil! Saya mendapatkan tiket Solo-Tasik dengan harga 100ribu saja! Bukankah itu luarbiasa! Langsung saya booking, untuk saya dan istri (?) hanya menghabiskan biaya 200rb! Setelah sebelumnya harus mengeluarkan biaya 800rb, kalau naik bis (harga tiket 1 org 400rb x 2 saya dan istri).

Terus bagaimana dari surabaya ke solo? Tentu saja saya juga cari kereta api, tapi nihil, semua ludes! Bis pilihan terakhir, saya atur pemberangkatan bis, dan kereta, biar tidak bertubrukan. Dan dapat, tiket bia solo-surabaya 110rb perorang, berangkat malam takbiran, jam 10 malam tanggal 16, sementara jadwal kereta api, besoknya tanggal 17 juli, jam 10 pagi.

Done! Saya pikir. Semua transportasi selesai, tinggal menghubungi teman saya di solo, numpang mandi dan istirahat sebelum berangkat ke stasiun. Semuuuaa beres! Pikiran saya lega, tinggal persiapan berangkat.

Kami berangkat malam dari surabaya ke solo, naik bis eka-mira, sampai di solo jam setengah empat, kami naik taksi dari terminal tempat kawan, ongkos taksi 50rb, setelab ditawar, sebetulnya masih bisa lebih murah lagi, tapi karena subuh, peruntungan kami bakal berkurang, sampai di tempat kawan, istri dan anak saya tidur, saya sholat id, kebetulan istri saya sedang berhalangan.

Dari tempat kawan itu, kami naik takai lagi ke stasiun solo balapan, kali ini lebih murah, cuma 30rb, karena pake argo, dan masuk ke stasiun, tambah 5rb untuk parkir.

Tidak terlambat, semua berjalan sesuai rencana, sampai ketika kami masuk mau check in, petugas menanyakan, bahwa saya bawa bayi, umurnya?

Saya jawab tiga tahun, tentu saja, anak saya sudah besar, bukan infant, tapi, di pemesanan online tiket kereta api, tidak ada opsi children, seperti kita memesan tiket pesawat.

Petugas itu bilang, saya harus membayar satu tiket lagi untuk anak saya, saya sedikit mendebat, bahwa tiket itu bakal sia-sia, karena tidak bakal saya tempati, anak saya memang sudah besar, tapi belum cukup besar, usia nanggung orang tua bilang.

Petugas itu keukeuh dengan pendiriannya, begitu juga saya, security meminta anak saya dibawa dulu buat melihat tinggi besarnya, saya bawa, setelah ia lihat, security itu bilang pada petugas yang mengecek, masih kecil dan masih bisa dibawa masuk tanpa membayar tiket, tapi petugas perempuan itu malah kemudian menanyakan ke kawan di seberangnya hanya untuk memasikan pendapatnya benar.

Saya tidak mau berdebat. Saya bilang dengan singkat, jadi harus bagaimana?
Bapak harus membeli tiket satu lagi di loket 1, ujarnya. Saya menemui istri saya untuk meminta uang. Istri saya sedikit terkejut dengan jumlah uang yang saya minta. Saya ke loket, kembali lagi saya mendebat, tapi dengan sadar, saya katakan, apakah tidak ada jalan lain? Karena kursi itu jelas tidak akan saya tempati? Petugas itu bilang tidak ada, bahkan kalaupun anak saya masuk, ketika check di dalam kereta api, bakal ketahuan, dan saya harus membayar bahkan lebih buruk lagi, saya tidak akan mendapatkan tempat duduk untuk tiket yang saya bayar.

Saya pikir, kasir itu sudab cukup menjalankan prosedur, tahu bagaimana menghadapai komplain dari pelanggan, akhirnya saya setuju untuk beli tiket, tapi dengan tempat duduk yang berdekatan, ia bilang sudah penuh. Saya beralibi lagi, buat apa saya beli kalau jauh? Apakah ia tega membiarkan anak kecil duduk sendirian? Petugas itu mengelak lagi dengan cantik, bahwa tempat duduk yang baru dibeli bisa ditempati saya, sementara tempat duduk yang bersebelahan, untuk anak dan  istri saya. Saya juga sudah tahu itu. Tapi tidak mau saya munculkan

saya hanya ingin mencoba sejauh mana kesabaran petugas itu menghadapi saya, dan untunglah tiket yang ia sebutkan untuk anak saya, cukup murah, 215rb, saya minta ke istri saya, 500rb, karena seingat saya, tiket yang tersisa harganya 615rb, baru saya ingat, itu jurusan surabaya-tasik.

Dan memang benar, tiket yang baru dibeli, tak sekalipun saya duduki, dan yang paling mengesalkan, kereta itu tidak penuh-penuh amat! Ada beberapa pelajaran yang saya ambil, pertama, ketika saya marah pada petugas, itu saya sadari bukan marah sebenarnya, tapi marah pada kebodohan saya sendiri! Kenapa coba tidak saya beli saja 3 tiket pada waktu itu! Tapi itu tidak terjadi, dan tidak terpikirkan sama sekali. Plus, ketika petugas mengecek di dalam kereta api, mereka baik-baik saja, bahkan kalaupun saya tidak beli satu tiket lagi, petugas itu gak bakalan ngapa-ngapain kata istri saya. Bisa jadi seperti itu, atau bisa jadi petugas yang check tiket di gerbang itu, bilang sama petugas di dalam bahwa ada penumpang yang bernama ini, dia seharusnya beli tiket buat anaknya, tapi tidak, dan anaknya itu sudah besar, saya tidak beli tiket tambahan, dan saya dapat perasoalan di dalam kereta. Opsi kedua lebih mengerikan saya pikir, karena saya hanya nambah-nambah persoalan, yang seharusnya tidak ada karena kebebalan saya, dan saya sedang tidak siap untuk menambah persoalan.

Dan tahu tidak apa yang lebih menyebalkan? Ketika membeli tiket seharga 615rb kemudian mendapati banyak tempat duduk yang kosong! Kita tahu, kita sedang di bohongi oleh regulasi yang sungguh tidak manusiawi, kita membayar lebih dari pada yang sewajarnya kita bayar.

Akhirnya, mudik yang pada hakikatnya adalah silaturahmi dengan keluarga, memang perlu pengorbanan, tapi saya pikir, tidak perlu mengorbankan banyak hal, ada beberapa situasi yang bisa kita siasati, tidak perlu mahal, pengorbanan tak selamanya dinilai dari berapa yang kita keluarkan, tapi bagaimana kita mengeluarkan. Berikut rincian biaya, untuk  mengingat jumlah biaya, yang saya keluarkan untuk mudik:

Tiket bis surabaya - solo : 220rb (2org)
Taksi terminal solo ke tempat kawan : 50rb
Potter ; 10rb
Taksi tempat kawan ke stasiun balapan : 30rb
Tiket kereta solo ke surabaya : 200rb (2 org)
Tiket anak : 215rb
TOTAL ; 725rb.

Perbandingan naik bis: 800rb (cape)
Perbandingan naik kereta surabaya ke tasik, dengan sisa tiket yang ada, : 1.8jt (asumsi 3 org)
Perbandingan naik pesawat ; 3jt (asumsi 3 org)

1 komentar:

  1. […] dengan jalur mudik yang sedikit akrobatik. Saya pikir, libur lebaran kali ini berbeda dengan lebaran-lebaran sebelumnya, dikarenakan. […]

    BalasHapus