The Ridiculous Case Of Kh Godot Bennington (5)

/4/

Memang dia penyendiri, tempat favoritnya adalah lantai dua di Mesjid Sancang, di samping sebelah kanan dekat tempat jemuran orang. Sebelum perkuliahan di mulai, dia selalu menyempatkan duduk-duduk sendiri di sana barang satu atau setengah jam, tergantung seberapa cepat dia bangun. Di temani secangkir kopi, kertas dan pena. Udara pagi khas kota Bandung. Sejuk damai. Dia duduk menyendiri. 

Dia sangat menikmati momen-momen seperti ini, dari semenjak dulu. Dari semenjak dia tahu bahwa perempuan itu cantik. Dan perempuan cantik selalu sudah ada yang punya, kalau pun belum, perempuan itu hanya sedang menunggu pangeran berkuda putih yang datang dari negeri nun jauh disana, dengan gagah berani berlutut di hadapannya mengucapkan kata cinta kemudian mempersunting dirinya sebagai permaisuri. Dan hidup bahagia. 

Atau perempuan cantik yang kedua, dia meyakini bahwa dirinya cantik. Kecantikan itu adalah berkah. Kecantikan itu indah. Dan berbagi keindahan itu adalah sesuatu yang baik. Perempuan yang kedua ini sangat dermawan maka dia membagikan keindahannya pada dunia, mulai dari keindahan pahanya, lekuk dada yang hanya ditunjukkan sedikit saja. 

Sedikit saja. Itu sengaja, biar imajinasi para lelaki bekerja mencari sisanya. Dan itu sangat menyakitkan, terutama bagi lelaki yang sudah tahu apa sisanya. 

Perempuan yang ada di baris kedua ini, sama sekali tidak memimpikan pangeran berkuda, melainkan raja yang datang dengan bergelimang harta sekalipun tua, mobil mewah sekalipun tidak gagah. Tua itu lebih bagus. Sakit-sakitan apa lagi. Karena dengan demikian lebih cepat harta itu akan berpindah tangan. Mungkin hanya dengan menempelkan pada ranum dadanya yang segar atau sedikit saja membiarkan dia mencium ‘pulau dewata’ yang ada di bawah pusarnya. Semuanya bisa teratasi. 

Dan memang benar, lelaki tua itu sangat menikmati aroma yang di suguhkan ‘pulau dewata’ itu. Begitu pun sang ratu, dia mengerang! Dan tanpa sadar, dia membenamkan sang raja terlalu dalam. Sehingga lelaki tua itu sesak nafas. Sang ratu malah keasyikan. Membuat pelbagai macam variasi gerakan. Menikmati sensasi purba yang sebenarnya bisa dirasakan bersama siapa pun dan dengan apapun, sensasi kenikmatan itu tetap sama. Hanya lawan mainnya yang berbeda. 

Setelah membuka mata, dia melihat sang raja sudah terkulai lemas. Tak berdaya, namun juga tak bernafas. Sang ratu mengira lawan mainnya merasakan yang sama. Sang ratu bahagia. Bisa memberikan secuil kenikmatan surgawi pada lelaki yang mungkin tidak akan lama bisa menikmati hal yang serupa. Namun ternyata, sangkaannya salah. Hanya dalam sekejap mata, tubuh sang raja sudah berubah jadi jenazah. 

Pembaca bisa menggunakan ucapan klise tepat saat itu juga; Mati Di Puncak Ilahi.
 
Tapi sang ratu lebih bahagia. Dia tidak mengira bakal secepat itu?
“Tuhan memang Maha tahu” gumam sang ratu tersenyum lantas mandi. 

***
Dia tidak termasuk golongan lelaki pertama, yang datang pake kuda. Tetapi juga bukan golongan yang kedua, dia tidak punya harta, terlebih dia masih muda. Dia hanya seorang pengecut yang suka menyendiri. Namun tidak untuk saat ini. Dia belum pernah merasa kesendirian seperti ini sebelumnya. Kesendirian yang begitu mencekam. Terlalu tenang. Terlalu rapi. Terlalu diam. Bahkan bagi seorang autis sekalipun, keadaan seperti ini terlalu mengerikan. Ketenangan yang mencurigakan. Nyaris tidak ada yang perlu di risaukan. 

Justru itulah yang dia takutkan, karena tidak ada satupun yang dirisaukan. 

“Mestinya ada sesuatu yang dirisaukan”, begitu pikirnya. “manusia hidup, tanpa satupun yang dirisaukan, berarti dia telah mati. Karena esensi manusia adalah berpikir” sampai di pernyataan ini, lantas dia pun kepikiran, “lalu bagaimana kalau dia berpikir, bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan? mungkin itu adalah buah pikirannya. Kita tidak bisa menghakimi orang yang tidak merisaukan sesuatu, tidak berpikir?”. Dia bertanya pada dirinya sendiri. 

“ya benar” jawabnya. “tapi yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah; apa yang akan dia kerjakan? Kalau tidak ada sesuatu yang mengancam dirinya. Apa yang akan dia perjuangkan? Jikalau keadaan damai-damai saja?”

Pikirannya buntu.
Tapi itu hanya sesaat, dia langsung mempunyai formula baru untuk menjawab pertanyaannya, “melakukan apa yang dia inginkan! Itulah jawabannya” 

Tapi dia ragu, “bagaimana kalau tidak ada yang dia inginkan?”

“tidak mungkin, orang hidup pasti punya keinginan. Tapi kalau memang benar iya, ini adalah kemungkinan paling menyedihkan yang bakal dia kerjakan seumur hidup; dia akan melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. Dia akan tersiksa.”

Kesendirian jenis ini menjadi sangat mengancam. Kesendirian yang tidak memberikan keuntungan sama sekali. Kesendirian yang sebenarnya merindukan keramaian. Mesti ada teman. Kesendirian semacam ini menipu daya, menunggu lengah, baru menikam. 

Dalam beberapa situasi, jujur saja, dia lebih suka sendiri, atau menyendiri. Karena itu lebih memberikan kenyamanan baginya. Sehabis pertemuan kerja, ketika rekan-rekan kerjanya ramai di foto-foto, dia lebih suka menghindar. Dia suka di foto, tetapi dia tidak suka dengan prosesnya, dimana dia mesti mematut-matut diri dihadapan orang lain. Dan hal itu, baginya sungguh sangat menggelikan. 

Atau, ketika semua rekan kerjanya, meributkan gossip di kantor. Dia lebih memilih untuk diam. Ketika atasannya dari pusat datang, dia lebih memilih untuk berkata dan menyapa seperlunya, sekalipun tentu saja akan menghambat karirnya. Sukses itu adalah menonjolkan diri. Menonjolkan diri bahwa aku bisa. Bisa segala-galanya. Dan hanya satu jalan untuk menunjukkan itu semua; berbicara.  

Tapi kali ini. Dia tidak bisa diam. Dia tidak bisa sendiri. 

Tubuhnya memang bisa diam. Mulutnya juga diam. Tapi pikirannya, pikirannya tidak bisa diam. Dari semenjak pagi tadi, bahkan seketika dia membuka mata, pikirannya langsung bekerja. Berbicara tentang semua hal yang selama ini tidak sering dia ucapkan. Dia semakin yakin, beberapa hal yang tidak diungkapkan dalam ruang wicara, itu akan selalu mengendap dalam pikiran. Menunggu untuk di muntahkan. Seseorang tidak mungkin bisa diam dalam jangka waku yang lama. Kecuali dia memang bisu. 

Itulah mengapa facebook diciptakan; untuk mengetahui apa yang anda pikirkan? 

Baru kali ini kesendirian begitu sangat mengganggunya. Sesuatu yang semenjak dulu menjadi sekutu kini berubah menjadi musuh. Dia bolak-balik masuk kamar, sesekali keluar. Nongkrong di depan balkon, melakukan hal yang tiga tahun sebelumnya biasa dia lakukan, tetapi tidak menemukan efek yang sama; ketenangan dan keheningan. 

“dimana semua itu…” Pekik batinnya, mulai gusar. 

Dia menyeduh kopi lagi. Karena dia tidak merokok. Sudah dua kali di hari yang masih sepagi ini dia menyeduh kopi. Itu adalah sebuah pertanda bagi dirinya sendiri. Pertanda ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang belum terselesaikan. 

“Tapi apa yang belum kuselesaikan?” 

Entah mengapa, begitu saja terlintas dalam pikirannya pertanyaan konyol itu; “apa yang belum kuselesaikan?”
Terdengar konyol. Namun semakin konyol pertanyaan itu, semakin dalam dia memikirkan. “Ya, apa yang belum kuselesaikan?” seakan mendapat setitik pencerahan. 

“Semuanya telah kuselesaikan....atau mungkin sama sekali belum?”. Dia membalikkan pertanyaannya. 


Ini hanya permulaan. 






0 komentar:

Posting Komentar