Surat ke 5 dari Godot - Maman Gorky

Ada banyak hal, mungkin juga terlampau banyak hal, yang tak terucapkan menumpuk di kepala, mengendap di liang dada, sehingga akhirnya, aku sendiri tidak tahu apa yang mesti kuutarakan, dari mana awalnya pembicaraan ini. Hanya saja, organ-organ di kepalaku kehihatan sangat sibuk, sementara sialnya, mereka tidak tahu, apa yang mereka sibukkan, apa yang sedang mereka pergunjingkan. Parahnya lagi, mereka nyaris tidak tahu, apa sebenarnya yang mereka sedang perjuangkan. Itu artinya, mereka alpa tujuan.

Seperti hujan. Pada kali pertama, mungkin menjadi berkah lama kelamaan menjadi biasa saja. Pada akhirnya, kita nyaris menerjemah menjadi awal musibah, pembawa malapetaka. Banjir dan sebagainya. Bagaimana mungkin sebuah berkah berubah posisi menjadi musibah? Proses transisi terkutuk macam apakah yang bisa menjelaskan semua ini? Distorsi.

Siapa penyebab distorsi? Entahlah, mungkin Tuhan. Mungkin juga bukan.
Oleh karena itu, aku mulai menulis surat lagi padamu Maman, sobat karibku semenjak kecil. Aku selalu rindu padamu, persis ketika aku sedang gundah, ketika aku tidak mempunyai pegangan. Ketika aku mulai tidak mempercayai siapapun dan apapun. Ketika ruang nihilitas itu mulai melebar dan benar-benar melumat ruang sosialitasku, ketika tak lagi bisa dibedakan mana distorsi mana substansi, mana interpretasi mana argumentasi, ketika semuanya menjadi banal dan riskan menimbul dendam, tepat di keadaan seperti itu. Kamu mulai datang lagi Maman.
Menjelaskan bahwa proses seperti itu biasa saja, bahwa proses itu bisa menimpa siapa saja, hanya mereka tidak mau menyadarinya.

“Banyak hal yang mereka tidak sadari” ucapmu suatu ketika,
“Kenapa mereka tidak menyadari Man?” tanyaku.

“kesadaran itu, selain diibaratkan sebagai matahari—Rendra pernah bilang gitu, ‘kesadaran adalah matahari’—yang memberikan pencerahan, jalan terang. Tetapi juga memiliki efek yang menakutkan dan menyeramkan.

Begini, kamu mestinya mengerti, bahwa kamu tidak akan bisa terus menerus memandangi matahari. Ya kan? Kenapa? Karena, kapasitas matamu yang tidak bisa melakukan itu, atau kamu mau mengerjakan hal lain”

Aku merenung, tidak bisa mencerna apa yang di ucapkannya barusan.   

“ya, kamu hanya sesekali memandang matahari, setelah itu, mungkin kamu mau makan, minum, atau ada janjian pergi bareng pacarmu, atau apalah … karena kerjaan kamu bukan hanya memandang matahari saja. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin bisa selamanya ‘sadar’ karena rutinitas yang melalaikanmu, dunia yang membuat kamu begitu. Atau karena sebab pertama, kapasitas matamu, umumnya kapasitas tubuhmu yang terbatas untuk melakukan hal itu. Sebab kedua ini sebenarnya masih berkaitan dengan sebab pertama; kamu gak bakalan terus menerus berdiri bukan?

Oke sembari duduk? Tapi kamu bakal tidur, bukan? Nah ketika tidur itulah, kamu gak melihat matahari. Makanya orang tidak bisa selamanya ‘sadar’ alias tidur”.

“tapi kan Man? Di puisi Rendra itu tidak di jelaskan bahwa kesadaran itu adalah ketika melihat matahari, tapi kesadaran itu adalah matahari” tanyaku serius.
“nah itu apalagi, berat” jawab Maman enteng
“lho kenapa lebih berat?” tanyaku lebih serius.
“sumpah, dari dulu sampe sekarang gak ada orang yang bisa jadi matahari!”
“maksud loe?”
“hahahaha….” Maman tertawa lebar. Sementara aku menjadi sangat serius.

“oh my Godot! Itu hanya puisi, bukan ayat Tuhan. Gak usah di bikin serius! Mungkin juga Rendra sedang ngigau pas bikin puisi itu, mungkin sedang mabuk, mungkin juga sedang ngapain… kita kan gak tahu apa yang di maksud Rendra dengan puisi itu. Kalaupun memang Rendra sedang serius membikin puisi itu? Apa peduliku? Itu hanya sebuah puisi! Bukan ayat Tuhan, dan kalaupun ayat Tuhan? Bukankah kita sudah terbiasa mengabaikannya? Bukankah kita sudah terbiasa untuk menafsirkannya seenak udel kita? Bukankah kita sudah terbiasa menginjak-injak hal itu? Dan bukankah kita sudah tidak peduli? Kenapa kamu ngotot banget?

Oh ya? Aku tahu Godot, orang semacam kamulah yang berani membunuh saudaranya sendiri dengan alasan mau masuk surga!

Silahkan bunuh. Tidak ada yang di rugikan. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Sementara kamu membunuh karena alasan (untuk) masuk surga, aku sudah percaya bahwa aku (mesti) mati untuk masuk surga. Jadi selamat berjumpa di surga, karena kita sama-sama akan masuk surga. Bedanya, kamu mesti membunuh orang lain dulu, sementara aku tidak. Aku tidak perlu repot-repot melakukan pekerjaan bengis di luar batas kemanusiaan itu. Karena hanya iblis yang bisa melakukannya, bukan manusia. Aku hanya perlu menyerahkan nyawa, padamu”

Aku terdiam.

“Maman? Apa sebenarnya yang kita perdebatkan?”
“tidak ada.” jawabnya singkat.

Kita berdua terdiam.

Menatap gelap yang kian tenggelam. Lamat-lamat, sinar matahari menyelusup awan hitam. Dalam sekejap saja, langit berubah menjadi terang, dan… entah kemana awan hitam itu menghilang. Langit kini menjadi terang, padahal tadi gelap tidak kepalang. Mungkinkah dilangit yang sama berkumpul gelap dan terang?

Mungkin saja, hanya pada tempat yang berbeda, tentunya. Sebab langit, adalah kubah tiada ujung dan batas, sedang bumi adalah tempatnya batas. Sedang kesadaran kita tak seluas galaksi, maka memahami bisa dimulai saat ini.

Setelah henyak menikmati suasana, akhirnya salah satu dari kita bersuara,

“puisi yang kita perdebatkan Godot. Tidak lebih, tidak kurang, bukan perdebatan yang terhormat sebenarnya. Sebab semua orang bisa bikin puisi, siapapun. Manusia di kolong semesta ini. Sebab kata-kata bukan milik pujangga hanya, melainkan bajingan juga. Sampah masyarakat sekalipun yang tidak di didik dalam lingkungan sastra. Mereka punya hak! Seperti kamu nyalak, ketika kebenaranmu ada yang meragukan. Jangan masuk pada kelompok manapun. Karena mereka pada akhirnya menjadi tuhan melebihi Tuhan itu sendiri. Dan itu yang terjadi di negeri ini. Kadang aku juga ngeri. Tapi mau apalagi.

Menjadi puisi itu lebih terhormat ketimbang membikin puisi. Terkadang, bertindak itu lebih mulia ketimbang ber-sajak”.

Aku tercenung.

“hidup mesti di lanjutkan Godot, tak peduli pada ayat mana kamu berpegang. Karena ada yang lebih berharga ketika kamu meninggalkan hidup” 
“apa itu Maman?”

Maman berbisik.
“kesadaran bahwa kamu sangat mencintai kehidupan karena sudah meninggalkannya tanpa sungguh-sungguh menjalaninya. Dan yang lebih penting, begitu banyak dosa yang pengen kamu tebus ketika kamu sudah berhadapan dengan Tuhan”   


…………………


“Sayang,… “ suara perempuan dengan lembut menyapaku.
“tidak tidur, sudah lewat jam lima. Sudah Shubuh, bicara sama siapa?”

Tidak ada Maman. Tidak ada siapa-siapa. Hanya aku sendiri, kopi yang tinggal seperapat. Dan laptop yang batereinya, juga tinggal seperapat.

“Kenapa tidak tidur? Bukannya nanti jam delapan ada rapat?”

Perempuan itu adalah istriku.  

0 komentar:

Posting Komentar