The Ridiculous Case Of Kh Godot Bennington (4)

/3/

Sepenggal episode kehidupan kita semestinya adalah cerita tentang hening. Dimana kita memaksakan untuk berintrospeksi diri tentang sesuatu yang tidak penting. Tidak melulu mengerutkan kening berpikir tentang apa saja kesuksesan yang ingin kita kejar. Pikiran kita mesti di sunting. Karena di ujung perjalanan kita selalu di kejutkan bahwa semua anggapan manusia tentang dunia sudah terlampau sinting. Jauh dari batas kewajaran.

Oleh karena itu kewarasan adalah sebuah pilihan.

***

Aku jadi teringat Santiago, seorang bocah penggembala yang di dongengkan oleh Coelho, ketika ia singgah di sebuah padang pasir dalam perjalanannya menemukan harta karun. Ia bertemu dengan seorang perempuan, aku lupa siapa nama perempuan yang di ceritakan dalam novel Sang Alkemis itu,  Santiago mencintainya, ia pengen menikahinya. Hidup bersama dengan perempuan itu, menjalaninya sampai ujung usia.

Namun—kalau aku tidak salah mengingat jalan ceritanya—Santiago lantas diingatkan oleh Raja Salem, lagi-lagi aku lupa benarkah namanya raja Salem? Tapi, ah! Apalah artinya sebuah nama, Mang Udin pernah bilang kaya gitu sembari garuk-garuk di empang. 

Jikalau Santiago memutuskan untuk tinggal di sana, menikahi perempuan itu, hidup bersamanya. Gak apa-apa sih, kurang lebih begitulah Raja Salem berucap.

Tidak ada yang salah dengan menikah, tidak ada yang salah dengan mencintai, hanya saja. Dia lupa akan tujuan awal pengembaraannya yakni menemukan harta karun, yang dia sebut sebagai Legenda Pribadi. Dan andaikata kalau dia memang benar memutuskan untuk menikahi dan tinggal dengan perempuan itu. Dia akan bahagia, tentu saja, di tahun pertama. Tetapi di tahun kedua, dia mulai gelisah, sebab dia teringat kembali akan niat awal pengembaraannya; menemukan Legenda Pribadi.

Terjadilah pertempuran dalam batin; antara terlambat atau tidak untuk melanjutkan perjalanannya menemukan Legenda Pribadi. Sementara di sisi lain, pihak perempuan, akan merasa bersalah atas kegundahan yang menerpa suaminya itu. Hanya saja, dia sendiri menganggap itu sudah terlambat, dan besar kemungkinan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Di tahun ketiga, kemampuan, berkah dan kelebihan yang telah di berikan oleh Tuhan yang sebenarnya sudah melekat pada diri Santiago untuk menemukan legenda pribadi, mulai ‘diambil’, sedikit demi sedikit hilang. Sampai akhirnya benar-benar hilang, jelas Raja Salem.

***

Tepat sehari sebelum perpindahan kalender dari tahun 2010 ke 2011, aku menemukan beberapa teman—nyata atau maya—sudah mengganti nama dan rupa mereka, sampai-sampai aku sendiri lupa, siapa mereka? Semenjak kapan aku mengenal mereka? Tapi ini adalah dunia layar kaca, sebuah interaksi yang tidak memerlukan kata kecewa. Aku kembali tak terlalu memedulikan-nya. Semua orang bisa berganti wajah menjadi siapa saja, pun semua orang bisa merubah nama menjadi apa saja, dimana saja. Tanpa sedikitpun merubah akta kelahiran mereka. Dalam sedetik, semua orang bisa menjadi pasangan suami istri, tanpa sedikitpun bersentuhan dengan KUA. Dan setengah jam kemudian, bercerai.

No big deal.

Tepat di saat itulah, aku kembali menyadari bahwa waktu berlalu dengan sangat segera.

Sudah sejauh ini perjalananku. Nyaris aku terlelap pada kehidupan yang tak tentu, pada rutinitas yang entah. Semu. Pada ruang yang aneh. Banalitas keadaan yang sangat tajam. Curam. Kelam. Rentan naik pitam. Aku tak menyukai keadaan yang seperti ini. Sungguh tanpa arti, tanpa makna, menjalani hari tanpa mengetahui apa yang kudapatkan selain dari membunuh waktu, menikam keadaan. Kendati tak ada niat untuk mengeluh. Karena aku masih meyakini bahwa mengeluh adalah tindakan kekafiran dalam agama kita. 

Lambat kusadari bahwa keterkelebatan peristiwa, berdesakannya kejadian, memiliki andil besar dalam menjadikan seseorang lengah dan kurang awas dalam mencermati substansi suatu situasi, terlelap dalam sebuah sirkulasi rutinitas tanpa sedikitpun bisa interupsi. Eksekusi persepsi tanpa basa basi.

Maka, jeda merupakan hal yang niscaya dalam proses interpretasi.     

Banyak arti yang kutunda beberapa hari kemarin, sengaja kubiarkan, mungkin terbiarkan. Karena terkadang, pengabaian adalah keputusan yang sangat tepat ketika kita belum menemukan suatu formula yang bisa di katakan bijak.

Ada suatu ketika, keadaan kita persis seperti Santiago. Duduk di persimpangan jalan. Di rundung kebingungan. Tersesat pada alasan. Letih. Sementara tidak ada opsi untuk di pilih. Sebab semua pilihan yang tersedia hanya mendekati mati saja. Semua orang tidak ingin mati. Keinginan untuk mati hanya ketakaburan kita sebagai manusia yang tidak bisa mengerti kata sabar.

Aku memerlukan waktu untuk sendiri, benar-benar sendiri. Pun sunyi tak boleh menemani. Sebab ini akan menjadi biografi kesendirian yang sangat panjang. Panjang sekali. Aku sendiri, tidak tahu di mana akan menepi. []

2 komentar:

  1. kalau begitu pertama saya minta maaf karena telah memecah kesunyian di pabrik ini.

    kedua, saya tidak suka coelho tapi tulisanmu selalu menarik untuk saya dan saya sangat suka.

    ketiga, dulu saat pertama mengunjungi pabrik aksara saya suka karena disini sangat sunyi tapi indah .. saya pikir pemiliknya adalah seorang tua seperti tampak di foto tsb. saya sedikitpun tidak amenyangka bahwa penulis semua ini adalah dude yang terganteng sa- endonesa tea. anu pang kasep kasep na. :)

    keempat, saya selalu senag berkunjung kesini. smoga tidak mengganggu kontemplasi pak Godot ;)

    cheers.

    BalasHapus
  2. hahahaha...senang bertemu lagi di sini wiangga,

    BalasHapus