Korespondensi; Episode Hermann Tribbiani (2)


Seperti halnya hari kemarin, Hermann melakukan hal yang sama hari senin; bangun tidur, sholat shubuh sedikit kesiangan (ya, tuan, semenjak bekerja Hermann merasa ibadahnya simpang siur, jadwal sholat shubuhnya tidak teratur, kadang jam lima, jam enam, jam tujuh bahkan jam delapan? Beda dengan semasa kuliah dulu, tak pernah sedikitpun Hermann kesiangan. Karena satu alasan; tinggal di mesjid, jadi memang ‘tugasnya’ buat adzan. Tapi semenjak bekerja pula Hermann jadi rutin melaksanakan sholat dluha. Sekalipun Yusuf Musyaffa teman sekolahnya dulu yang sekarang berada di Sudan sedang menyelesaikan kuliah S 2 mengatakan; kalau sholat dluha itu tidak boleh di ‘dawam’ kan. Namun Hermann tidak peduli. Yang ia tahu, ternyata sholat itu mengasyikan juga, seperti berendam di kolam renang, sensasinya seperti menunggu bis Damri ketika mau pergi ke kampus terus jok nya pada kosong, duduk di dekat jendela? Wuih. Serasa jadi Soe Hok Gie), menyeduh kopi, nonton tv (gosip-gosip selebritis, highlight sepakbola, beraneka macam berita kriminalitas mulai dari pidana sampai perdata, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya), kemudian pergi ke depan, mengisi absen onlain, membuka situs facebook, menyalakan printer, melihat-lihat pesan masuk, menghapusnya, sekali waktu pergi ke kamar mandi buang air besar (karena minum kopi pada pagi hari menyebabkan pantat jadi melar) terus mandi, bersih-bersih ruangan, kadang bersin karena debu yang belum di sapu, karyawan datang, Hermann memimpin do’a, toko di buka, aktivitas ekonomi berlangsung, di sela-sela itu Hermann berkomunikasi dengan atasannya nun jauh di sana, sekedar ingin mendengar perkembangan pasar atau informasi lain yang terkadang bikin Hermann gusar. Setelah itu, Hermann pergi ke belakang, ke kamarnya.


Kadang ke luar toko, berbincang dengan mas Maman tukang sol yang berasal dari Subang; tentang istrinya yang suka mengeluh resiko dapur yang kurang, tentang mertuanya yang kerap kali pinjam uang, tentang tetangganya yang bosan memberi waktu tenggang buat bayar hutang, tentang cuaca yang tidak mendukung usahanya seperti sekarang, tentang… tentang… tentang… tentang lainnya yang tidak bisa di paparkan semuanya disini.

Kemudian masuk toko lagi, sesekali melayani pelanggan yang kebanyakan ibu-ibu cerewet, bawel kadang gemesin, kadang bikin marah, kadang bikin susah, kadang juga bikin ulah (kadang ngajak bikin anak? Tentu saja tidak tuan. Anda mempunyai selera humor yang biologis juga rupanya).

Pergi ke belakang lagi, menyeduh kopi, melamun sendiri, tengok kanan kiri, tidak ada siapa-siapa, makan roti lagi. Masuk kamar, sebentar nonton tv, tidak ada acara rame sana sini, lantas ke dapur menanak nasi, lihat persediaan mie, sudah habis. Keluar toko, beli ke toko si ‘Nci; pasti di tanyain tentang sewa kontrak toko, siapa saja yang tidur di sana, WC nya lancar atau tidak, ada hantunya tidak? Kadang Hermann pikir pertanyaan si ‘Nci ini seperti mau merampok.

Sementara si ‘Ngko, suaminya si ‘Nci, dari awal Hermann datang ke kota ini sampai sekarang, penampilannya selalu begitu-begitu saja; pake kaos dalam putih atau kadang tidak, telanjang dada, kacamata di dahi, kolor warna crimson, sandal jepit hijau. Padahal uangnya lumayan melimpah, kemarin saja si ‘Nci mengirim batik Pekalongan ke Hongkong buat sanak saudaranya yang ada di sana. Tapi begitulah mereka, orang Cina sukanya berperilaku seperti orang jelata, beda dengan kita, memiliki nasib jelata tapi masih sempet bermanja-manja layaknya orang kaya raya.

Menggemaskan.

Siangnya sampai sore, sekira jam dua belas lewat hingga mendekati senja, para pengemis, tukang martabak, roti bakar, ayam bakar, pengamen bahkan orang gila mulai bermunculan; seorang bapak-bapak gemuk yang buta, seperti biasa menggedor-gedor kaca dengan tongkatnya meminta-minta uang recehan, disusul gerombolan pemuda menyanyi tak karuan, maksud mereka sih mengamen, tapi Hermann tahu kalau itu hanya sebuah tameng untuk menutupi diri dari label pengangguran, ada juga seorang lelaki paruh baya yang mengamen dengan sedikit memaksa seperti orang gila, hanya bermodalkan suling kemudian meniupnya barang lima belas detik lantas berdiri dan melototi toko lebih dari sepuluh menit, para karyawan terkadang sembunyi-sembunyi karena takut, kalau jujur Hermann juga takut, tapi tak baik bagi seorang lelaki memperlihatkan ketakutannya di depan publik apalagi di depan perempuan, maka sering Hermann berbalik melotot, kadang orang gila itu yang kalah tanpa basa basi langsung pergi, atau sering juga Hermann yang terpaksa mengalah dengan memberi urang recehan lima ratus perak, setelah itu datang seorang perempuan, berumuran tiga puluh tahun, ini murni orang gila, dia tidak meminta-minta, hanya saja melototi toko lebih dari lima belas menit, ini malah lebih mengkhawatirkan sebab Hermann bingung apa sebenarnya yang dia inginkan?

Menjelang malam, giliran berbincang dengan tukang parkir, mas Gatot dan tukang becak yang sok pinter, sok menganalisis, sok berpinsip, sok ideologis, sok filosofis, sok kritis, … pokoknya, menurut Hermann sok abis! Omongannya selalu ruwet, ribet; nanyain proses pembukuan di toko-lah, sistem administrasi yang di gunakan tentang bagaimana keluar-masuk uang, nanyain bagaimana kalau Hermann pergi mudik; toko tutup atau tidak, kalau karyawan tidak masuk; apa gajinya di potong atau tidak? Tukang becak itu selalu berpetuah kalau percaya sama karyawan itu jangan seratus persen. Hermann mendadak pusing kalau dengar tukang becak itu mulai bicara. Kadang Hermann pikir dia sinting. Atau mungkin kesamber jin ting-ting.

Pernah suatu malam, kebetulan saat itu suasana hati Hermann sedang tidak karuan, tukang becak itu berkicau tentang tata cara izin kerja para karyawan di perusahaan Hermann bekerja. Biasanya sih Hermann tidak menanggapinya dengan serius. Tapi kali ini Hermann sedikit terganggu, karena niatnya nongkrong di pinggir jalan buat merenung, bukan berdebat dengan seseorang yang mengira dirinya tukang tenung (ya, tukang beca itu, tuan).

Malam itu, Hermann kepikiran buat menanyakan perihal kehidupan rumah tangganya, karena setiap kali di tanya penghasilan, tukang becak itu menjawab seenaknya saja; apa mungkin penghasilan sepuluh ribu sehari mencukupi kebutuhan rumah tangga? Bagi Hermann itu tidak masuk di akal, apa ada seorang perempuan yang kuat menanggung derita ekonomi seperti itu, di zaman seperti sekarang ini? Hermann ragu.

Hermann juga tahu, kalau tukang beca itu sudah bercerai dan sekarang ia tinggal dengan anak perempuannya yang baru satu bulan menikah. Jadi memang, anggapan bahwa uang sepuluh ribu hasil dari menarik becak bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, itu bisa saja benar. Soalnya dia tidak mempunyai tanggungan. Lha anak, perempuannya sudah menikah. Suaminya yang menanggung kebutuhan hidupnya. Jadi tukang becak itu memang hidup sendiri. Tidak membayar kontrakkan rumah, sebab rumah yang didiami adalah warisan dari orang tuanya, paling membayar listrik, dan itu satu bulan sekali tidak setiap hari (emang mau makan nasi dengan listrik? Tuan ini ada-ada saja), paling besar mungkin seratus ribu. Seperti yang di beritakan tukang becak itu kepada Hermann pada malam-malam sebelumnya.

Nah, yang mengusik pikiran Hermann adalah; mengapa ia sampai bercerai? Jangan-jangan istrinya tidak kuat dengan penghasilan sepuluh ribu sehari itu? Dan celakanya ketika Hermann menanyakan hal itu, dengan sangat retoris, tukang becak itu menjawab; “mungkin sudah umurnya, kali?”.

Tentu saja Hermann tidak puas dengan jawaban itu, Hermann terus mengejarnya. “Maksudnya gimana?” tanya Hermann. Tukang beca itu menjawab bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tak ada yang abadi, seperti lirik lagu sebuah group band yang sebentar lagi ganti nama dan tambah personil. Kemudian tukang becak itu menambahkan, bahwa segala sesuatu di dunia ini memang ada ‘umur’nya. Terhadap dua pendapat yang di kemukakan tukang becak ini, Hermann tentu saja sepakat, namun ada yang rancu pada jalan pikiran tukang becak ini, pikir Hermann.

Lha, memang segala sesuatu itu ada ‘umur’nya tapi masa ‘umur’ bisa membuat sebuah bangunan pernikahan bisa bercerai? Apa yang dimaksud dengan ‘umur’ oleh tukang beca ini? Hermann mendadak berubah menjadi Ahmad Deedat tokoh yang jago debat. Hermann sudah melihat di tv-tv bagaimana Dewi Sandra dan Surya Saputra bercerai, kemudian Dewi Sandra nikah lagi dengan Glenn Freddly dan bercerai lagi, Ariel Peterpan dan Sarah Amelia, Dewi Perssik dan Saeful Jamil, Tamara Blezinsky dan Teuku Raffly, Okkie Agustin dan Pasha Ungu, Alice Norin dan Dj Riri, Tora Sudiro dan Anggie, Cici Paramida dan Ahmad Suhaebi sampai pasangan Anang Hermansyah dan Krisdayanti, tapi tak sedikitpun mereka mengatakan alasan perceraian karena ‘umur’? Paling banter karena orang ketiga, ketidak cocokan dan alasan klasik lainnya.

Sungguh naïf! Pikir Hermann. Tapi tukang becak itu tidak merasa alasannya itu naïf dan tidak masuk akal. Lurus-lurus saja malah sangat optimis dengan alasannya itu, sangat percaya diri dengan argumentasinya itu. Melihat tukang becak sedang di atas awan, Hermann iseng bertanya

“bisa ya mas? Umur membuat orang bercerai?”
“ya bisa lah, orang duduk saja bisa tiba-tiba mati?” jawab tukang becak itu.
“lho maksudnya gimana mas?” tanya Hermann seketika.
“ya karena memang sudah ‘umur’ nya mati, ya mati, mau apa lagi?”

Lagi-lagi ‘umur’, pikir Hermann. “oh gitu ya? Tanpa sebab mas?” tanya Hermann menjebak. Tukang becak mulai kelihatan bingung. Mungkin dia sadar ucapannya itu salah, namun tetap saja dia tak mau mengalah, pelbagai macam apologi dia keluarkan. Tentu saja Hermann semakin asyik membawa tukang becak itu dalam permainannya. Di selang itu Hermann jadi teringat romantika masa lalu sewaktu menjadi mahasiswa dulu, hanya satu kekuatan yang membuat Hermann bisa mematahkan lawan debatnya; kejujuran. Bukan retorika dan logika, yang Hermann pedulikan adalah kejujuran. Hermann pikir dua formula itu, yakni retorika dan logika, adalah sebuah kendaraan untuk menyampaikan kejujuran. Itulah intinya, kerangka berpikir bagaimanapun bentuknya adalah sebuah kendaraan yang sejatinya akan mengantarkan pemakainya pada kejujuran.

Dalam pikiran Hermann tukang becak ini seperti sedang menyembunyikan sesuatu tetapi dia tidak mau mengakuinya. Maka dalam rangka memberi pelajaran kepada tukang becak itu, Hermann kemudian berkata “mas, menurutku, tidak ada orang yang mati karena sudah ‘umur’nya. Memang benar, orang mati itu karena umurnya sudah habis, tetapi mesti ada penyebabnya lho mas. Misalnya, seperti yang mas katakana tadi, ada orang yang sedang duduk-duduk kemudian mati! Ada penyebabnya… ” sengaja Hermann menggantungkan bicaranya, menunggu respon tukang becak itu.

Hermann melanjutkan “nyawanya di cabut mas, itu penyebabnya” mendengar perkataan ini, tukang becak itu terkejut; “oh iya”

“trus kalau dalam kasus mas nya bercerai, menurutku juga ada penyebabnya, tidak sekonyong-konyong kemudian bercerai, betul kan? Aku kira ‘umur’ bukan penyebab yang pasti kenapa mas dengan istrinya bercerai, apa itu? aku juga tidak tahu, hanya mas dan istrinya yang tau, trus menurutku mengapa masnya bilang sudah ‘umur’ kali, itu karena mas nya tidak mau jujur yang secara tidak langsung mas juga mengelak dari kebenaran, kenapa mas mengelak dari kebenaran dan tidak mau jujur?” Hermann tersenyum, “karena malu mas, malu mengakuinya. Itu saja. Heheh”

Mendengar penjelasan Hermann, tukang becak itu terpengkur, sementara mas Gatot yang duduk di bangku paling ujung mengangguk-angguk tersenyum.

Berbeda dengan tukang becak, kepribadian mas Gatot sangat top! Mas Gatot adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat bertanggung jawab sekaligus seorang bapak yang sangat haibat. Hermann yakin akan hal itu. Anaknya tujuh. Perihal anak, ada peristiwa lucu di balik ketujuh anaknya itu. Jadi ceritanya mas Gatot dan istrinya kepengen anak pertamanya lelaki, namun ternyata Tuhan lagi-lagi punya sifat humoris yang sangat biologis, malah memberinya anak perempuan. Mas Gatot, yang memang sudah memiliki sifat juang dan tempur yang sangat tinggi tak pantang menyerah yang di warisi dari kakeknya, kemudian mencoba lagi, setiap kali hendak “memproduksi” atau di tengah-tengah “proses produksi” mas Gatot selalu bilang sama istrinya; “wong lanang ya bu”, istrinya menjawab sembari terengah-engah entah kecapean atau kenikmatan; “nggih pa…”

Namun sial! Anak keduanya juga sama; perempuan. Sampai anak kelima, semuanya sama perempuan. Hingga akhirnya, seperti halnya nabi Ibrahim, perjuangan mas Gatot mendapat perhatian serius juga dari Tuhan; anak keenamnya laki-laki. Kakeknya, yakni bapaknya mas Gatot, mendengar kabar mendapatkan cucu laki-laki, girangnya alang kepalang, sampai rela menjual becaknya buat tasyakuran cucunya itu. Ketika bertemu dengan mas Gatot, sembari menepuk pundaknya dengan bangga dia bilang “perjuanganmu ‘membuahkan’ hasil nak?”.

Hermann terpingkal-pingkal mendengar cerita ini dari mas Gatot, apalagi ketika adegan menepuk pundak. Hermann jadi teringat film Gladiator ketika Maxim Maximus memenangkan peperangan dan mendapat pujian dari raja Marcus Aurellius.

Mas Gatot memang memiliki cara yang sangat unik dan antik dalam memandang kehidupan ini. Pagi hari sampai siang mas Gatot bekerja sebagai tukang angkat angkut di sebuah toko telor, tidak jauh dari tokonya Hermann, sore sampai malamnya sekira jam Sembilan mas Gatot menjadi tukang parkir, mencari penghasilan tambahan.

“berat sih berat, tapi mau bagaimana lagi, anak-anak kan perlu makan, saya kepengen mereka sekolah ya setidaknya sampai SMA, jangan kaya bapaknya ini” ungkap mas Gatot kepada Hermann.

Setengah jam setelah mas Gatot pulang, Hermann kemudian menutup toko, memimpin do’a, setelah itu karyawan pulang, Hermann di tinggal sendirian di toko hanya kesepian yang menemani, menonton tv, atau berselancar di internet memainkan wayang dengan akun Kh Drs Godot Bennington dalam sandiwara pesbuk atau terkadang langsung tidur. Besoknya bangun, dan melakukan hal yang serupa.

Itu-itu saja.

***

Tapi tidak hari ini tuan, Hermann tidak melakukan semua aktivitas itu; tidak ngobrol dengan Mas Maman, Mas Gatot, tukang becak, melihat pengemis, pengamen, memimpin doa, membeli mie ke toko si ‘Nci, melihat si ‘Ngko dan lain sebagainya. Karena Hermann mudik, pulang kampung ke Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar