Surat ke 2 dari Godot ke Maman Gorky


Maman, ini surat kedua yang kukirimkan padamu.

Setadinya aku akan belajar bersabar menunggu balasan darimu, namun nampaknya hatiku semakin gusar. Entah mengapa, segala sesuatunya kini kelihatan samar. Pudar. Sementara kamu bagaikan sampar, cepat menular. Lambat laun aku juga kebagian perangaimu yang sangar.

Seperti halnya yang kau lakukan dulu pada supir angkot itu, gara-gara uang lima ratus perak kamu nekad berkelahi dengannya.
“bang, kurang” bentak supir angkot.

Aku tahu waktu itu kamu memang sedang kalut. Itulah kekuranganmu, Maman. Kamu tidak bisa menyembunyikan emosi. Wajahmu sangat kusut. Semrawut. Sengkarut.

Dewa Ares mungkin meniup ubun-ubunmu waktu itu, sehingga ketika sopir itu menanyakan kekurangan ongkos, kamu semamput di buatnya.

Dengan ketus, kamu bilang “biasa bang”

Sialnya lagi, si sopir batak itu malah tidak mau menginjak pedal gasnya. Padahal itu perkara uang lima ratus perak. Tidak banyak. Sepele. Remeh temeh. Tapi entah mengapa, uang lima ratus itu malah seperti sumbu api yang menaikan tensi emosi masing-masing.

Maman, kamu kira sopir angkot itu tidak bakal memerkarakan hal itu, lantas kamu nyelonong pergi beberapa langkah di depan angkot itu. Eh ternyata, bagi sopir batak itu, kamu telah berbuat sesuatu yang lancang! Karena kalau dibiarkan, pikir sopir batak itu, semua penumpang akan melakukan hal yang sama; biasa aja ketika ongkosnya kurang.

“Ini tidak bisa dibiarkan”, pikir sopir itu.

Maka dia berhenti tepat di depanmu, tanpa tedeng aling-aling, membunyikan klakson yang sangat nyaring. Bising. Para penumpang sangat khawatir dengan keadaan yang meruncing. Raut muka kamu serta merta berubah jadi Anjing, Serigala, Gagak, Elang. Pokoknya sesuatu yang sangat garang.

“bos,masih kurang” gertak sopir batak itu sembari keluar dari angkotnya.

Haibatnya, raut wajahmu tidak kelihatan gentar. Sopir itu nyalang, kamu malah menantang. Entah apa yang ada dalam pikiranmu pada waktu itu Maman? Hanya satu kata mutiara yang keluar dari mulut tipismu itu

; “anjing!”

Dan seperti yang sudah dapat di tebak, kamu akhirnya berkelahi dengan sopir batak itu.

Hihihi, tentu saja kamu kalah, kena bogem mentah sopir batak yang sudah terasah dari satu wajah ke wajah lainnya. Dengan sekali pukul kamu terjungkal, tapi anehnya dengan secepat kilat, tanganmu mengepal. Tapi kamu tidak melawan. Kamu malah mendekatinya dengan cepat, tepat di depan wajahnya, kamu berteriak lantang;

“hayoooo, pukul lagi!!”

Si batak itu memukulmu lagi Maman, lagi, lagi, lagi dan lagi. Sampai akhirnya penumpang dan masyarakat sekitar melerai perkelahian itu. Tetapi kamu tetap saja berteriak lantang.

“hayoooo, pukul lagi!!”. Tanpa melawan

Kamu memang sakit Maman, seorang pesakitan!


***

Seperti halnya sopir batak itu, yang memukulimu hingga hidung, mulutmu berdarah, dan pipimu bengkak. Kamu juga pernah melakukan hal yang serupa, Maman. Ingat?

Amun, senior kita di pesantren yang saban pagi hari suka mengganggu ketenangan tidur kita untuk melaksanakan sholat shubuh.

Amun memang memiliki watak yang jelek Maman, aku dan para santri juga mengakui hal itu. Dia seperti setan kalau membangunkan orang.

Suatu hari, mungkin kesabaranmu habis. Tapi itu salah kamu sendiri, semua orang sudah tidur kamu malah terus membaca. Hingga akhirnya kamu tidur jam tiga sedangkan shubuh waktu itu jam empat lebih tiga puluh menit. Dan seperti biasanya, Amun suka membangunkan setengah jam sebelum adzan shubuh berkumandang. Jadi kalau dihitung-hitung kamu hanya tidur sejam malam itu.

Amun, memang selalu mempunyai cara yang unik dan sedikit primitif dalam membangunkan kita. Malam itu metode yang dilakukan Amun sebetulnya biasa, menggebrak pintu kamar dengan keras. Namun karena mata kamu baru saja di pejam, hal itu membuat kamu kaget bukan kepalang, seperti di datangi iblis menagih hutang.

Pagi itu, aku bisa melihat raut kekesalan di wajahmu, namun kamu tak bereaksi apa-apa. Tidak seperti biasanya. Kamu langsung pergi ke kamar mandi. Tapi, anehnya, beberapa saat kemudian aku dan teman-teman lainnya tak menemukan kamu di kelas buat kuliah pagi. Dan seperti sudah janjian, Amun juga tidak hadir di kuliah pagi itu. Soalnya kebetulan pada pagi itu, Amun kebagian tugas menerjemahkan ayat-ayat perang.

Siangnya kebenaran itu baru terbongkar, setelah Amun dengan wajah bengap menghadap ke Mudir ‘Am. Melapor bahwa kamu telah memukulinya di kamar mandi.

Sampai sekarang aku tak habis pikir, kok bisa-bisanya kamu setelah memukuli Amun kemudian tidur lagi.

Kamu memang sakit Maman, seorang pesakitan!

***

Tapi, itulah yang aku dan teman-teman yang lain sukai dari mu. Sifat menantang marabahaya, hidup menyerempet malapetaka.

Kamu seperti tidak takut mati, hidup seenak hati. Sungguh aku baru menemukan orang yang berperangai seperti mu. Seperti yang menyesal hidup sekaligus mencintainya sampai mati.

“Amorfati!”

Bentakmu, mengajarkanku tentang sebuah prinsip menjalani hidup. Kamu mengoceh tak karuan. Tentang dewa-dewa yunani, falsafah romawi, metafisika humanisti, …

Ah, kadang aku berpikir kamu tidak hidup disini, tapi di sana, bersama mantra-mantra kehidupan yang susah untuk di terapkan oleh orang awam seperti kita semua.

Maman, kamulah satu-satunya orang yang paling aku banggakan. Sungguh aku merindukanmu dengan sangat. Ah Maman…, malam mulai pekat. Aku ngantuk berat. Besok aku mesti kerja seperti biasa, menggurat hari tanpa kalimat. Pekerjaanku memang melipat-lipat. Tak seperti kamu Maman, memegang nasib dengan sendiri. Nasibku selalu di tentukan orang lain.

Maman, aku ingin mengutip sajak kesukaanmu, yang sering kau gumamkan selayak dzikir di tengah malam.

Bukan maksudku mau berbagi nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing…



Kemana kau Maman?




Sekian saudaramu

________________________________________________

Surat ke 2 dari Godot Bennington ke Maman Gorky







0 komentar:

Posting Komentar