Surat Godot ke Maman Gorky

Salam, …

Maman, bagaimana kabarmu sekarang?...

“Dunia ini makin pengap dan sintingsaja!” itu katamu—yang paling membekas dalam ingatanku—sembari membanting pintu pergi meninggalkan aku, ibu, bapak, kita, mereka dan dia.

Dengan cara yang sangat sarkas kamu meninggalkan semua-muanya; pekerjaanmu, rumahmu, motormu, komputer pentium tiga yang kamu dapatkan dengan cara sedikit memaksa pada bapak.

Hei, bahkan buku-buku yang sempat kamu agung-agungkan dulu itu juga kau tinggalkan? Sebenarnya apa yang mengganjal dalam pikiranmu Maman pada waktu itu?

Kalau hendak meninggalkan hidup, lebih baik kamu cabut nyawa saja, tak usah repot-repot pergi ke suatu tempat, yang entah ada di mana, untuk menanggalkan kehidupan lama memulai kehidupan baru.
Apakah kamu hendak mengamalkan konsep hijrah yang pernah menjadi senjata kita bersama buat mematahkan argumen seorang kiayi di kampung dulu? Kalau benar, mulia sekali dirimu Maman? Sekalipun dengan cara yang sedikit aneh.

Dan kamu memang orang yang aneh, Maman. Freak!

Tapi tak apa-apa, Maman. Kadang dalam hidup ini memang kita memerlukan seseorang yang aneh, seseorang yang berperilaku seperti kamu. Itulah mengapa Tuhan menciptakan iblis, supaya kehidupan itu stabil, ajeg. Bukankah, kamu yang pernah mengatakan padaku dulu, bahwa keajegan itu bukan berarti tidak ada sesuatu yang boyak dan koyak di dalamnya.

Dengan gaya seorang demonstran, tangan kanan mengacung ke depan seperti Soekarno sementara tangan kirimu mengapit buku--“Les Misêrables” karya Victor Hugo—layaknya Che Ghuevara, kamu berkata;

“Stabilitas itu di bangun dari Chaos! Camkan itu teman-teman!”


***


Pada saat itu aku berpikir, kamu seperti orang gila! Totalitas edan. Karena kamu mengatakan itu di depan jalan, ketika kita ngopi bersama, bahkan si pemilik warung juga kaget mendengar hal itu, dia malah berbisik pada istrinya;

“wah bu, ini pertanda”

“pertanda apa, pa?” istrinya bertanya keheranan

“ya pertanda, kopi, bala-bala, bubur kacang ijo, mi rebus gak bakalan di bayar lagi seperti tempo hari”

Si istri hanya bisa menghelas nafas dalam-dalam, mengelus dada, pasrah.

“hmmmm, anak-anak sekarang, ya pa, pikirannya hebat-hebat, ada aja alasan buat nge-bon”

“iya bu, bapak jadi curiga, jangan-jangan alasan ini mereka pelajari di perkuliahan”

“betul pa, coba cek sama bapak ke dosen yang sering makan disini”

“itulah bu, bapak nggak bisa ngecek?”

“kenapa? Lama kelamaan, modal kita kan bisa habis”

“dosen itu juga sering ngebon?”

“haduh, ibu jadi takut, apa mungkin anak-anak muda ini adalah intel dari Departemen kesehatan pak”

“ah tidak mungkin, bu”

“lha itu tadi dia bilang masalah ‘saos’ pa?”

“bukan bu, mereka sedang merundingkan bikin ‘kaos’! Sudahlah ibu jangan su’udzon mendingan kita berdoa saja supaya kali ini jangan nge-bon”

“iya pa”

***


Tapi setelah aku mendapat kuliah tentang revolusi Perancis dan membaca novel yang kau apit itu. Perkataanmu itu ada benarnya, sekalipun kamu memandangnya dengan cara yang sangat tidak wajar.

Sungguh aku kangen sekali dengan mu Maman, aku kangen ucapan-ucapanmu yang liar penuh kelakar, vandal namun sakral, kecut namun terurut. Aku rindukan kamu Maman, seorang yang mempunyai sikap menantang hidup namun Tuhan selalu berada di setiap degupan jantungmu.

Maman, kemana kau sekarang ini?...

Ingatkah kau bahwa aku sempat iri karena ketampananmu melebihi ketampananku, kamu juga pintar menggambar ketimbang diriku. Hahahahah, ah Maman, itu romansa masa muda kita. Main video game, belajar merokok, mengintip orang mandi, bertengkar karena hal sepele, memamerkan baju baru pada hari raya, bolos sekolah bareng.

Haha, kamu ingat Maman? Meutia? Perempuan paling cantik di sekolah kita, yang orang Padang itu. Hanya untuk melihat celana dalam merah muda dan paha putihnya, kamu rela membeli es campur dan martabak sampai sepuluh kali.

Hahaha. Gelak tawaku tidak bisa tertahan ketika kamu tergopoh-gopoh meminjam uang untuk membayar tukang es campur dan martabak itu.

“ini kesempatan yang sangat langka, Ip. Tidak akan datang dua kali” katamu pada waktu itu.

Aku tidak tahan geli mendengar alasan itu. Dan kini, aku juga jadi menyesal tidak ikut melihatnya. Hihihi.

Kamu memang tengik Maman, namun sangat cerdik. Kamu itu sporadis, namun romantis.
Hah, Maman, Maman, .. Lagamu itu bohemian abis.

Satu lagi, kamu ingat ustad Dahlan, imam mesjid yang ada di asrama kita. Dengan dalih menyelamatkan umat, kamu berani mencuri al Quran besar yang sering di baca beliau ketika mengimami sholat.

“hal ini tidak boleh terus di biarkan Ip, dalam hadist sudah di katakan bukan dengan jelas dan terang, bahwa bacaan surat dalam sholat itu jangan yang panjang-panjang, mesti mempertimbangkan makmun, takut-takut ada yang sudah renta” katamu ketika merencanakan pencurian itu.

Aku pikir itu cuma lelucon saja. Eh selang dua hari setelah kamu membicarakan hal itu. Ustad Dahlan datang ke asrama, bertanya sambil kelihatan bingung

“masa ada yang nyuri al Qur’an, di mesjid”

“al Qur’an yang mana ‘stad?” tanyamu polos,

“itu yang di tempat imam, yang biasa Ustad baca buat mengimami sholat”

“oh, … aneh-aneh saja ya ‘stad?” jawabmu, sambil membawa handuk ke kamar mandi.

Sementara semua-mua santri tertawa geli melihat beliau termenung seorang diri, seperti kehilangan jati diri.

Walhasil, selama dua minggu, bacaannya Qul ya dan Qulhu, … hihi.

Tapi haibatnya lagi, semenjak kejadian kehilangan al Qur’an itu, ada sebuah perubahan besar-besaran di mesjid, terutama dalam mekanisme pemilihan imam Mesjid. Dan subhanaloh, akhirnya anak-anak muda seperti Yusmansyah, Supriatna, Sonjaya, Kurniawan sampai aku sendiri pernah merasakan menjadi imam.

Dan anehnya lagi, kamu selalu saja bisa lolos dari jebakan kami, para santri untuk menjadi imam.
Hingga akhirnya kami sepakat berhenti menjadikanmu imam, ketika kamu berbicara dengan keras di depan kelas ketika mempresentasikan makalahmu yang berjudul “Menelanjangi Makna Ustad; sebuah Tinjauan Geneaologis”

“ustad yang berbicara melulu tentang akhirat itu bangsat!” begitu serapahmu.

Kami tersentak mendengarnya, kata-katamu selalu saja mendesak. Tidak hanya di otak, namun juga di benak, sumpah! Jantung kami mendadak bengkak.

***


Maman, dari seseorang yang tidak kukenal pula, aku mendapatkan alamat ini.
Apa sebenarnya mau mu Maman? Menghilang dari peredaran.

Kau seperti mati, tenggelam di telan bumi, di rampas langit, disekap udara, cuaca, awan, bintang gemintang, dan masa. Dimanakah kamu bersembunyi.

Hmmm, sekian dulu dariku, segeralah jawab suratku ini.

Wasalam, saudaramu,









___________________________________________________

Surat ke 1 dari Godot Bennington ke Maman Gorky

0 komentar:

Posting Komentar