Memenuhi Panggilan; Khalifatullah

Memenuhi Panggilan; Khalifatullah


Sebuah pencarian adalah proses untuk menemukan tugas penciptaan. Tak ada yang baru di bawah matahari. Tak ada yang sia-sia di dunia ini. Semua makhluk mempunyai tugas penciptaan. Bagi Kierkegaard setiap manusia memiliki satu panggilan. Dan panggilan dari penciptaan manusia adalah menjadi “delegasi” Tuhan di bumi. Sebagai khalifatullah.

Letupan pemikiran mengenai khalifatullah selalu menarik perhatian para pemikir. Gagasan ini sangat dekat dengan ide pencarian jati diri yang selalu menjadi diskursus tersendiri dalam setiap bidang kajian. Para sufi mengkonseptualisasikan pemikiran ini dalam bentuk gagasan insan kamil. Sementara itu para pemikir modern (baca; barat) mencerminkan gugusannya pada ide ubermancsh, manusia yang berseksistensi penuh. Iqbal menerjemahkan khalifatullah sebagai co-creator dengan Allah sebagai Creatornya yang kemudian lebih dikenal dengan istilah khudi.
Serpihan pemikiran ini menjadi tema sentral dalam aliran filsafat eksistensialisme.

Permasalahan yang diangkat, dalam aliran filsafat ini, sangatlah mendasar seperti siapa, apa, bagaimana, dan kenapa kita ada di bumi atau hidup? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kadangkala meresahkan umat manusia sehingga terlupakan atau sengaja dilupakan.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata ‘Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau’ Tuhan berfirman ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”(al Baqarah; 30).

Menurut ayat tersebut, hendaknya diingat bahwa kita adalah utusan Allah, wakil Tuhan bukan wakil iblis, raja setan.

Tapi sayangnya tidak semua manusia menyadari akan tugas dari penciptaannya. Karena iblis tak pernah tinggal diam dan selalu berusaha menggagalkan manusia yang ingin menuntaskan takdir penciptaannya; menjadi khalifatullah fil ard. Dalam hal ini Allah pun, tidak sekonyong menjadikan manusia sebagai khalifah tanpa disertai dengan potensi. Terusan dari ayat yang telah disebutkan dimuka melanjutkan “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!.

Mereka menjawab “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (al Baqarah; 31-32). Dan dipertegas dengan ayat lain yang memerintahkan malaikat sujud kepada Nabi Adam. Terlebih lagi manusia disebutkan sebagai makhluk sebaik-baiknya bentuk; laqod kholaqna fi ahsani taqwim.

Pertanyaannya; apakah benar manusia tidak menyadari akan ke-khalifahannya?
Tiap jam, tiap menit bahkan dalam hitungan detik. Berapa banyak kejahatan terjadi; pemerkosaan dimana-mana, perampokan terus menggerus, korupsi merajalela, dilain pihak berapa banyak anak-anak yang putus sekolah karena keluarganya tidak mampu membiayai, busung lapar terus menggerogoti, penggusuran rumah liar menjadi fenomena tersendiri. Kenapa ini mesti terjadi?

Terlepas dari faktor lain yang menjadi penyebab, jelaslah bahwa manusia tidak menyadari bahwa dirinya sebagai khalifatullah. Sebab seorang khalifah tidak akan pernah membuat kerusakan; membunuh, merampok, korupsi, memperkosa jelas-jelas bukan sifat dari seorang khalifatullah. Perilaku seorang khalifatullah, mestinya bisa mencerminkan nama-nama Allah di dunia. Delegasi Tuhan seharusnya menjadi seseorang yang membawa rahmatan lil alamiin.

Pada posisi ini, sesungguhnya manusia seharusnya menjadi rahmat bukan malah menjadi laknat. Khalifah berperan aktif dalam pengembangan dan pengelolaan bumi, bukan perusak.
Lantas, kenapa manusia banyak yang tidak menyadari akan tugas penciptaannya sebagai khalifah? Jelas, manusia lupa akan tugasnya, namun kenapa bisa lupa?.

Syahdan, hiduplah seorang pemuda desa yang kaya mendadak karena mendapatkan emas batangan sewaktu mencangkul di sawah. Kehidupannya pun berubah seratus persen. Segala kebiasaannya di desa perlahan berubah. Mulai dari mencangkul sawah sampai rutinitas sehari-hari. Sekarang jadilah ia pemuda modern. Dengan gaya kehidupan yang modern pula.

Hingga pada suatu ketika, uangnya habis, tabungannya ludes karena harinya hanya diisi untuk mencoba hal-hal yang baru tanpa ada pertimbangan ke depan. Pemuda bingung, tak ada pilihan lain kecuali kembali ke tempat asalnya yakni desa. Mencangkul sawah. Namun pada satu pagi, hari pertama ketika dia sudah tinggal di desa, dia kebelet mau buang air besar.

Tetapi sialnya, ketika sudah berada di wc, ia tidak tahu cara buang air besar. Ia lupa; bagaimana caranya buang air besar di desa. Karena cara buang air besar dengan kloset duduk, di kota, sudah mendarah daging sehingga ia lupa bagaimana cara buang air besar di desa dengan kloset jongkok. Setelah beberapa hari kemudian barulah ia bisa buang hajat.

Meski terkesan janggal, tetapi cerita diatas bisa dijadikan gambaran kenapa orang bisa lupa akan tugasnya sebagai seorang khalifah. Apakah manusia tahu bahwa dirinya seorang khalifatullah? Manusia tahu itu. Lantas, kenapa manusia lupa? Sebab manusia tidak terbiasa dengan predikat itu. Kenapa manusia tidak terbiasa? Goethe menyebutkan “sebagaimana seorang anak dengan tetek ibu. Mulanya tidak begitu saja dia mau. Tapi segera dia mengisi perutnya penuh nafsu. Begitulah kamu akan menyusu kepada kebijakan, makin hari makin terangsang”.

Pada asalnya manusia menyadari akan tugasnya itu sebagai seorang khalifah. Setelah manusia lahir ke dunia maka lambat laun ia mulai lupa tujuan dan tempat asalnya.

Anggaplah dunia ini sebagai kota metropolitan yang membuai dan menyajikan segala kemudahan hidup ketimbang di desa. Kota telah menggerus pemahaman manusia akan makna hidup. Perkembangan teknologi, internet, realitas virtual dan cyberspace telah membawa perubahan besar dan mendasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala global. Perkembangan dunia baru tersebut telah mengubah pengertian kita tentang masyarakat, komunitas, komunikasi, interaksi sosial, serta budaya.

Realitas sosial budaya yang ada mendapat tandingan simulasinya. Orang bilang sekarang adalah abad millenium. Media massa mengambil peran lebih dalam kehidupan dan nyawanya ada pada televisi. Televisilah yang paling ampuh dan jitu untuk menyampaikan pesan. Seluruh pandangan hidup dan citra sepenuhnya berkiblat pada televisi. Instan, sederhana, tanpa pikir panjang. Umar Kayam menyebutkan kondisi ini dengan identitas urban, cocok untuk mereka yang malas berpikir.

Betapa berpengaruhnya tayangan-tayangan televisi sehingga bisa membentuk identitas dan citra diri seseorang. Pesan-pesan yang disuguhkannya tak ubahnya dengan fastfood. Cepat dilahap namun cepat pula terlupakan, tanpa meninggalkan kesan yang mendalam. Dalam bahasa Hannah Arendt hal ini disebut dengan budaya sembako. Sekali telan, sekali pakai lalu habis dan keharusan untuk membeli lagi nilai-nilai yang baru.

Televisi merepresentasikan dunia ilusi, halusinasi, fantasi yang tumpang tindih dengan dunia realitas sehingga di antara keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Mana yang nyata dan mana yang maya. Kenyataan dan khayalan menjadi tumpang tindih. Tak bisa dibedakan satu sama lain. Semuanya kini melebur menjadi peristiwa sehari-hari yang benar-benar nyata.

Miskin nilai spiritual. Kalaupun ada, malah melenceng kedalam hal yang berbau mitis. Sebuah citra semu akan dianggap lebih nyata dari kenyataannya. Membuat mereka akan lebih sering menciptakan makna hidup sendiri dalam aktivitas yang menyimpang seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme, seks bebas, pemberontakan tanpa tujuan, penyalahgunaan obat ataupun tindak kekerasan.

Semuanya hanya mementingkan kemasan luar tanpa mempertimbangkan isi. Manusia telah terperangkap kedalam “ekstasi media”. Orang hanyut di dalam pengembaraan ilusi, angan-angan, khayal dan tidak mampu lagi mengaitkan pengembaraan tersebut dengan eksistensi sosial mereka, dengan tujuan hidup mereka, dengan pandangan hidup mereka.

Dalam keadaan inilah manusia mengalami keterasingan jati diri sebab merasa bingung, hampa, kering, tak tahu apa yang harus dilakukan. Lambat laun lupa akan identitas kedirianya. Sekarang kita tidak punya waktu untuk memecahkan persoalan-persoalan moralitas, kerahasian, identitas personal bahkan prospek perubahan mendasar pada sifat manusia.

Teknologi pada akhirnya menjauhkan manusia dari tatanan moral, norma, dan aturan sosial yang telah disepakati berabad-abad. Manusia menjadi lupa akan identitas ke-khalifahannya. Manusia menjadi tercerabut dari akar sejarah eksistensinya. Bingung. Akhirnya tersesat dalam dirinya sendiri.

Selain hal yang telah dikemukakan di muka, manusia sekarang lebih dekat dengan konsep abid, yang melulu mementingkan kehidupan “nanti” (bukan berarti menafikan) tanpa melihat tetangga yang kekurangan, daripada konsep khalifah. Masyarakat lebih mengutamakan beribadah haji ketimbang membantu anak-anak yang busung lapar, putus sekolah dan berbagai permasalahan melilit lainya. Sehingga lupa bahwa dia harus menjadi perintis jalan dari berbagai aspek kehidupan untuk mencapai rahmatan lil alamiin.

Perubahan konsepsi inilah yang dikehendaki untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Tanpa ada yang harus didahulukan dan dikesampingkan konsepsi abid dan khalifah harusnya selaras. Seimbang. Kesalehan individual seharusnya bisa bergaris lurus dengan kesalehan social.

Di lain pihak kita tidak terbiasa menganggap diri kita sebagai khalifah?Atau kita belum sadar bahwa kita ini adalah wakil Tuhan di dunia?. Akhdiat K Mihardja mengatakan kalau tidak sadar akan tugasnya sebagai khalifah maka silahkan minggir! Ucapan yang terkesan sarcastic, tetapi memang pada kenyataanya, kalau di bumi ini bukan wakil Tuhan yang memimpin maka akan timbul kerusakan, kesengsaraan, kesesatan dan berbagai kepedihan lainya. Kalau kita bukan wakil Tuhan lantas siapakah itu?

Dengan memahami tugas kita di bumi semoga bisa mengurangi berbagai macam kesengsaraan, kesenjangan kejahatan bangsa yang sedang terpuruk oleh berbagai macam krisis. Pula, itulah mengapa al Qur’an juga disebut sebagai ad Dzikra. Pengingat. Untuk mengingatkan kita ada sesuatu yang lebih penting dari yang penting. Ada yang lebih berarti daripada kemasan luar. Bukan siapa tapi apa.

Dengan perantara Nabi dan pewarisnya kita diingatkan, dibawa dari kegelapan, kejahiliyahan. Para ustadz, kiyai, santri, alim ulama tak bosan-bosan menyeru manusia kembali ke jalan lurus.“ Bangunlah, lalu beri peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah.” (al Mudatsir 2-3) Semoga saja penyerunya tidak lupa akan ke-khalifahannya.

Wallahu ‘alam Bis Showab

0 komentar:

Posting Komentar