KEBINGUNGAN MAKMUN



Namanya Syukron Makmun. Mas Makmun masih kelihatan merenung di dalam kamarnya. Tentunya dia bukan sedang kebingungan oleh jeratan hutang yang melilit dan membelenggunya. Sebab mas Makmun tidak seperti ibu pertiwi kita ini, setiap kali pohon waktu melorotkan daun detiknya maka suara jatuhnya itu serta merta berubah menjadi dentuman jantung atau hentakan bom atom yang siap meledak dan menghancurkan jasadnya sendiri, persis amoeba yang membelahi dirinya sendiri untuk bertahan hidup.

Uraian air mata tersekap dalam keheningan malam tak pernah terberitakan apa yang dideritanya, sebab kini air mata tak berfungsi apa-apa lagi. Air mata tak akan pernah mengabarkan cerita, tawa tak membisikkan lagi ceria, dan hati tak tahu sedang merasa derita atau suka. Semuanya telah diredam dalam kamuflase bejat dan jahanam retorika.

Mas Makmun masih menunjukkan kebingungan di dalam kamarnya. Tentunya dia bukan sedang merasakan rasa sakit perutnya itu yang pernah dahulu menggagahinya selama setahun lebih sehingga dia harus mengeluarkan uang berjuta-juta, menjual tanah berhektar-hektar hanya sekedar untuk bisa buang air besar.

Aib kalau orang lain sampai tahu bahwa mas Makmun pengusaha terpandang di jawa timur pernah menderita ambeyen kronis sampai satu bulan tak pernah merasakan nikmat dan tenangnya buang air besar. Bisa dibayangkan seberapa besar kotoran yang berdomisili di dalam perutnya itu.

Sekarang mas Makmun sudah terbebas dan sembuh dari penyakit memalukannya itu, berarti ada sesuatu yang dipikirkannya bukan urusan hutang dan juga bukan soal penyakit ambeyennya itu.

Lantas apa yang dipikirkannya? Saya sebagai seorang pengarang tentu bisa saja menceritakan apa yang sedang dipikirkan dan dibingungkan mas Makmun kepada anda, sebab pengarang seperti Tuhan mengetahui apa saja dan menentukan bagaimana saja sekehendak hati. Oleh karena itu banyak lowongan profesi pengarang diisi oleh orang-orang gila, stress, psikopat, schizophrenia, pengangguran dan lain sebagainya.

Tetapi untungnya saya bukan salah satu diantara mereka. Anda beruntung bisa mendapatkan pengarang seperti saya yang bisa menceritakan peristiwa selogis, serasional dan seobjektif mungkin. Oleh karena itu akan saya tanyakan langsung kepada orangnya, yaitu mas Makmun.



“Mas, ono opo tokh? Kok kelihatan bingung kaya gitu kaya orang gebleg aja, awas nanti kesambar setan, kesurupan. Apalagi sekarang setan itu mata duitan mas, jadi senang kalau ngeliat orang kaya sedang bingung seperti mas ini, bisa dimanfaatin apa saja.” 
“woss, kok kamu ini ngomongnya ngawur kaya gitu!? Pake ngomong setan mata duitan, masa setan pilih-pilih mau samber orang?”
“iyalah mas! Mas ini kaya raya kok katro! Ketinggalan zaman! Sekarang ‘kan setan juga menganut prinsip efektivitas sama efisiensi”
“walah…!! Makin ngawur saja kamu! Masa setan kenal sama prinsip efektivitas sama efisiensi, emang setan bisa baca buku?!”
“lho kok mas ngomong kaya gitu, emang manusia saja yang bisa berpikir, setan nggak, Gitu? Dari mana mas tahu kalau setan nggak bisa baca buku?”
“ya… nggak masuk akal saja kalau setan bisa baca buku ”
“emang, kalau setan nggak bisa baca buku masuk akal gitu?”
“ ya sih.. memang, mas belum bisa mastiin kalau setan nggak bisa baca buku tetapi kamu juga ‘kan nggak bisa mastiin kalau setan bisa baca buku? Kalau dua-duanya nggak pasti maka buat apa ngeributin yang belum pasti”
“ … ya buat cari kepastian mas?”
“kamu ini, ada aja alasannya.. bikinin kopi, mas mau ngopi”
“kalo begitu, mas itu nggak pluralis.. “
“walah.. kamu ada-ada saja! Makanya jangan terlalu banyak baca buku filsafat! Jadinya kaya gini, ngomong ngelantur kaya orang stress macam si Plato, si Immanuel Kant, si apa lagi itu yang jelek.. “
“Socrates..”
“ya si idung jelek! Jangan di dengerin, mereka itu orang gila, cuman mereka nggak mau ngaku diri gila maka mereka mengaku jadi filsof”
“ kalau mereka sebenarnya orang gila.. lalu siapa yang disebut filsof”
“ya… mas juga nggak tahu ”
“ emang siapa sih mas, yang nentuin orang ini disebut filsof orang ini bukan?”
“kalau itu… ya… mas juga nggak tahu..”
“ kalau yang nentuin orang ini gila dan orang ini waras, siapa?”
“ nah! Kalau itu mas tahu!”
“siapa?”
“pegawai rumah sakit jiwa”
“kalau gitu saya mau pergi”
“mau kemana kamu ?”
“mau ke rumah sakit jiwa terdekat”
“mau ngapain?”
“mau tanya apa si plato, si Immanuel Kant itu gila atau tidak?”
“ya, sana tanyain..!”
“saya pergi dulu ya mas..”
“hei.. sebelum kamu pergi, sekalian tanyain apa setan bisa baca buku atau tidak? Barangkali pegawai rumah sakit jiwa tahu, dan suruh si Parjo bikinin kopi dulu buat mas”
“inggih, mas”


***

Pagi berikutnya, mas Makmun tercenung sendirian belum bisa beranjak pergi ke kantor, masih ada beban berat yang tak hendak melepaskan mas Makmun, beban itu seperti terus menggelayuti di pundaknya, meranggas lewat kedua tangannya dan mengakar ke dua kakinya. Kaki mas Makmun tak bisa bergerak, karena beban itu terlanjur tertancap dikakinya.

Tiiit.. suara hanphone mas Makmun bersuara.

“ya.. kenapa mas paijo?”
“begini mas Makmun, soal neng siti..” jawab paijo
“tolonglah mas Makmun beritahu dia, soalnya ini menyangkut nyawa perusahaan, kalau bukan mas Makmun siapa lagi yang dekat dengannya. Saya nggak tega mengambil tindakan sebelum ada seseorang yang bisa memberitahunya. Soalnya siti teman baik saya juga tokh?”
“iya.. sudah saya usahakan mas, tapi aku juga heran kenapa neng siti belum bisa ngerti..”
Awan menguap, mentari memberikan cahaya sembari itu diam-diam mas Makmun kentut. Dan tiba-tiba istrinya datang
“ kalau kentut, ya bilang-bilang tokh mas.. ‘kan kentut bukan perkara criminal atau tindakan illegal bisa minta izin dulu.”
“ ya.. siapa suruh kamu datang ke kamar pas saya lagi kentut, seharusnya kamu ‘kan yang minta izin masuk kamar, ketuk dulu kek apa susahnya?”
“lha, ini kamar saya juga tokh mas? Buat apa saya minta izin kalau mau masuk ke kamar sendiri? Kalau kamar orang lain baru saya minta izin”
“lha, kamu juga ‘kan istri saya sendiri, buat apa saya minta izin untuk kentut? Kalau kamu istri orang lain baru saya minta izin”
“dasar lelaki, maunya menang sendiri”
“dasar perempuan, maunya menang keroyokan”
“udah tokh mas, jangan diperpanjang. Ini sarapan dulu.. siapa yang tadi telpon mas. Kok serius amat?”
“mas paijo..”
“ada urusan apa mas paijo udah nelpon pagi-pagi..”
“rumit mbak yu..”
“sebelah mana rumitnya, lha wong belum dikasih tahu udah bilang rumit..”
“begini, bagaimana perasaan kamu kalau ada yang ngasih tahu bahwasanya saya ini koruptor, atau paling tidak banyak kejelekannya”
“ya.. yang saya kenal ‘kan mas Makmun bukan koruptor, gak ada kejelekannya. Pokoknya mas Makmun sempurna”
“bagaimana kalau kata orang saya ini orang bejat”
“nggak akan percaya”
“kalau benar, bahwa saya ini bejat? Bagaimana? Apakah kamu akan mengakui kebejatan saya”
“tidaklah mas! Saya ini ‘kan istri mas. Mana mungkin istri sendiri ngejelek-jelekin suami?”
“meskipun suaminya itu memang benar-benar jelek?!?”
“gini mas, misalnya anak kita itu, si Samson. Meskipun jeleknya kaya setan, tapi tetap kita akan mengatakan bahwa dia ganteng, tampan dan sebagainya sebab dia anak kita”
“Apakah karena dia anak kita maka akan merubah yang asalnya jelek jadi tampan? Bagi mas kalau dia jelek ya bilangin aja jelek kalau tampan ya bilang kalau dia tampan”
“iya.. maksud ibu, bukan berarti dengan mengatakan dia tampan menjadikan dia tampan yang tadinya jelek. Jelek sih jelek, tapi coba kang mas pikirkan, apakah kita akan tega mengatakan kepada anak kita bahwa dia jelek? Padahal kita adalah orang tuanya sendiri? Segalak-galaknya harimau tidak bakalan memangsa anaknya sendiri”
“ iya sih bu, tapi apakah itu baik buat pendidikan anak?”
“ nggak apa-apa mas, wong kadang kala hidup itu perlu diisi dengan rentetan kebohongan”


***

Pagi selanjutnya,

“apakah memang benar yang dikatakan istriku kemarin ya? Bahwa kadang kala hidup dijalani dengan rentetan kebohongan? Ah.. masa iya sih! Kalau bisa jujur kenapa kita mesti berbohong?”

Sebagai pengarang, saya bisa saja mengatakan kepada anda, kenapa mas makmun mesti berbohong tetapi untuk menjaga kemisteriusan sebuah cerita dan menjaga etika seorang pengarang maka sengaja kupotong cerita ini sampai disini.


0 komentar:

Posting Komentar