Aku Mencintaimu, Anjing…!!




Apakah mencinta mesti objektif? Apakah dalam mencinta objektifitas menjadi salah satu pertimbangan atau tidak? Orang yang mempertanyakan hal ini mungkin terdengar konyol, akan tetapi lebih konyol dan goblog lagi orang yang mencinta tanpa mengetahui kenapa ia mencinta.

Paling tidak orang yang mengetahui lebih tinggi derajatnya ketimbang orang yang tidak mengetahui, Giddens menamakan hal itu dengan kesadaran reflektif. Kesadaran reflektif bisa diartikan dengan seseorang yang awas terhadap tindakan yang dilakukannya sekalipun salah, atau dianggap salah oleh orang lain. Karena tak jarang kita menemukan sesuatu yang salah bukan karena hal itu salah pada dirinya sendiri tetapi disalahkan oleh orang lain. Kesadaran reflektif adalah kesadaran seseorang terhadap perilakunya; kenapa ia melakukan tindakan ini dan tidak itu.

Pertanyaan itu kemudian mengantarkan saya kepada beberapa pengetahuan bahwa ternyata saya ini mungkin juga termasuk anda ternyata sudah terlalu banyak mengetahui arti cinta tetapi tak pernah belajar bagaimana mencinta. Bagi saya, cinta dan mencinta adalah dua hal yang berbeda, sekalipun tetap sama-sama aktivitas emotif.

Pada tahap ini saya akan kemudian menyinggung tentang cinta. Hemat saya, Basi! membicarakan cinta pada tataran definitif; apa itu arti cinta. Mungkin definisi yang saya berikan malah menambah ricuh pemahaman bukannya kejelasan makna cinta itu sendiri. Maka saya berani mengatakan bahwa kita sudahi saja definisi cinta pada ungkapan Khalil Gibran, Maulana Rumi dan pujangga-pujangga cinta lainnya. Kendati demikian perlu saya tegaskan bahwa cinta yang saya maksudkan pada tulisan ini bukanlah cinta platonic. Akan tetapi cinta yang sangat sederhana. Cinta yang saya maksudkan pada tulisan ini adalah ketertarikan terhadap lawan jenis, dengan berbagai macam problematika dan konsekuensinya.

Tesis saya; cinta bisa juga objektif, maksud saya, kenapa kita tidak berusaha mencinta seseorang seobjektif mungkin. Objektif dalam arti sederhana adalah sesuai objek, kalau objek itu jelek maka putusan objektifnya mesti jelek bukan bagus atau lumayan. Bagus, atau lumayan adalah ungkapan subjektif manakala objek itu jelek. Karena putusan itu berasal dari diri bukan dari objek itu sendiri. Kenapa tidak kita biarkan objek berbicara dirinya sendiri kepada kita.

Tetangga kita menyebut bahwa anak kita bandel, dan ternyata pada kenyataannya memang anak kita bandelnya minta ampun. Putusan objektif adalah dengan mengatakan bahwa anak kita bandel, titik. Tak ada apologi lainnya. Akan tetapi hal seperti itu jarang kita lakukan, termasuk saya. Sekalipun adik kita bandel kita akan mengatakan kepada orang lain adik kita itu tidak bandel, atau paling tidak, kita akan menyanggah orang lain yang mengatakan adik kita bandel.

Kenapa hal itu bisa terjadi, pernyataannya adalah; dalam urusan yang terkait dengan emosi kadangkala objektifitas kita dipertanyakan. Karena itu adalah adik kita maka salahpun kita bela, sebab itu adik kita! misalnya. Dalam pepatah bahasa sunda kita dengar ungkapan misalnya, buruk-buruk papan jati. Hade goreng oge dulur sorangan. Baik buruk tokh itu keluarga kita juga. Memang ia masih keluarga kita, tetapi apakah dengan alasan itu maka menjadi sahlah buat kita untuk menyebutkan kalau dia tidak bersalah sekalipun telah membunuh orang, masih kita bingung kenapa ia dikucilkan di masyarakatnya padahal sudah jelas ia korupsi. Keterkaitan emosi ini, termasuk cinta di dalamnya akan mengaburkan objektifitas kita dalam menilai. Maka disebutlah bahwa cinta itu buta, karena tidak bisa melihat siapa-siapa selain kekasihnya, nah bagus kalau kekasihnya baik, kalau koruptor bagaimana? Masih mau menutupi kesalahannya? Karena alasan cinta?

Sebetulnya, apa sih yang menghalangi kita untuk menilai secara objektif; pertama, keterkaitan emosi, putusan ketika diberikan kepada seseorang yang memiliki keterkaitan emosi maka objektifitas akan hilang. Misalnya seorang kekasih yang memiliki kekasih yang sudah terbukti penjilat, koruptor, bejat dan lainnya maka dia tidak akan serta merta memberikan penilaian yang sama seperti yang diberikan orang lain terhadap kekasihnya, sebab emosi yang dinamakan cinta hal yang lainnya telah menghalangi dirinya untuk bersikap secara objektif.

Kedua, kepentingan, objektifitas tidak ada artinya manakala seseorang sudah memiliki kepentingan terhadap sesuatu. Ketiga, keterbukaan, keterbukaan inheren di dalamnya kejujuran, tak ada kejujuran maka sudah dipastikan sikap terbuka akan sulit dilakukan, kejujuran mutlak keberadaannya untuk memastikan adanya sikap terbuka.

Dalam hal mencinta semuanya kabur, bahkan objektifitas kadang kala tak terperhatikan. Memang pada dasarnya satu pasangan idealnya adalah menutupi aibnya masing-masing akan tetapi hal ini bukan untuk meligitimasi untuk tidak mengakui kekurangan satu sama lain.

Kalau kita mencintai anjing, terimalah bahwa dia adalah anjing yang bukan manusia. Anjing yang tidak akan pernah sama dengan manusia. Anjing yang tetap anjing dengan kebiasaan air ludahnya yang meliur, MENJILAT, menggonggong dan lain sebagainya.

Susahnya kita mencintai anjing tetapi menganggapnya seperti manusia ‘kan jadi repot! Akhirnya kita bingung, kenapa orang lain tidak mau dekat-dekat jalan bareng dengan kita. siapa yang mesti bingung?!
Akhirnya mencinta tidak akan sama dengan cinta. Cinta yang pada dirinya sendiri selalu tersimpan keluhuran dan keagungan nilai, tetapi mencinta tidak selamanya bisa seperti itu. Dalam hal mencinta kadang kala kita menaruh kepentingan, kemunafikan, kebosanan, ketulusan dan lain sebagainya.

Mencinta adalah menjaga hubungan cinta satu sama lain bisa erat, tentunya bukan dengan kebohongan, karena apalah artinya menjalin cinta kalau hendak menyusurinya dengan aliran sungai kebohongan, kepura-puraan. Cinta memang tak terdefinisi, tak terjamah bahkan kadang entah, tetapi mencinta adalah aktivitas, adalah sikap. Dan sikap tergantung setiap individu, semoga kita bisa mencinta dengan lebih jujur tanpa penjilatan! Karena hidup bukan untuk dijalani dengan kebohongan..

-untuk teman yang bertanya;
“kenapa mereka mengucilkannya”-

0 komentar:

Posting Komentar