Kartini, Korespondensi Mendobrak Tirani!





Mengenang Kartini berarti mengenang perjuangan sesosok perempuan lokal melawan tirani budaya yang feodalistis, tiranik dan hegemonis. Mengenang Kartini juga mengingatkan sejumput cita kesetaraan laki-laki dan perempuan. Tapi, sementara kita memperingati Kartini, ironinya masih saja terlihat penindasan terhadap kaum perempuan di mana-mana—entah karena kurang menghayati atau karena memang “kita sudah terbiasa melakukannya”—entahlah.



Mimpi Kartini adalah bangsa yang besar, gemah ripah loh jinawi. Bangsa yang sejahtera, rakyat hidup sentosa. Penguasanya adil, tidak diskriminatif. Tak ada lagi yang tidak mengenyam pendidikan. Bangsa dewasa, tidak berpikir picik, licik, gegabah. Dewasa artinya tidak anarkis, egois, dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat bukan malah menyengsarakan. Dewasa juga berarti tak mudah terpikat dengan iming-iming sementara; tidak suka berebut kuasa sampai harus menghalalkan segala cara. Bangsa dewasa adalah bangsa yang beradab.

Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, tanggal 21 April 1879, adalah keturunan ningrat Jawa. Ayahnya bernama R.M.A.A Sosroningrat seorang wedana di Mayong, ibunya bernama M.A. Ngasirah. Namun dikarenakan peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan, maka maka ayah kandung Kartini menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.

Dikarenakan keturunan seorang bangsawan Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) sampai usianya menginjak dua belas tahun, setelah itu—sesuai dengan adat tradisi Jawa pada waktu itu— Kartini harus tinggal di rumah, dipingit.

Dengan bekalnya sewaktu sekolah di ELS, maka ia mulai belajar sendiri dirumah dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, Rosa Abendanon.

Dari buku-buku, koran-koran (salah satunya De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, Leestrommel) majalah wanita belanda (De Hollandsche Lelie) Kartini kemudian tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa dan timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Sebelum usianya menginjak dua puluh tahun kartini telah membaca buku Max Havelaar, Van Eeden, Augusta de Witt, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Pada tanggal 12 November 1903 Kartini, berdasarkan titah kedua orang tuanya, menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.

Sekitar 1904, tanggal 13 September Kartini melahirkan anak pertama sekaligus anak terakhirnya yang ia beri nama RM Soesalit. Beberapa hari kemudian pada tanggal 17 September 1904 Kartini meninggal pada usia 25 tahun kemudian dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon teman korespondesinya, mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Kemudian buku itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan pada 1911. Sedangkan versi bahasa Inggrisnya, diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.

Pada 1922 Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran diterbitkan oleh Balai Pustaka yang diterjemahkan, salah satunya oleh, Armijn Pane.

Tahun 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya yakni dalam bentuk roman kehidupan perempuan.

Hasil korespondensi Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno dengan versi lengkap Door Duisternis Tot Licht yang diterbitkan pada tahun 1979 dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Akhir tahun 1987 terbit buku yang berjudul “Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme; Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903” karangan Sulastin Sutrisno yang kemudian memberi gambaran baru tentang Kartini, lewat surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya yang sama sekali belum pernah dimuat dalam Door Duisternis Tot Licht.

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 yang diterjemahkan oleh Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon melainkan juga seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri. Pada buku terjemahan Joost Coté ini bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon.

Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.

Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, dengan bukunya Panggil Aku Kartini Saja, lebih memusatkan pada pemikiran Kartini yang merupakan hasil pelacakan dan pengumpulan data dari berbagai sumber.

Kini, Kartini boleh saja mati, tapi semangatnya akan tetap terus hidup di jiwa-jiwa manusia (laki-laki atau perempuan) yang tak rela hidup dalam tirani, yang menginginkan bangsa beradab tercipta.

(penulis adalah penggiat Sosial dan alumni Pesantren Luhur PWM Jabar angkatan I)

0 komentar:

Posting Komentar