Film Indonesia, Faina Tadzhabun?





Tanggal 30 Maret, tepat di peringati hari perfilman nasional. Pada tahun 1950 Usmar Ismail membuat film The Long March (Darah dan Do’a) yang kemudian hari pertama pengambilan gambarnya diusulkan menjadi hari film nasional, dengan alasan bahwa film yang berjudul Darah dan Do’a ini seratus persen asli Indonesia, dari mulai pendanaan sampai ide ceritanya.



Indonesia memang bukan Holywood yang menjadi kiblat perfilman dunia namun industri perfilman di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan mulai banyaknya institusi kesenian yang menaruh perhatian pada perfilman, komunitas film lokal, festival-festival film yang sering diadakan tingkat nasional maupun lokal, acting course, menjamurnya media televisi serta—dengan nada satir kita harus mengatakan—VCD dan DVD bajakan (betapapun tidak dapat dilegitimasi dan ditolerir keberadaannya namun diakui ataupun tidak, memiliki andil dalam akselerasi distribusi film mengingat tidak semua warga Indonesia mampu membeli VCD dan DVD asli).

Namun, hebat dalam kuantitas bukan berarti diiringi dengan kualitas yang semakin menguat. Kondisi perfilman di Indonesia bisa dibilang “angin-anginan”. Pada tahun 1994-1998, seperti yang dilaporkan oleh Ariani Darmawan pendiri Kineruku Production Bandung, banyak produksi film yang berkutat seputar tema dewasa dan esek-esek. Kemudian disusul dengan tema mistis dan horror yang dibuka oleh film Jelangkung setelah itu dapat ditebak bermunculanlah judul film yang serupa. Tetapi di atas semuanya itu tema cinta tetap menjadi pilihan utama.

Film dan Keterlibatan Sosial

Sesungguhnya film bukan hanya sebatas hiburan belaka melainkan lebih dari itu, meminjam istilah JB. Kristanto, film adalah sejenis “kesenian” yang bisa menjadi “replika kehidupan”. Oleh karena itu pada tataran eksistensialnya film, sebagaimana karya-karya seni lainnya, memiliki misi suci yang diemban yakni memanusiakan manusia.

Film adalah sebuah jeda yang diharapkan bisa menggedor kesadaran manusia dalam menjalani relung hidupnya. Untuk memenuhi tujuan itu maka film mesti melibatkan diskursus realitas sosial yang nyata dalam kehidupan sehari-hari hal ini diniscayakan pula oleh kehidupan dan sejarah idealisme sebuah karya seni.

Maka idealnya, seorang seniman dalam mencipta karya atau para sineas dalam menciptakan film mesti berlandaskan pada fakta-fakta sosial yang terjadi di masyarakat. Sehingga proses penciptaan tidak lebih menekankan pada sisi imajinasi tetapi sekaligus mengkritisi realitas sosial yang sedang terjadi. Dengan demikian ada tuntutan moral yang seharusnya diemban oleh seorang seniman dalam mencipta sebuah karya. Sehingga karya yang diciptakannya tidak a sosial dan a historis.

Dengan demikian film bukan hanya sekedar eskapisme penonton dari kejemuan hidup sehari-hari. Agar “menghibur”, misalnya, film harus disederhanakan; tak boleh membuat penonton berpikir; kalau bisa, banyak menyentuh tombol-tombol emosi paling dasar (ngeri, tegang, senang, gembira, takut) dengan formula-formula yang sudah baku. Potensi film untuk “menghibur” akal budi penonton, dengan mengajak penonton memikirkan sebuah masalah hidup, misalnya, cenderung direduksi dan diabaikan.

Namun celakanya, film-film berkualitas yang mengajak penonton memikirkan sebuah masalah hidup kebanyakan muncul dari luar mainstream yakni film indie yang bermodalkan pas-pasan, sebut saja Kuldesak, Beth. Ada satu dan beberapa judul dari film nasional (baca; film Indonesia arus utama) memunculkan film-film yang masih bisa dihitung memiliki daya kritis dan mendidik seperti film Gie, Naga Bonar 2, Ayat-Ayat Cinta, selebihnya dapat ditebak sendiri.

Yang paling kuat bertahan adalah yang memiliki banyak modal sehingga dapat dipastikan atmosfer perfilman banyak dihuni oleh “pemuas pasar” yang memproduksi film-film eskapis dan ekstasis bukan “penguat sadar” yang menghasilkan kesadaran kritis.

Dengan demikian nyatalah perkataan Jean-Luc Goddard—salah seorang tokoh film diskursif yang mengatakan secara terbuka—bahwa film itu bergantung pada kapitalisme dalam pertama, pembuatan film dan kedua “bahwa uang kembali dalam bentuk gambar”. Dengan dua persoalan ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah; siapakah yang berbicara dalam gambar? Sistemlah yang menentukan, kata Adorno, “bahwa tatanan uang menentukan tatanan gambar” (Lash, 2004; 194).

Dengan keterkaitannya terhadap kapitalisme ini maka film yang tadinya memiliki kemampuan untuk meneriakkan “suara kemanusiaan” serta merta berubah menjadi “suara pesanan” pemilik modal. Maka di atas semuanya, hakikat film bukanlah alat hiburan semata melainkan ikon kritis seni pada abad modern. Seharusnya demikian.

Maka film Indonesia, (mau kemana) faina tadzhabun?

Wallahu ‘lam bis showab.



*Penulis adalah penggemar Film

0 komentar:

Posting Komentar