Melipat Mimpi





Aku kira, memang dia tidak akan menghubungiku lagi. Biasanya satu hari atau pada hari yang tidak bisa ditebak dan ditentukan, dia akan menghubungiku sekedar “say hello” atau menanyakan apa yang sedang ku kerjakan. Kini sudah beberapa hari ini aku alpa mengenainya.

Tak apalah. Di satu sisi aku senang juga kalau dia tidak menghubungiku lagi. Tetapi di sisi lain, ini terkait dengan kebiasaan, aku kangen juga dengan keberadaannya yang selalu menanyakan kabarku.

Ah!


Dia akan menikah pada bulan Agustus nanti. Oleh karena itu, banyak hal negatif yang bakal terjadi kalau aku masih menjalin hubungan yang beralamat asmara dengannya. Tokh aku dan dia sudah sama-sama memiliki pasangan, lagi pula salah satu dari kami tak ada niatan untuk melakukan praktek selingkuh seperti yang dilakukan teman saya; Chandra Konstantin.

Ya setidaknya itulah yang ada dalam benak setiap teman-temannya sekaligus teman-temanku sewaktu Pesantren dulu. Sebab aku pernah punya cerita asmara dengannya. Dia adalah masa laluku, dan kukira akan tetap begitu, menjadi masa lalu. Aku tak berniat menjadikannya sebagai masa depan, sebab aku telah mempunyai perempuan yang kujadikan sebagai karang asmara masa depan. Dialah dia, perempuan yang bermata jelita, hening yang terhuni di dalamnya.

Kukira aku sanggup mati untuknya.

Ah!

Waktu, masa lalu, masa depan, masa kini. Apa yang kita pahami soal waktu? Kusangka banyak, namun buktinya? Tak ada. Sekalipun kita hidup di masa sekarang tapi kadang-kadang jasad kita terbang ke masa depan. Tapi ada juga sebaliknya, benak dan pikiran kita di rebut oleh masa silam, sekalipun sebenarnya kita hidup di masa sekarang. Cerita tentang temanku ini misalnya.


***


Namanya Helena Puspita, teman semasa di Pesantren dulu biasa memanggilnya Cici, entah dari mana teman-temanku mendapatkan nama Cici itu, yang jelas ketika aku menemukan Helena dia sudah bernama Cici. Dan aku tak pernah mengungkit perkara nama itu padanya, juga pada teman-temanku.

Malam itu, gerimis mengundang teman-temannya, jadilah hujan yang cukup lebat. Kota Bandung sungguh sedang diguyur hujan. Sebagian orang banyak menghabiskan waktunya berada di ruang, menghangatkan tubuh, minum kopi hangat, ditemani cemilan, bersama orang yang dikasihi.

Tapi Helena tidak melakukan itu, sekalipun ia sedang di Bandung. Dia malah berlari-lari di tengah deras hujan. Air hujan itu, sudah layaknya air mata yang sedang dikulum Helena; memuntahkan berjuta ekspresi emosinya.

“huh?! Tak biasanya malam ini hujan, kalau begini persiapan bawa payung deh” hujat Helena dalam hati.

Matanya nanar menatap ke depan, namun tak ada satupun dari tatapannya itu yang sejurus dengan hati dan pikirannya. Karena tubuh dan ruh Helena kini sedang memandu dirinya sendiri-sendiri. Jasad dan pikiran Helena sedang tak akrab. Kali ini mereka tak bersahabat.

Untunglah tempat kosan Helena tak begitu jauh dari tempat sekarang Helena berteduh. Hingga beberapa saat kemudian dia sudah kelihatan berada di depan pintu kosan-nya.

Dibukanya pintu itu, perasaan hampa tiba-tiba menyerubunginya kembali. Kejadian di warnet itu tak mungkin bisa begitu saja mudah dilupakan, selama kurang lebih tujuh tahun ia mempupuk perasaan itu di ladang asmaranya, kini dengan sekejap mata hama kekecewaan memaksa dirinya untuk memanen dengan segera.

Tiba-tiba Helena tak ingin bertemu siapapun.

“dari mana Ci?” tanya teman sekamarnya.
“dari warnet,” jawab Cici sekenanya.

Tanpa menghiraukan teman yang bertanya sedang keheranan, Helena langsung masuk ke kamarnya. Dengan lunglai ia menutup tungkai pintu dan menguncinya dari dalam. Matanya sayu memancarkan kristal air mata yang membisikkan perihal kekecewaan, harapan, jawaban dan kesedihan. Air mata yang di tahannya sedari tadi dari warnet kini berhamburan keluar tak keruan dan meneriakkan beberapa asumsi serta argumentasi tentang kenyataan hidup yang begitu pahit.

Hanya air mata yang benar-benar menemaninya ketika dilanda duka. Dimana teman, dimana orang tua bahkan dimana Tuhan? Entahlah. Karena memang Dia-lah yang Maha Entah.

Kamarnya sangat luas dan khas perempuan, sekalipun dia banyak bergaul dengan lelaki tetapi dia tetap perempuan dan tubuh yang membalut ruhnya itu tetaplah perempuan, sekalipun Helena banyak membicarakan tentang kesetaraan gender, tetapi dia tetaplah perempuan. Helena memang perempuan.

Kalaulah dinding-dinding itu bisa bersuara, mereka akan menyanyikan himne sendu kepada dewa Agape, Erros dan Letto.

“dimanakah Cupid anakmu? Coba lesatkan panah cinta pada laki-laki nun jauh di sana itu” seru kasur yang kini bertatapan langsung dengan Helena yang diam membisu tepat di depannya.

“kenapa dia?” tanya sarung bantal ke guling.

“gak tau” jawab guling.

“kalau dilihat dari raut mukanya, … pasti judul skripsinya di tolak lagi, ehmmm, sebentar bukankah kita sering melihat raut muka majikan kita seperti itu” timpal gantungan kunci.

“tidak, ini beda. Ini lebih dahsyat ketimbang masalah yang dihadapi majikan kita kemarin” sarung bantal menegaskan.

“aku jadi prihatin kepada majikan kita yang sering di timpa masalah ini” lirih guling sembari berguling-guling.

“ya” jawab gantungan kunci mengiyakan.

Lantas guling, kasur, gantungan kunci, sarung bantal, cucian, meja, lemari, sprei, gorden semua barang mati yang berada di dalam kamar Helena berjejer, merapat membuat satu barisan jadi sepasukan koor menyanyikan kidung sendu yang mendayu-dayu, di iringi dengan alunan musik yang berasal dari rintik hujan, sementara tangis Helena yang tertahan jadi penentu not dasar.


***


Lama terdiam, membujur kaku, dia merasakan gejolak hasrat di dalam jiwanya, bergemuruh saling meluruh, bersahutan saling mencari jawaban, bergejolak saling mengelak. Perang emosi dalam hati. Tak lama kemudian Helena menjatuhkan diri di atas kasur dan melelapkan dirinya dalam tidur.

Perlahan Helena menutup matanya, yang bisa dia pandangi hanya kegelapan. Kemudian dia serasa memasuki lorong hitam, labirin-labirin yang tak bertuan dan tak berakhir. Dia sungguh-sungguh lelap dalam tidur yang sayup dan senyap. Dalam labirin pekat tadi ia menemukan sebongkah cahaya, dia menemukan secercah matari.

Pada mulanya hanya sebuah titik, lalu melebar, terus melebar. Akhirnya titik-titik itu menebar gambar-gambar, mengeluarkan suara-suara, menyusun alur lantas berkumpul dan membentuk satu kesatuan; sebuah kenyataan di alam mimpi.


“dimana aku?” gumam Helena.

Helena melihat ke sekeliling, mencoba mengenali tempat barunya singgah.

“sudah matikah aku? Apakah ini yang disebut dengan akhirat. Ah rasa-rasanya bukan? Masa di akhirat ada warung, ada?” Helena kaget.

“hei! Ada teman-temanku semasa di pesantren dulu, ih… ada juga diriku?”

“hah?!? dimanakah ini? Apa yang terjadi denganku? Bukankah ini adalah pesantren, lihat itu asrama perempuan? Warung ibu Ade, Hei ada Nia?” dia menjadi sangat kebingungan.

Berlari-lari. Menyalami setiap orang yang dia temukan di dalam kenyataan di alam mimpi. Berteriak-teriak. Namun tak satupun dari mereka yang mendengar termasuk dirinya sendiri yang masih berumur tujuh belas atau sekira delapan belasan.

Helena bertemu dengan dirinya sendiri di masa lalu. Tetapi seperti halnya melihat film, Helena hanya bisa menyaksikan pelbagai peristiwa yang terjadi pada dirinya tujuh silam, tanpa sedikitpun bisa berinteraksi dengannya. Ya, Helena hanya bisa menontonnya.

“oh itukan aku?” gumam Helena. Lantas Helena mengikuti dirinya sendiri. “Hmmm malunya, betapa malunya aku melihat diriku sendiri seperti itu. Hei betapa gendutnya aku pada waktu itu”

Helena Asli mengikuti Helena yang ada di alam mimpi. Helena Mimpi kemudian keluar kelas berjalan-jalan dan bertemu seseorang yang menggetarkan jiwa dadanya, dialah yang bernama Mohammad Syaffa.

Helena Mimpi terpaku, bisu, pipinya merah padam, seperti seseorang yang berusaha memendam sesuatu yang dalam jauh di lubuk hatinya, meronta-ronta memaksa untuk keluar.

“ah, Syaffa…” gumam Helena Mimpi

Helena Asli terhenyak, mata Helena Asli terbuka. Kamar kembali bercahaya. Akhirnya Helena Asli menyadari bahwa semua yang dilihatnya barusan adalah mimpi. Karena ia sadar bahwa dirinya baru pulang dari warnet. Kegelisahan Helena mulai reda.

Mata Helena Asli kembali terpejam.


***


Kini Helena Asli melihat Helena Mimpi sedang menulis buku harian, menuliskan tentang perasaannya pada seseorang yang telah lama ia sukai. Dia melihat dirinya sendiri, dengan penuh harap Helena menuliskan untaian kata sanjung dan puji serta cinta kepada lelaki itu.

Namun kalaulah Helena Asli diperkenankan untuk merubah, dia akan memarahi Helena Mimpi, kira-kira begini perkataan Helena Asli pada Helena Mimpi,

“Jangan, jangan sampai kamu mencintainya” teriaknya seperti menyoraki jagoan dalam film, dan mengetahui akhir jalan ceritanya.

“kamu akan menyesalinya nanti!” lanjutnya.

“aku sudah tahu!” ia berusaha menghentikan dirinya yang sedang menulis, mengambil buku hariannya. Tapi apa lacur, sebab di alam mimpi ini, Helena Asli hanyalah seberkas bayangan yang tak berjasad.

Tapi siapa yang bisa membendung cinta yang sudah menjalar dalam tubuh seseorang. Siapa yang bisa menolak cinta yang sudah terhunjam pada dada seseorang. Tak ada! Cinta seperti halnya maut, tidak bisa dihentikan atau di dahulukan. Ya kalaulah kita bisa mengontrol perasaan kita, mungkin Helena tidak akan mengalami hal yang buruk seperti yang dialaminya sekarang.

Helena akhirnya jatuh hati total, pada laki-laki yang bernama Mohammad Syaffa. Helena sangat mengaguminya, dia merasa bahwa Syaffa adalah lelaki yang paling unggul di dunia ini, lainnya tidak. Syaffa-lah lelaki idaman hidupnya.


***


Mimpinya itu kini membawa Helena ke masa-masa perkuliahan, hanya sekilas saja mimpi itu mempertontonkan dirinya sendiri yang sedang mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, kemudian menjalani semester satu, dua, tiga, empat, KKN sampai saat menyusun tugas akhir skripsi.

Namun untuk urusan asmara, dalam hati Helena tetap Syaffa yang jadi primadona. Perasaan cintanya yang tulus, murni dan ikhlas ini lamat-lamat berubah menjadi liar, tak terkendali jadi perasaan yang sangat obsesif. Namun itu sungguh kejadian yang sangat lazim, setiap orang bisa saja gila karena cinta, bukankah cinta adalah sebentuk egoisme yang di perluas.

Dunia kini terbalik, bukan Majnun yang memiliki cinta dan kerinduan yang bisu tetapi Laila yang ramai-ramai meneriakkan rasa rindu dan cintanya. Kini Helena menjadi pecinta gila dengan hasrat untuk memiliki yang sangat.

Dalam ‘mimpi’ ini, Helena kemudian bermimpi bahwa Syaffa akan bersanding dengan dirinya, meski ragu tetapi keraguan Helena itu bisa sekejap dihapus dengan argumentasi masokhis dan pelbagai macam imajinasi platonik lainnya.

Semakin menderita, semakin cinta dia, semakin berduka semakin berbahagia dia. Helena malah bersuka meratapi bangunan penderitaan yang sejatinya dibangun oleh dirinya sendiri. Benar kata orang, “love a sweet torment”, cinta adalah penderitaan yang indah sekaligus menyenangkan! Sekalipun menderita tetapi untuk yang dicintai, kita rela menderita sejuta kali lebih berat, sejuta kali lebih sunyi, sejuta kali lebih sepi bahkan sejuta kali lebih dahsyat!

Namun, kebenaran ungkapan itu diragukan dan ditentang oleh ungkapan lain, “we know nothing about love”. Sesungguhnya dengan berjilid-jilid sajak, esai, roman, tragedi dan berjuta-juta puisi tetap saja yang kita ketahui hanya ‘nothing’ soal cinta. Sebab cinta adalah perasaan, bukan pengetahuan.

Perasaan ini sejurus dengan pengungkapan dan pada akhirnya, boleh aku katakan, cinta hanyalah masalah ungkap mengungkapkan. Dan pengungkapan hanya masalah keberanian. Sebab ketika cinta sudah mengetahui tubuhnya maka serta merta ia akan berubah menjadi keberanian menghadapi kenyataan hidup.

Dalam hidup cinta hanya sebatas komponen seperti halnya komponen-komponen lainnya, yang tidak bisa sempurna tanpa di lengkapi dengan komponen lainnya. Kalaulah memang benar cinta adalah segalanya dalam hidup, mengapa tidak ada satu surat pun yang khusus membahas tentang cinta?

Tapi peduli apa tentang diskursus cinta, yang Helena tahu bahwa dia mencintai lelaki itu. Dan menyimpannya dalam dada begitu menyiksa sekaligus bahagia. Cinta yang dipendamnya itu terus mengakar hingga berumur tujuh tahun.

Sampai saat sekarang, pada masa perkuliahannya hendak usai. Cinta itu masih tertanam rapi dalam dadanya. Dia terus rela menunggunya.

Hingga pada suatu ketika mimpi dan obsesinya itu mengambil alih kenyataan hidupnya sendiri. Helena sudah lupa bahwa dirinya dengan Syaffa belum pernah berucap janji bersama tetapi entah mengapa dalam benak asmaranya, Helena merasa sudah melakukannya.

“Aku sudah hidup bersama” bisiknya pada diri sendiri di dalam hati, meski sejumput keraguan selalu meruak dalam seruang dadanya.

Mimpi itu terus menggeluyur berjalan, memapah jalan hidupnya. Meretas hidup keseharian manusia.

Dalam mimpi itu diceritakan Helena masuk ke sebuah warnet, kemudian chatting dengan Syaffa. Segenap hatinya kemudian mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama ditanggungnya.

“beban ini sangat berat sekali, lebih baik aku mengutarakannya..” ucap Helena.

“entahlah” jawab Syaffa.

“aku sudah membayangkan kalau aku berkomunikasi dengan anti bakal seperti ini jadinya…”

“aku sudah siap dengan segala jawabannya….” tulis Helena lirih

“aku sudah menikah dengan dakwah. Aku menitipkanmu pada yang Maha Kuasa. Semoga Dia memberikan jalan yang terbaik untuk anti”


Sontak Helena kaget! Kemudian terbangun dari tidurnya, termenung sendirian dan berkata,

“Apakah aku sedang bermimpi?”
“ya, aku pasti bermimpi. Hah?! Mimpi yang buruk” ucapnya
“aku tahu Syaffa tak akan pernah berbicara seperti itu” kemudian ia tertidur lagi. Seolah tak terjadi apa-apa.


***


Sementara, nun jauh di sana di negara yang disebut Sudan.

Syaffa melonjak dari tidurnya seperti menemukan sesuatu yang maha dahsyat. Sementara itu di negera lain, tepatnya di Indonesia Helena kembali terlelap dalam tidurnya, setelah bermimpi bahwa dirinya di tolak oleh Syaffa.

“astagfirullah” ucapnya. Dan mengulangnya terus beberapa kali.

Namun dzikir itu tak cukup untuk menentramkan hatinya yang diserang gundah dan terus meresah. Kemudian Syaffa turun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Berniat untuk melaksanakan sholat malam, sembari terus melantunkan dzikirnya. Dia berpapasan dengan temannya.

“ayna, ya akhi?”
“akhudzul wudzu”
“na’am, .. sholatul lael? Jayyid ya akhi”

Air wudhu yang dibasuhkan ke dua telapak tangannya bisa memberikan kesejukan, ketentraman dan kedamaian. Membasuh mukanya berharap kecemasan itu segera hilang. Dan melaksanakan tahajud, selepas sholat dua rokaat, seraya ia menengadahkan kedua tangganya dan mulai berdoa.

“ya Allah, ya Tuhanku, yang maha membolak balikkan hati, maafkanlah hambamu ini yang tidak bisa menjaga amanahMu yakni hati. Hati ini kadang berpaling dariMu dan selalu asyik dengan kegemerlapan dunia. Ya Tuhan ku, tsabit qolbik”

Syaffa berdiri lagi, begitulah seterusnya, dia sholat. Sampai tiba waktunya sholat shubuh.


***


Sementara itu, di sebuah kota yang dinamakan Bandung. Aku terperanjat manakala melihat komputerku menyala,

“perasaan, aku sudah mematikan komputer sebelum tidur” bisikku pada diri sendiri. Ku lihat temanku yang berada di kamar bawah sedang tertidur, tak ada tanda-tanda kehidupan. Sesaat itu, tiba-tiba ada suara kaki berderap menuju keluar.

Aku langsung mengikuti arah suara kaki itu. Ternyata seseorang sedang beranjak pergi, sontak aku kaget. Maling!? pikirku.

Kukejar dia.
“hei mau kemana kamu?”. Bentakku. Tak kusangka, kemudian dia berbalik. Dan …

Betapa aku terkesima melihat mata itu. Ya mata itu, aku ingat siapa yang memiliki mata seperti itu. Sesaat setelah melihat matanya, aku langsung terdiam. Terpaku. Lantas kubiarkan dia pergi. Ajaib. Secepat cahaya dia langsung menghilang. Bulu kudukku merinding. Aku lari menuju kamar, melompat ke atas kasur. Berselimut.

“itu ‘kan diriku? Tapi mana mungkin?” hujatku dalam hati.
“Apakah aku bermimpi? Apakah ini mimpi? Bagaimana cara membuktikannya?”

Aku jadi teringat kepada komputerku yang masih menyala. Lantas aku bangun, memberanikan diri untuk mematikannya. Tapi ketika hendak kumatikan, rupanya ada seseorang yang sedang menulis pada komputerku.

Dan beginilah tulisannya itu.





________________________________________________________
(Cerpen ini di tulis di Jawa Barat, Bandung, 23 April 2008 jam 06:20, dengan judul  "Cinta itu bermimpi  Sendu" dan di revisi di Jawa Tengah, Pemalang 23 Februari 2010 jam 2:11 sekalian dirubah judulnya jadi "Melipat Mimpi".)

0 komentar:

Posting Komentar