Anna Karenina


Teruntuk…
Anna Karenina
di
Saujana

Bismilah…
Semoga yang Allah Maha Entah senantiasa memberi berkah, hidayah dan maghfirah. Amin.

muka memberita luka,
suara membicara sungkawa..
ada apa dengan kita..

Aristoteles pernah berujar “Plato memang sahabatku tetapi aku lebih suka bersahabat dengan kebenaran”. Kini aku bisa mengatakan kepadamu, “aku memang mencintaimu, tetapi aku lebih mencintai kebenaran”.

Disini aku tidak akan berbicara tentang sengkarut percintaan dan segala romantika yang terkait dengannya—arti cinta, hubungan percintaan, penerimaan cinta, penolakan cinta, pelembagaan cinta entah itu bernama “jadian” atau pernikahan dan lain sebagainya. Tetapi saya ingin berbicara lebih dari itu, yakni tentang kebenaran. Gie menyebutkan tak ada yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran.

Kebenaran mungkin menjadi diskursus paling angker sekaligus kuno dalam setiap disiplin keilmuan. Topik tentang kebenaran ini biasanya menurunkan tiga derivasi sudut pandang yaitu epistemologi, aksiologi dan ontologi. Setiap disipilin ilmu—mulai dari ilmu eksakta, humaniora sampai magis dan mistis sekalipun—pasti membicarakan tentang hal ini. Tetapi lagi-lagi, dengan segala keterbatasan yang ada, saya tidak akan membicarakan tema kebenaran dalam sudut pandang ilmiah.

Mari kita mulai daratkan pembicaraan ini dengan mengaitkannya kepada beberapa kejadian yang telah kita lewati beberapa masa kebelakang.

gumpal darah di buku itu, mengkilau. dan engkau bertanya,
mengapa mengerbuk sesuatu?


Saya kembali bertemu lagi denganmu, ketika di diajak Hilman Taufiq. Itu suatu kesempatan langka bagiku mengingat “peristiwa” yang terjadi denganmu di masa lalu. Kita bersenda gurau, bercanda seperti layaknya orang lama yang baru bertemu. Selepas itu, kita menjalani hidup masing masing seperti biasa.

Sampai pada sutu masa saya menerima sms dari mu—sungguh pada saat itu saya belum tahu siapa pengirimnya, sebab dalam hp belum tercantum namamu hanya nomor belaka. Lambat kemudian benakku memberikan tanda bahwa yang mengirim sms itu adalah kamu.

Walhasil, sayalah yang pertama menelepon kamu, karena rasa penasaran, dengan begitu komunikasi antara saya dengan kamu pun terjalin kembali. Begitu mungkin sekilas—sengaja kusingkat karena saya bukan mau menulis novel atau cerita dan ini bukan inti pembicaraan saya—bagaimana awal pertemuanku denganmu.

aku jawab, kata telah berurai air mata,
aku terlunta meski tak meminta..
disekap sunyi ditikam sepi,
ada apa dengan kita..


Anna, mungkin ada baiknya kukatakan padamu, bagi sebagian orang pembicaraan tentang hidup tidaklah berarti, sia-sia, konyol, terlalu mengada-ngada dan cibiran lain sebagainya. Tetapi bagiku membicarakan tentang hidup sama halnya dengan membicarakan tentang diri kita sendiri.

“buat apa sih membicarakan tentang hidup? Hidup itu untuk dijalani bukan untuk dibicarakan"
“Ya memang hidup untuk dijalani, tetapi (sebenarnya) apa yang harus kujalani?”
“apa yang harus kamu jalani?! Ya menjalani hidup.”
“lantas, apa yang dimaksud dengan MENJALANI HIDUP ?!”
“arrrghhtzz….”

Socrates bilang hidup yang tidak ditanyakan tidak pantas untuk dijalankan. Al Qur’an menyebut bahwa hidup adalah senda gurau dan dan permainan belaka. Kamu bilang “… dibawa nyantai saja”. Sedang aku tak bisa mengatakan apa-apa tentang hidup karena aku masih hidup.

Ucapanmu banyak benarnya, bahwa hidup itu keras dan keras itu sugesti—tetapi apakah dengan menganggap hidup itu tidak keras lantas dengan serta merta merubah hidup yang tadinya keras menjadi tidak?—dan mungkin oleh karena itu kamu mengambil sikap nyantai dalam menjalani hidup. Disini aku tak ingin menyalahkan pendapatmu yang mungkin sudah menjadi kebenaran bagi dirimu dan mengakar menjadi keyakinanmu bahkan mungkin perlahan sudah membentuk “agama”mu sendiri. Tetapi aku ingin memberi pertimbangan yang lain.

Kenshi Himura, tokoh film Samurai X, pernah mengatakan dalam beberapa dialognya bahwa untuk mati itu gampang sedangkan untuk (mempertahankan) hidup sangatlah sulit. Kamu diizinkan untuk tidak sependapat, tetapi aku sudah bisa paham apa maksudnya.

Begini, bukan kamu saja orang yang “menyantaikan hidup” aku sudah menemukan beberapa orang yang memiliki prinsip sama denganmu. Dan aku pun setuju dengan sikap seperti itu; santai. Karena seperti kata bung Rhoma “santai.. biar otot tidak tegang”. Memang dalam keadaan santai memungkinkan kita bisa berpikir lebih objektif serta terhindarkan dari perseteruan.

Namun pertanyaannya kemudian adalah; dalam kondisi apa kita bisa santai dan dalam keadaan apa kita mesti tidak santai. Saya berandai-andai, mungkinkah seseorang yang kebutuhan primernya belum terpenuhi (makan, minum) bisa santai?! Kamu bisa saja santai karena kamu tidak terlalu pusing dengan kebutuhan primer-mu. Sebab kebutuhan primermu sudah terpenuhi—entah itu dengan mendapatkannya sendiri lewat kerja, atau meminta dari orang tua—tapi bagaimana dengan tukang beca, tukang kaca mata, tukang es kelapa muda yang mendapatkan uang seribu saja mesti mengucurkan keringat, bisakah kamu bilang pada mereka santai!

“santai sih santai neng, tapi kalau perut lapar, apa bisa santai?!”
“ya dibawa santai aja mang...!”
(kemudian si mang mengeluarkan pisau hendak membunuh si neng itu. Si neng bergetar ketakutan. Tiba-tiba si mang berkata “dibawa santai aja neng…!”)

Tahukah kamu kalau aktivitas santai itu termasuk aktivitas orang gedongan, ningrat, keturunan bangsawan yang segala kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Sedangkan untuk orang susah (seperti saya), keturunan ekonomi menengah ke bawah lagi sengsara hidup itu adalah kerja keras. Orang mati-matian untuk mempertahankan hidup, karena untuk hidup itu susah!

diam dalam diam, bosan terperangkap lembuk,
hati lama tak diketuk..
aku merana meski terus mengamuk..
ada apa dengan kita..


Pipih.. dari dulu ras kita memang berbeda (mungkin itu salah satunya mengapa dulu kamu menampikku?!). Prinsip santaimu memang bagus tetapi untuk solusi yang bersifat kognisi saja misalnya saling-silang dan sengkarut pendapat dengan prinsip santai semuanya bisa terselesaikan. Namun apakah bisa memecahkan persoalan yang terkait dengan afektif?

Sesungguhnya bisa, namun ternyata hati bukanlah statistika atau angka yang bisa dikurang, ditambah dan dibagi. Hati bukanlah barang mati tetapi hidup dan dinamis. Ungkapan klasik menyebutkan .. dalam lautan bisa diselami tetapi hati orang siapa yang tahu. Hanya Tuhanlah yang bisa membolak-balikkan hati setiap manusia.

Dan puisi datang dari hati sekalipun pemilihan kosa kata dan diksinya diolah oleh pikiran. Apa yang datang dari hati akan sampai ke hati pula, begitulah puisi mengaram pada renik-renik hati yang berperasa.

Julia Kristeva mengatakan bahwa bahasa yang paling mungkin untuk mengekspresikan jiwa adalah bahasa sastra, salah satunya adalah puisi. Maka sebuah puisi, sejatinya, tak pernah diciptakan dalam satu kondisi hati saja bahkan kadangkala puisi diciptakan dalam kondisi esktrim para penyairnya.

Coba Pipih perhatikan bagaimana kondisi kejiwaan para penyair, Sutardji Clazoum Bachri, Chairil Anwar, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Ayat Rohaedi, Wiji Thukul dan penyair atau sastrawan lainnya. Vincent Mahieu pernah bilang hidup mereka selalu menyerempet bahaya. Lalu apakah bisa dikatakan seseorang yang sedang menyerempet bahaya berada dalam suatu kondisi santai?!

"aku tiba" kata ajal menyapa.
kenapa wajahmu durja?
mulut terluka 'nganga, bicara…
kata sudah kehabisan tenaga,
kerja sudah kehilangan nyawa..
ada apa dengan kita..

Pipih, sekian dulu tulisan saya nanti disambung lagi…


Salam,

tedi taufiqrahman

0 komentar:

Posting Komentar