20 Januari 2008

Kadang aku merasa pengetahuanku tentang ilmu-ilmu—filsafat, sosiologi, teori ideologi, wacana, sastra, diskursus singkatnya teori-teori abstrak yang hanya bisa diketahui lewat buku—tak ada gunanya sama sekali untuk menopang kebutuhan hidup

keseharianku seperti membeli makan, membayar ongkos angkot dan kebutuhan lainnya.
Bisakah pengetahuan tentang post modernisme membayar ongkos angkot untuk pergi ke cibiru dan menjemput kekasihku? Bisakah teori komunikatif Habermas membeli makanan atau setidaknya mie instant untuk menahan laparku? Bisakah kata-kata, wacana, diskursus membantu memenuhi hidup keseharianku?
Aku mau menangis! Ternyata tidak! Semua pengetahuanku tidak (belum) berguna. Bagaimana aku mau menatap masa depan? Dengan segala keterbatasan. Aku adalah orang yang sedang memikirkan hidup masa depan yang selalu aku elak.
Zaman sekarang, aku berpikir lebih baik bodoh tetapi memiliki banyak uang daripada pintar tetapi miskin. Kepintaran kalau hinggap pada seseorang yang miskin, menurutku, itu adalah sebuah kutukan yang kelak akan menyiksanya dengan pelbagai kesengsaraan yang di datangkan dari pengetahuannya. Kepintaran sekarang bisa dibeli dengan uang tetapi bisakah kepintaran (menghasilkan) membeli uang?
Entahlah…
Tuhan, aku sedang berada di titik nadir dari segalanya.

0 komentar:

Posting Komentar