Menulis Itu Keterampilan

Menulis itu gampang, iya semua orang bisa menulis, bahkan semenjak SD pun, bahkan TK kita sudah diajarkan untuk menulis. Tapi menulis apa dulu yang gampang itu? Menulis catatan hutang, menulis alamat, menulis belanjaan, menulis pengumuman, menulis pengalaman, menulis artikel, menulis puisi, menulis cerpen, menulis novel, menulis catatan harian, menulis skripsi, menulis artikel, menulis kritik...

Menulis yang gampang itu, menulis apa? Seseorang yang biasa menulis laporan keuangan bisa jadi bakal kesulitan bila diminta buat menulis cerpen, begitu sebaliknya. Itu yang lambat saya sadari, bahwa menulis adalah juga sebuah keterampilan, yang bisa hilang bila tidak diasah. Saya suka menulis, semenjak Mu'alimin, motifnya saya sendiri tidak tahu, tapi seperti kebanyakan remaja pada umumnya saya menulis catatan harian. Apa saja yang saya tulis? Biasanya apa yang terjadi pada hari itu, sekaligus pandangan-pandangan saya terhadap peristiwa yang saya alami. Cacian, makian, banyaknya sih keluhan. Tak ada yang penting. Hanya melampiaskan emosi, mengingat tak ada kawan yang sejalan, sepikiran pada masa sekolah dulu, saya suka sastra dan kawan di pesantren tak ada yang suka sastra, disanalah awal mula saya membiasakan menulis.

Setelah menulis, saya keranjingan membaca. Saya suka mendekam di perpustakaan. Membaca semuanya, secara acak. Apapun yang menarik minat, saya baca. Tanpa peta. Tulisan saya mulai berisi. Ada muatannya. Dikarenakan kelihatan suka baca, saya dimasukan jadi qismu al i'lam wa shihafah, sebuah divisi jurnalistik di pesantren. Itulah mula saya menulis untuk publik, lewat majalah dinding, kemudian bulletin.

Sampai masuk kuliah, kebiasaan menulis mulai mendapatkan bentuknya, apalagi di tambah tugas-tugas membuat makalah. Selama kuliah saya mendirikan satu buletin, bukan buletin jurusan, tapi buletin komunitas, KERSA namanya. Lewat bulletin itu, saya menuangkan hasrat menulis. Dan sampai puncaknya, saya mencoba menulis untuk media, sedikit konyol sih alasannya, karena ada tulisan adik kelas saya yang dimuat. Saya kebakaran jenggot, saya hanya berkutat dengan tulisan pro bono (proyek idealis) menulis untuk buletin dan cukup senang ketika dipuji oleh kawan-kawan? Sementara adik kelas saya melesat lewat tulisan di koran? Betapa nista.

Saya mulai serius menulis, untuk di muat di koran, tulisan pertama tumbang, kedua, gagal, ketiga sama saja, keempat tak jelas rimbanya. Tulisan kelima baru tembus, saya ketagihan, menulis lagi, dan dimuat, sekali lagi dimuat juga. Hingga akhirnya mental saya mulai terbentuk, tidak terlalu kecewa ketika tidak di muat.

Pada saat itulah, saya mulai serius, ingin jadi penulis. Tapi, jalan hidup berkata lain, saya memilih bekerja yang tidak ada hubungannya dengan satu pun minat saya, sebagai sales marketing, tentu saja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tahun-tahun pertama bekerja, saya masih rajin menulis di pesbuk, lama kelamaan karir saya di pekerjaan lumayan cukup bagus, hingga akhirnya perlu perhatian khusus, sampai pada satu titik saya menyerah untuk menulis, sepertinya tidak bisa lagi.

Dan ternyata benar, saya sudah tidak bisa. Sampai saya tertatih-tatih buat menulis, sempat saya baca-baca tulisan saya terdahulu, saya selalu berpikir, dulu kok bisa saya menulis semacam itu, menulis itu bukan hanya bakat, tapi memerlukan keterampilan, terus dilatih dan di asah.

0 komentar:

Posting Komentar