Sungguh! Maulieri.
Aku masih ingin menjadi penulis. Itu sudah menjadi cita-citaku semenjak dulu. Bukan. Bukan semenjak lahir, terlalu konyol untuk mengatakan seperti itu. Ketika lahir aku belum memiliki cita-cita. Bahkan mungkin, aku belum punya pikiran, aku masih di gendong sama ibuku dan menangis-menangis yang kubisa.
Haha. Tentu saja kamu mesti bisa membedakan Maulieri, mana otak dan pikiran. Waktu kecil aku sudah punya otak. Setidaknya bidan yang membantu persalinan ibuku bisa menjadi jaminannya, hanya saja mungkin belum bisa di gunakan. Kalau sekarang sudah bisa, sekalipun jarang aku gunakan. Haha. Ya itulah bedanya, kalau dulu secara alamiah, otakku belum bisa di gunakan. Tapi sekarang, aku memilih untuk tidak menggunakannya.
Kenapa? Kamu tanya kenapa Maulieri?
Kenapa? Ya karena aku sendiri tidak tahu cara menggunakannya.
Haha.
Mungkin setelah aku mendapatkan honor dari tulisan yang aku kirim ke koran. Pada saat itulah aku mendeklarasikan diri untuk menjadi seorang penulis. Dan ketika itu, aku merasakan bahwa dunia sudah bertekuk lutut di bawahku. Aku merasakan sebuah energi yang sangat penuh. Kuat sekali. Seperti energi yang di gambarkan oleh tokoh Proklamator kita, Bung Karno, “beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncangkan dunia”.
Bisa di bayangkan, bukan? Tinggal menunggu sembilan orang lagi, maka impian Soekarno itu bisa menjadi kenyataan. Hanya saja, kesembilan orang itu tidak kunjung datang. Malah sekarang, aku yang berubah drastis. Terperangkap dalam ruang keputusasaan. Dan sudah beberapa bulan, mungkin sudah setahun belum juga aku bisa pecahkan.
Aku masih mengurusi masalah itu.
***
Pertama, masalah itu aku tunda. Kupikir, aku butuh jeda. Butuh rehat untuk sementara. Aku simpan hal itu di kepala. Aku bawa-bawa terus masalah itu di tempat kerja. Di kamar mandi. Ketika buang sampah. Beres makan. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Aku menjalani hari dengan masalah itu di kepala, Maulieri. Ya, selain rambut, aku juga memiliki banyak masalah yang tersimpan di atas kepala.
Kupikir akan di selesaikan oleh waktu. Aku begitu percaya kepada waktu yang bisa menyelesaikan masalah ketika kita sudah tidak mampu mencari jalan keluar. Namun ternyata aku gagal. Beberapa masalah memang, bisa di selesaikan dengan cara itu. Namun, kali ini tidak. Masalah itu tidak mau hengkang dari kepala. Waktu pun malah menyerah, mengurusi beberapa masalah yang di adukan kepadanya. Ternyata bukan aku saja yang berpikir seperti itu, semua orang di dunia juga berpikiran sama.
Ya sudah aku mengalah.
Dia berkembang biak. Beranak pinak. Seperti kuman yang berkembang dengan membelah diri, tanpa perlu bantuan bidan dan perangkat medis lainnya.
Lama kelamaan, kondisinya menjadi tidak menyenangkan. Sungguh semakin tidak menyenangkan. Mereka menjadi ganas. Buas. Brutal dan frontal, mencari cara untuk melumpuhkanku. Benar-benar seperti penyakit yang di sebabkan oleh gangguan tubuh. Bengkak. Gatal-gatal. Cenat-cenut. Dan gangguan lainnya. Aku takut tubuhku memang benar-benar bakal lumpuh dengan serangan ini. Seperti yang sering di gambarkan dalam film-film holywood bagaimana seorang manusia berubah menjadi zombie, kemudian mereka memakan sesamanya.
Ini tidak bisa di biarkan. Ini mesti di obati. Aku mesti mencari jalan keluar. Aku mesti mencari obat penawar. Dan kamu tahu Maulieri? Aku mesti keluar dari ruang yang sungguh sangat menyesakkan ini. Tapi aku tidak tahu di mana pemilik rumah meletakkan kuncinya. Aku tersesat dalam sebuah rumah puzzle yang luasnya tidak terkira.[]