Penjaga Rumah Ben Hok : [2]


 /c/

Sekitar jam delapan, setelah memastikan semuanya lancar. Moko berangkat kerja, ke pabrik tenun. Tinggallah Kusno dan Tarso di rumah yang mengerjakan tugas harian. Mengepel, menyapu, menguras bak mandi, memberi makan anjing, membayar listrik, telpon, membenarkan atap yang bocor dan pelbagai macam pekerjaan rumah tangga lainnya.

Sementara  siangan dikit, sekitar jam sepuluh, Tarso pergi ke rumah Ben Hok yang lain. Di depan rumah sakit umum, tidak terlalu jauh dari rumah yang sekarang.

Sejatinya itu bukan rumah, tapi bekas pabrik. Pabrik itu hanya di huni oleh anjing, kurang lebih ada sepuluh anjing di sana, Tarso kesana hanya untuk memberi makan mereka. Tentu saja Tarso merasa kewalahan dan pastinya takut ketika pertama kali memberi makan, tapi lama kelamaan tidak. Bahkan kini mereka sudah berteman baik.

Mereka sengaja tidak di ikat, atau di rantai. Karena memang itulah tujuan mereka ada disana, menjaga wilayah itu tetap aman. Sehingga tidak ada orang asing yang iseng masuk, ketika anjing itu melihat orang yang mencurigakan, mereka tidak segan-segan untuk menggigit, menyerang dan menerkam, kecuali kepada Tuan mereka, kerluarga Ben Hok termasuk Tarso. Sekalipun Tarso bukan bagian keluarga Ben Hok, tapi anjing tidak perlu mengetahui hal itu. Yang penting adalah anjing-anjing itu tidak menggigit Tarso.

Mereka selalu menggonggong ketika mendengar keretan gerbang dibuka, tapi ketika melihat majikannya yang datang, serta merta mereka diam. 

Setelah memberi makan, Tarso langsung pulang. Karena dia juga perlu  makan.


---

Hari menjelang sore, setelah rutinitas siang tadi yang Tarso kerjakan, selebihnya pekerjaan Tarso adalah menunggu. Menunggu rumah Ben Hok. Biasanya Tarso suka menghabiskan waktu di luar, di depan rumah, ketika sore menjelang maghrib. Nongkrong bareng tukang parkir, tukang becak, tukang servis jam, tukang sol dan lain sebagainya. Karena letak rumah Ben Hok persis di bagian pusat perkotaan, di jajaran pertokoan. Di samping kiri ada toko telur dan makanan ayam, sementara di samping kanan ada toko roti.
Sementara Kusno sesekali ikut bersama, namun jarang, Kusno lebih sering menghabiskan waktu dengan telepon genggamnya, menelpon pacar.

Tiap hari berganti, hari ini Tina, besok Sumirah, besoknya Niken, besoknya lagi Sulatmi. Berbeda jauh dengan Tarso, paling mentok, Tarso menelpon atau ditelpon ibunya, atau adiknya. Itu juga kalau mereka punya keperluan? Kalau tidak, sepertinya mereka lupa bahwa mereka masih punya satu anak lagi yang bernama Tarso.

Kusno sangat agresif. Terlebih urusan perempuan. Entahlah, itu yang selalu membuat Tarso bingung. Tarso sering bertanya-tanya; darimana Kusno memiliki kekuatan untuk menaklukan semua perempuan itu? Padahal wajah Kusno dan Tarso tidak jauh berbeda. Maksudnya sama-sama kurang menjual, tapi di banding Tarso, perempuan malah lebih memilih Kusno. Itu juga terjadi kepada seorang perempuan yang sangat di taksir sama Tarso, eh malah menyukai Kusno? Remuklah hati Tarso. 

---

Sore pun habis, hari hanya tersisa malam. Para pedagang di sisi jalan sudah mulai berguguran, toko satu persatu mulai tutup, jalan di hiasi dengan penemuan Thomas Alva Edison menggantikan matahari yang berubah menjadi bulan. Langit teramat sangat gelap.

Tarso mengunci gerbang rumah Ben Hok. Ada lima kunci yang ia gunakan, kunci yang sudah sangat kuno sekali, tapi sangat kuat. Tarso tidak tahu dari mana Ben Hok bisa membeli kunci gembok seperti itu. Yang ia tahu hanyalah cara membuka dan menguncikannya. Suasana di dalam rumah sangat hening, maklum, ruangan sebesar itu hanya di huni oleh dua orang, mereka jarang menggunakan ruangan depan, ruangan utama, dapur besar, dan balkon yang ada di depan. Mereka hanya berkumpul dibelakang, dapur kecil, gudang, dan tiga kamar kecil yang sudah di sediakan untuk pembantu.

Kini hari sudah benar-benar malam. Kusno sudah tertidur di kamarnya. Satu jam kemudian, Tarso masuk ke kamarnya, mematikan lampu dan tidur.

/e/

Lima tahun kemudian.

Tarso masih bangun di tempat yang sama. Rumah yang sama, kamar yang sama, dengan selimut yang sama. Tapi semuanya kini sudah berbeda. Tidak ada Kusno, tidak ada lagi Moko. Hanya dia sendiri di rumah Ben Hok itu. 

Karena dedikasi yang telah di berikan, Moko di pekerjakan sebagai Mandor di salah satu pabrik Ben Hok di Jawa Timur. Moko sangat senang, terlebih istrinya yang bisa pulang kampung. Mereka berdua pun hijrah ke Jawa Timur. Sementara Kusno, hanya dua tahun saja menemani Tarso kemudian keluar. Ia sekarang menjadi karyawan pabrik tekstil.

“Le, kita gak bakalan terus-terusan hidup seperti ini” ucap Kusno suatu ketika pada Tarso, tepat seminggu sebelum mengundurkan diri.

“kita tidak mungkin selamanya menggantungkan hidup pada gaji yang di berikan Ben Hok. Itu tidak cukup. Mungkin sekarang cukup karena masih membujang, belum punya tanggungan, tapi nanti? Apa kamu tidak ada niat punya istri?”

“ya ada, aku kan normal” jawab Tarso polos.

“ya itu, apa kamu mau menghabiskan sisa hidupmu menjadi penjaga rumah tua ini. Apakah kamu  rela membiayai istri kamu dengan gaji lima ratus ribu? Cukup buat apa Le? Belum lagi kalau punya anak? Masih banyak rencana hidup yang belum di tuntaskan Le, dan kamu tidak bisa bertahan dengan kondisi yang sekarang. Kita harus bangkit, bergerak keluar dari lingkaran nasib ini. Kalau tidak? Kamu bakalan membusuk di rumah tua ini!”


Perkataan Kusno itu membuat batin Tarso remuk. Tepat di ulu hatinya yang paling dalam. Tarso merasa sakit. Sakit sekali dengan ucapan Kusno itu. Sakit karena pikiran dia tidak sampai kesana. Iri dengan semua rencana yang dipunyai oleh Kusno.  Sementara dia sendiri. Tidak mempunyai rencana apa-apa. Tidak mempunyai rancangan apa-apa tentang bagaimana hidupnya berjalan.

Dulu ketika Moko menawarkan pekerjaan itu, Tarso hanya tahu, mendapatkan penghasilan, cukup untuk makan sendiri, yang penting tidak menjadi tanggungan orang tua. Baginya itu lebih dari cukup.
Tapi ternyata, itu tidaklah cukup, kenyataan menuntut lebih. Tarso tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia mendadak benci pada dirinya sendiri. Umurnya kini sudah di penghujung angka 30. Tapi kehidupannya tidak banyak yang berubah. Perubahan besar yang terjadi, yang Tarso rasakan, yaitu ketika bertemu dengan Moko, yang mengantarkannya penjadi penjaga rumah Ben Hok. Setelah itu, tidak ada.

Tarso menjalani hidupnya dengan monoton, nyaris seperti binatang, melakukan itu-itu saja berulang-ulang, rutinitas yang sama selama kurang lebih tujuh tahun ke belakang;  ngepel ruangan depan rumah Ben Hok, menyapu, menguras bak mandi, memberi makan anjing, membayar listrik, telpon, membenarkan atap yang bocor, mengunci gerbang, mematikan semua lampu ketika malam, menerima gaji sebesar lima ratus ribu, dan hanya seratus ribu yang ia bisa tabung, sholat, nongkrong dengan tukang beca, tukang servis jam, permak celana…

***

Cerita ini sejatinya bakal menarik kalau di lanjutkan, tapi sayang, saya harus mengakhirinya sampai di sana. Saya hanya bisa mengantarkan anda pada sepenggal episode kehidupan Tarso bagian ini saja. Tarso kini masih hidup sebagai penjaga rumah, di salah satu kota di Jawa Tengah, dia asli. Hidup dan bukan rekaan. Dia masih menjalankan rutinitas yang telah saya sebutkan di atas,

Sesekali kehidupan yang kita jalani memang terkadang monoton, membosankan. Pengen rasanya menjalani kehidupan yang tidak biasa, tapi tidak bisa. Karena kita takut meninggalkan kehidupan yang sekarang ini. Padahal kita sendiri tidak tahu, apakah kehidupan yang kita jalani sekarang ini adalah yang terbaik buat kita, atau bahkan mungkin, Tuhan menunggu kita mengambil keputusan untuk merubah jalan hidup kepada yang lebih baik. Karena kehidupan yang sekarang, yang menurut kita baik, ternyata bagi Tuhan bukanlah yang terbaik? Tapi bagaimana caranya mengetahui jalan hidup yang terbaik bagi kita menurut Tuhan? Tentu kita tidak akan pernah tahu. Dan karena ketidaktahuan itulah, kita terus dihadapkan pada kegamangan pilihan, ini atau itu?

Tapi jangan khawatir dengan cerita ini, anda jadi tahu, bahwa anda tidak sendiri,  ada Tarso menemani anda. Terimakasih. Semoga bermanfaat.[] 


0 komentar:

Posting Komentar