Penjaga Rumah Ben Hok : [1]


Tentu saja kita harus selalu mensyukuri atas segala karunia yang telah di berikan Tuhan dalam hidup ini. Sekecil apapun itu pemberian, dalam segala helaan nafas, sudah sepantasnyalah kita memanjatkan puji dan syukur. Atas keagungan Tuhan. Maha pencipta. Maha Segalanya.

Namun kemudian, kita sebagai manusia yang diciptakan dengan nafsu terkadang entah karena alasan apa, rasa syukur yang seyogyanya mesti selalu tertanam dalam pikiran dan hati kita, suka mendadak hilang.  Kita dibangunkan oleh sebuah kesadaran bahwa apa yang kita dapatkan ternyata belum cukup, kenyataan hidup meminta lebih dari apa yang telah kita dapatkan kini. Yang kita dapatkan hanya sepuluh ribu, ternyata pengeluaran sudah melebihi itu. 

Dan di atas segala penerimaan berkah dan karunia yang telah di berikan, di atas segala kekurangan akan kebutuhan hidup, di atas segala sesuatunya, cerita ini di tuturkan.

***

/a/

Pagi ini sama sekali tidak kelihatan istimewa baginya, seperti pagi-pagi sebelumnya, dia bisa bangun pagi tanpa ada hambatan sama sekali. Ketika bangun pun, tak ada yang berubah baik dari lingkungan di sekeliling kamarnya, selimutnya masih yang itu, warna merah ati, bed cover yang sudah tipis pis pis pis. Lemari kuno yang terbuat dari kayu, dimana pintu depannya adalah kaca, masih berdiri tegak di sana, di sudut kamarnya, seperti kokohnya patung Jenderal Sudirman di kota kelahirannya.

Dia masih tetap seperti itu, tidak ada perubahan pada dirinya, berwajah ndeso, tapi memiliki gigi yang rapi, serta putih, hanya saja keputihan giginya itu tidak menguntungkan dirinya, karena berbanding terbalik dengan wajahnya yang memiliki gradasi warna menuju hitam. Rambutnya lurus, tipis, lagi-lagi berawarna hitam pudar. Perawakannya kecil, setiap kali memakai baju, kecuali jaket motor, jas hujan, tulang lehernya selalu kelihatan. Apalagi kalau memakai kaos berwarna biru langit yang sudah pudar, celana pendek selutut. Dari jarak sepuluh kilo juga sudah bisa dikenali  bahwa itu dia, Tarsono, Penjaga Rumah Ben Hok.

Tarso, begitu panggilannya, mulai bangkit dari ranjang. Menggerak-gerakan badan, lantas kemudian menuju ke WC. Mengambil air wudhu hendak sholat.  Karena semenjak kecil dia tidak tahu apalagi yang mesti di lakukan pada pagi hari selain sholat.

“apa jadinya kalau orang tidak pernah melakukan sholat?” tanya Sukardi tukang becak sewaktu nongkrong-nongkrong sore hari di depan toko telur yang sudah tutup. Waktu itu ada empat orang yang sedang berkumpul, setiap orang langsung menyampaikan opininya masing-masing.

“ya nda apa-apa to mas? Mereka tetap hidup seperti biasa” ungkap Moko, menyampaikan pendapatnya, dengan santai.
“lha wong, hampir sembilan puluh sembilan persen orang yang hidup di dunia ini tidak sholat, tapi mereka masih hidup”
“ngawur, kamu?!” timpal Sukardi berang,
“tahu dari mana kamu bahwa hampir sembilan puluh sembilan persen orang yang hidup di dunia ini masih hidup sekalipun tidak sholat?”
“lha kamu buktinya, hahaha…” jawab Moko sembari tertawa

Semua tertawa. Kecuali Sukardi. Dalam hati, Tarso mengulangi pertanyaan mas Sukardi tadi, “bagaimana jadinya ya?” 

“ya mungkin kalau orang itu tidak pernah melakukan sholat, seharusnya dia pergi ke gereja, ke kleteng, atau vihara seperti Ben Hok, karena setiap orang itu mesti sembahyang, bagaimanapun keadaannya” jawab Tarso enteng.

Setelah beres sholat, ia kembali duduk di ranjang menghadap kaca. Larut dalam lamunan. Sesaat kemudian, sekitar jam setengah enam, satu orang temannya yang ada di kamar paling ujung yakni Kusno bangun. Bersamaan dengan itu, Moko datang lewat pintu gerbang.

Tarso lantas keluar dari kamarnya, hanya sekedar memastikan bahwa yang datang dari pintu gerbang itu adalah memang Moko, sementara Kusno baru ke kamar mandi, cuci muka, kencing dan tidak sholat. Moko lantas masuk ke dapur, menyeduh kopi. Setelah melihat Moko masuk ke dapur, Tarso melanjutkan duduknya di ruang pavilliun, menghadap ke pintu gerbang. Tak lama kemudian, Moko pun datang membawa dua gelas kopi, dan duduk di kursi yang masih kosong. Tarso mengeluarkan sebungkus roko. Tak lama berselang Kusno hadir, bergabung.

/b/

Kusno, Moko, dan Tarso, mereka bertiga adalah penjaga rumah Ben Hok. Siapa Ben Hok? Sebutlah dia adalah seorang pengusaha Cina yang kaya raya. Rumah yang kini di jaga oleh Tarso, adalah rumah ke sekian, dari daftar rumahnya yang tidak di huni. (Anda jangan heran, ini bukanlah sebuah khayalan, bukan sebuah cerita rekaan, di luar sana memang benar banyak orang seperti Ben Hok. Bahkan lebih). Sementara Ben Hok sendiri menetap di Jakarta. Sesekali ia juga sering berkunjung ke rumah yang di jaga oleh Tarso, bahkan menginap di sana beberapa hari. 

Tarso di gaji untuk menempati, merawat dan mengurus rumah tersebut. Tapi hanya Tarso dan Kusno yang menetap di rumah Ben Hok itu. Sementara Moko, tidak. Karena ia sudah berkeluarga. Moko hanya datang di pagi hari saja selepas itu berangkat bekerja di tempat lain.
“wah, Le..” ungkap Moko suatu ketika kepada Tarso,

“kalau hanya mengandalkan gaji dari Ben Hok saja tidak cukup, mungkin cukup untuk makan sendiri, tapi tidak cukup untuk memberi makan orang lain”

Memang benar apa yang di katakan Moko, semua orang di kasih gaji rata oleh Ben Hok, lima ratus ribu sebulan. Bagi Kusno sama Tarso, kebutuhan hidup mungkin belum begitu terasa. Tapi bagi Moko itu seperti mencekik urat leher, makanya ia cari sambilan di luar. Setelah berkeluarga, Moko mengundurkan diri dari menjaga rumah Ben Hok. Tapi Ben Hok merasa keberatan. Karena ia tidak punya orang kepercayaan lain lagi untuk menjaga rumahnya.

“gini saja” kata Ben Hok ketika mendengar pengajuan pengunduran diri Moko,

“Moko, kamu gak usahlah mengundurkan diri, kamu cari dua orang lagi yang bisa menunggu rumah ini. sementara kamu, Oe tetap gaji. Buat mengawasi mereka berdua. Kamu juga gak punya kewajiban buat tidur disini, biarlah yang baru yang tidur disini. Tapi sebelum kamu dapat dua orang itu, kamu masih harus tidur di rumah ini, gimana?”

Moko akhirnya sepakat dengan penawaran Ben Hok. Ia pun mencari dua orang mau menggantikannya. Namun ternyata susah juga mencari orang untuk menggantikannya, karena setelah dua bulan berjalan, Moko belum menemukan orang yang mau menerima pekerjaan itu.  Dan seperti kesepakatan di awal, selama dua bulan itu, terpaksa Moko masih tetap tidur di rumah Ben Hok.
Sementara Tania, istrinya Moko, terus mendesak.

“sudahlah mas, keluar aja. Biarin aja si Ben Hok itu nyari sendiri. Daripada kaya gini terus, penghasilan gak seberapa tapi menyita waktu” tutur istrinya. Tapi moko tidak berpendapat demikian, selain karena merasa berhutang budi kepada Ben Hok, Moko juga melihat ada keuntungan yang di tawarkan oleh bosnya itu, yang sayang kalau dia sia-siakan.

“Hanya sebatas mengontrol, tidak perlu repot-repot” gumamnya “tapi dari mana cari orangnya?” Moko kembali bingung.

Di bulan ketiga, pencariannya Moko berakhir. Pepatah mengatakan, kalau sudah jodoh emang gak bakalan pergi kemane. Setelah mencari orang kesana-kemari, dia akhirnya menemukan penggantinya Tarso dan Kusno, yang ternyata masih saudaranya sendiri. Semenjak itulah Tarso dan Kusno dipertemukan dengan takdir, menjadi penjaga rumah Ben Hok.***
bersambung..... 

2 komentar:

  1. Buat pengelola blog. Sebaiknya kalau memakai foto hasil karya orang lain, meminta ijin terlebih dahulu dan memberikan linkback ke site aslinya.

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas sarannya, akan di perbaiki.

    BalasHapus