KORESPONDENSI 3; RENUNGAN HERMANN TRIBBIANI


Ada senja yang nyaris dijadikan berhala oleh para pujangga, ada Tuhan yang selalu saja di sangsikan keberadaanNya, ada dosa menumpuk yang tidak terlihat di pelupuk mata, ada surga yang sudah tidak terasa lagi indahnya, ada dunia yang berubah menjadi neraka, ada beberapa manusia yang lebih mementingkan soal menyusun kata ketimbang sholat dan puasa, ada mereka yang lebih mencintai Filsuf Eropa ketimbang Rasulnya, ada banyak perkara lain lagi yang nasibnya sama seperti senja; menjadi berhala. 

Ada hari yang telah kita lewati dengan penuh caci maki, ada malam yang menjadi saksi tempat dimana kita merenungkan eksistensi atau malah melampiaskannya dengan hasrat birahi, ada siang tempat dimana kita berinteraksi dengan orang lain demi sebuah modal sosial yang bernama relasi, ada masa, dimana kita lemah tak berdaya, hampa, tanpa gambaran masa depan sekalipun tetap saja kita selalu pongah dan jumawa. Karena kita adalah manusia. Atau bahkan… 

ada suatu masa dimana kita menemukan penjelasan bahwa takdir sejatinya bukan lagi sebuah misteri, melainkan sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan perjuangan dan kesabaran menjalani kebosanan. 

***

Tepat setahun ke belakang, di waktu yang sama, di tempat yang sama Hermann selalu berdiri disitu, di belakang masjid, di sebuah bangunan yang belum utuh menjadi sebuah madrasah menyaksikan senja merenta jadi malam basah oleh lembayung kuning, susana pun mendadak hening. Momen yang pas untuk memikirkan diri sendiri. 

Memikirkan bagaimana Tuhan akan membawa kehidupannya ke depan nanti. 

Bahwa lebih baik ia mati, ketimbang menjadi beban bagi kedua orang tuanya. Bahwa Hermann benar-benar dengan keinginannya itu, dia bertaruh dengan Tuhan kalaulah dalam setahun itu ia tidak mendapat pekerjaan? Tentu saja, dia tidak berpikir akan bunuh diri, tapi meminta Tuhan mencabut nyawanya, dengan halus, halus sekali, sehalus senja. 

Kendati Hermann pun sadar bahwa Tuhan sangat senang ketika melihat makhluknya hidup bergelimang daya juang tanpa keluh kesah apalagi sumpah serapah. Tuhan senang sekali dengan orang-orang pemberani. Tuhan tidak senang dengan orang-orang cengeng yang gampang putus asa, apalagi sambil berteriak-teriak bahwa Tuhan tidak adil. Namun Hermann tetap mengucapkan nadzar itu dalam hati, bahwa ia ingin mati, kalau mati lebih baik untuknya.  

Satu tahun terlewati sudah, kini segala sesuatunya banyak berubah, sekalipun Hermann sendiri tidak tahu dengan persis kapan perubahan itu dimulai. Yang ia tahu, hanya keledai yang bisa jatuh pada lubang yang sama dua kali dan hanya manusia yang bisa mempunyai pikiran yang berbeda ketika jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. 

Oleh karena itu, Hermann senang sekali ketika akhirnya Tuhan memutuskan ia jadi manusia sehingga dirinya bisa merasakan sensasi yang berbeda-beda ketika duduk melamun di belakang mesjid, di bangunan yang belum selesai.  

Mungkin bakal lain ceritanya kalau ia ditakdirkan menjadi keledai. Ia tidak akan pernah tinggal di masjid. Tidak pernah merasakan nikmatnya kopi di pagi hari, mendapat gelar sarjana, makan martabak beraneka rasa, merasakan cinta, memahami apa itu arti kata melankoli, mengetahui apa itu senja. Pokoknya semua-muanya yang dirasakan dan di alami sebagai manusia.  

Ya. Mungkin dia sendiri tidak akan memiliki nama Hermann, kalau menjadi keledai, tetapi “keledai bodoh!” 

Dungu, Lambat, Kotor, Sialan, Bangsat, menjadi kata-kata yang bisa disematkan begitu saja pada dirinya, tanpa interupsi. Menjadi penarik beban, di cambuk dan di dera, tinggal di kandang, makan rumput, tidak memakai baju, tidak dimestikan berpikir kalau jatuh pada lubang yang sama dua kali. 

Dengan begitu, resmilah Hermann jadi binatang. Kasta yang diidentifikasi sebagai kasta paling rendah di segenap jagad raya ini. 

Namun ketika melihat awan, Hermann merasa lebih baik dirinya menjadi awan. Tidak perlu repot memikirkan tentang masa depan, sibuk mencari pekerjaan, repot dengan pikiran-pikiran yang tidak karuan, bagaimana ini, bagaimana itu, penuhi segala tuntutan, mesti makan, minum, punyai semesta keinginan, ingin kaya, ingin terkenal, ingin menjadi bijak, di ancam dengan tekanan, tekanan pekerjaan, masyarakat, eksistensial, dihantui pendapat orang lain plus tidak kuat kalau tidak membantah, merasakan sesal, mual, jengah…

Ah semua-muanya! Semua yang berkaitan dengan manusia, kadang menyesakkan. 

Kenapa dulu Tuhan tidak membelokkan saja niat penciptaan dirinya dari manusia menjadi awan, atau langit saja sekalian? 

Karena langit adalah pertanda kebebasan. 

Dulu, tiga atau empat tahun silam, Hermann acap kali  melihat angkasa ketika habis pulang kuliah dari Ma’had Imarat, tepatnya waktu itu kira-kira jam sepuluh malam. Hermann selalu mendongakkan kepalanya ke langit. Bukan, bukan menunggu wahyu, itu pekerjaan Nabi, Hermann hanya takjub dengan langit yang kerap kali melelapkan pandangannya pada sebuah batas yang bernama senyap. 

Hermann selalu berandai-andai bahwa memang ada kehidupan di sana, kehidupan yang lebih baik dari yang dijalaninya kini. Dimana tidak ada persengketaan, pertempuran, buruk sangka, semua makhluk mendapat porsinya masing-masing, mungkin juga surga, tapi mungkin juga sebuah kehidupan seperti yang di ceritakan dalam serial Roswell yang di tontonnya dulu ketika SMA. 

Tapi itu hanya imajinasi belaka, mana ada SMA di surga? Ini hanya sebatas pelarian eksistensial dari kepenatan hidup sehari-hari. 

***

Masih terperangkap dalam lanskap angkasa, Hermann menatap langit di balik kaca jendela, menunggu adzan isya. 

Mungkin bagi sebagian orang, mengambil keputusan untuk sebuah perkara adalah hal gampang. Gitu aja kok repot, biasa mereka bilang. 

Tetapi, bagi Hermann, setiap orang memiliki kehidupannya masing-masing. Kita tidak bisa begitu saja menyamaratakan kemampuan orang dalam menyelesaikan masalah yang sedang menggelayutinya. Aporisma Cekoslovakia menyebutkan, “tong nyakompet daunkeun”. Artinya kurang lebih, sama dengan jangan menggeneralisir. Karena pada dasarnya manusia itu di ciptakan berbeda. Tidak ada satupun manusia yang sama. Oleh karena itu, bisa saja satu masalah, bagi seseorang sangat rumit, tetapi bagi seseorang lainnya alangkah sederhana. Begitu juga sebaliknya. Bagi kamu cantik selangit, tetapi bagi orang lain, kaya dedemit. Eit. Jangan tersinggung, karena semuanya relatif.  

Dan disinilah sesungguhnya, menurut Hermann, kita bisa melihat sejauh mana orang memahami diksi toleransi artinya ketika seseorang yang melihat satu masalah dengan sangat sederhana bisa ‘mendengar’ atau bahkan ‘memahami’ cerita seseorang lainnya yang melihat masalah itu dengan sangat rumit tanpa interupsi, bahkan menggurui berarti rasa toleransinya sangat tinggi. Tetapi ketika sebaliknya, orang itu memang sungguh percaya diri. 

Kemampuan mendengar inilah yang sangat sulit, karena sebagian dari kita, menurut Hermann, ternyata lebih suka didengar ketimbang mendengar. Kita lebih suka menggunakan mulut kita untuk bicara, ketimbang untuk diam dan memahami. Kalaupun diam? Terkadang lebih sebagai sebuah protes. Protes karena tidak mau mendengar. Protes karena pendapatnya tidak di dengar. 

“Sudahlah terserah dia” begitu ucapnya dengan nada kesal, sebab menurutnya, pendapat dirinyalah yang benar. Begitulah, terkadang kebenaran itu berbanding lurus dengan apa yang sering kita dengar. Seperti halnya yang diucapkan Aktor Robert De Niro, dalam Film Analyze That, “kau hanya mendengar apa yang ingin kau dengar”. Berbeda dengan Cicero, pembantu Maximus, terkadang dia melakukan apa yang dia inginkan, selebihnya melakukan apa yang harus dia lakukan. 

Tentu saja, ini semakin rumit bagi Hermann, dan sederhana bagi yang membaca; Hermann tidak tahu apa yang harus dia lakukan? Sementara pembaca tidak tahu masalah apa yang dihadapi Hermann.  Alla kuli hal, semoga cerita ini pantas untuk di lanjutkan.[]


2 komentar:

  1. ah, jadilah hari ini saya habiskan untuk keliling keliling dipekarangannya pak godot.

    sungguh saya menemukan banyak sekali buah2 yang manis.

    ya.. para intelektual muda sekarang sangat permisif terhadap pemikiran filsuf barat, tapi sangat galak jika bicara tentang para filsuf muslim..yang sesungguhnya justru tiada sedikitpun kalah hebatnya..

    generasi sekarang, melankolis dramatis. prohatin, sedih, simpati, tapi tidak tahu mesti bebrbuat apa..

    saya sangat senang membaca tulisan anda..

    ada kerinduan yang mendalam pada tulisan2 ini.. yg mana saya merasa sangat terwakili didalamnya.

    salam saya.

    BalasHapus