Aku, Hudan Hidayat Dan Sukron Abdilah


Tuan pasti sudah mengenal Hudan Hidayat? Atau setidaknya mengetahui Jurnal sastratuhan Hudan. Hmmm.

Kalau saya? Saya secara pribadi belum mengenalnya. Maksudnya, saya belum pernah bertatap muka dengan beliau, minum kopi, ketawa-ketiwi, terlebih di traktir makan-makan olehnya.

Hahaha.. memang benar tuan, tak ada hal lain lagi dalam pikiran saya kecuali makan. Karena sebenarnya—saya sudah mengatakan ucapan ini kepada banyak orang, sekarang kepada anda, tapi tak apalah, semoga anda bisa mencermati perkataan saya ini dengan seksama dan bijaksana—tak ada aktivitas di dunia ini yang saya kerjakan dengan serius kecuali makan dan tidur. 



Hmmm. Sebenarnya ada satu lagi, tapi rasanya itu tak perlu saya ucapkan, karena nampaknya kita semua kaum lelaki sepakat melakukan hal “itu” dengan sangat serius, sampai keringetan, kecapean, dan pengen langsung tidur. Hahaha. Tuan pasti tahu apa yang saya maksud.

Ya Hudan Hidayat? Tuan mengenalnya? Pasti anda sudah mengenalnya, kebangetan kalau tuan belum mengenalnya. Dia orang hebat. Mari saya ceritakan sedikit saja tentang dia.

***

Beliau lahir di Jogjakarta.  Beliau sering berpindah-pindah, tapi lebih banyak ditempuhnya di Sumatra.  Akhirnya beliau menyelesaikan Fisipol jurusan Hubungan Internasional di Universitas Jayabaya. Beliau menikahi gadis Jawa, Siti Khodijah, dan dikaruniai seorang puteri, Iklima Hudani.

Beliau menulis pertama kali berupa cerita pendek di majalah Zaman, 1984, dan setelah itu menghilang selama hampir 12 tahun.  Tahun 1998 ia diundang majalah Horison untuk mengikuti bengkel penulisan cerpen, dan April 1999 diundang majalah yang sama untuk menghadiri Pertemuan Sastra Nusantara di Malaysia bersama beberapa sastrawan Indonesia lainnya.

Tahun 1988  tinggal di Tokyo dan Tottory selama satu bulan untuk program pertukaran pemuda. Tahun 1999 bersama sastrawan Indonesia lain diundang menghadiri acara sastra di Thailand. Pada bulan Maret 2000, ia diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan cerpen-cerpennya.

***

Dia adalah sastrawan keren, tuan.

Jujur saja, saya mengenalnya hanya sebatas lewat jejaring sosial bernama facebook, dan terhormat sekali tuan saya bisa berteman dengannya. Sekalipun saya menggunakan profil palsu di masyarakat Facebook-ini, tapi terpujilah Admin Facebook, tuan Zuckerberg, dia tidak pernah memblokir akun saya sekalipun saya sering membuat status yang kata orang “sampah”! atau sesuatu yang di sebut sebagai “lebay”!

Karena mungkin selain dihadapan Tuhan, di hadapan Layar Kaca yang bernama Facebook-lah manusia bisa setara. Dan hanya aksara bermutulah yang bisa membedakan satu akun dengan akun lainnya, bukan ketaqwaan.

Tidak ada tua muda, tidak ada yang namanya professor, jenderal, sastrawan kacangan, sastrawan senior, sastrawan yang karyanya sudah di terbitkan dalam bentuk buku atau belum, orang yang suka sholat atau tidak, orang yang pernah berzinah atau belum, orang yang menggugurkan kehamilannya atau belum, lelaki yang mengakui anaknya atau masih pikir-pikir. Di hadapan facebook semua setara.

Ya tuan, Tidak ada bedanya antara pendosa, ustad atau pendeta. Semuanya sama di hadapan facebook. Dan…

Ketika itu tanpa sengaja aku membaca status Hudan Hidayat, si buta hendak membuat cahaya, yang akrab dengan sapaan Huhi ini, di tulis pada tanggal 11 April 2010 jam 16:44.

Secara jujur kuakui, tidak ada menarik-nariknya sama sekali status Mas Huhi itu. Di banding dengan status Tampan yang selama ini saya buat. Hahaha… (optimis habis lah!), tapi saya tertarik dengan komentar beliau yang mengatakan seperti ini

; semoga kita cocok. aku itu begitulah idealnya: tak usah merindukan cetakan seperti orang merindukannya tapi kukira itu wajar. aku pribadi sudah sangat puas di maya aja. karena bagiku bahasa itu bukan untuk mencapai apa apa rupanya. dulu aku bergiat betul untuk mencapai apa apa. kutaklukkan semua di luar itu tapi ternyata hanya hampa. kini aku sadar bahasa itu adalah pengembaraan sunyi. nah, maya inilah medium yang paling sunyi dari yang lebih sunyi. maka kalau ketemu ya ketemu di maya inilah.
kukira tradisi pikiran besar itu selalu berkawan sunyi. meledakkan hatinya di tempat sunyi. menghadiri dan hadir dari sunyi ke sunyi. hanya orang yang tahan dengan sunyilah yang kelak akan menemukan. kalau yang masih mengintip tepuk tanggan dengan sembunyi atau terang terangan, tak akan menemukan apa apa.

lihatlah aku tak pernah tag orang. yang mau datang asyik. yang tak mau datang asyik. semua asik asik aja. kau pun begitu ya kukira. karena batu eksistensi kata sartre itu adalah dia itu sendiri: yang sunyi, yang tak dimengerti orang. dirinya pun kadang tak ia mengerti....
kadang sesama yang tak mengerti pun meledak juga misal debat besar camus sartre itu. kebetulan aku merespon tribut sartre to camus. ada di noteku bacalah. tapi bagus juga kalau maya kita ini bisa membuat semacam sistem index sehingga kita tak jadi absurd karena pusing mencari di mana letaknya. tapi itu urusan facebook ya.

***

Wow! Menarik sekali tuan. Sehingga jari saya terlecut ingin sedikit menginternalisasi beberapa konten dari komentar beliau ini.

Mungkin yang dimaksud dengan ungkapan “cetakan” oleh beliau, tegur saya kalau keliru menafsirkan, adalah buku.

Bagi penulis sekaliber Hudan Hidayat ini mungkin benar menulis “tak usah merindukan cetakan seperti orang merindukannya”. Karena apa? Karena memang beliau sudah melewati fase-fase ini, sekali kirim aja tulisannya langsung di muat oleh koran, bukunya udah bejibun yang diterbitkan. Mungkin, saya secara pribadi sih belum pernah baca bukunya, hehehe. Karena memang saya bukan pembaca yang baik.

Tapi bagi penulis pemula? Bagi penulis yang belum pernah satupun tulisannya di muat di koran? Bagi penulis yang sudah menulis naskah dengan semangat idealisme dan mengirimkan ke penerbit lantas tidak kunjung datang jawaban?

Mungkin “cetakan” adalah impian paling sempurna baginya.

Makanya kemudian Mas Huhi berujar “… kukira itu wajar. Aku pribadi sudah sangat puas di maya aja. Karena bagiku bahasa itu bukan untuk mencapai apa apa rupanya. Dulu aku bergiat betul untuk mencapai apa apa. Kutaklukkan semua di luar itu tapi ternyata hanya hampa. Kini aku sadar bahasa itu adalah pengembaraan sunyi. Nah, maya inilah medium yang paling sunyi dari yang lebih sunyi. maka kalau ketemu ya ketemu di maya inilah.”

Saya pribadi, sangat menyukai esensi perkataan ini. Sekalipun tak ada satupun rintangan yang pernah saya taklukan untuk membuktikan kepengarangan saya, tapi kiranya, saya berbaik sangka mas Huhi tak pernah membedakan mana tulisan yang akan di posting di facebook, di web pribadinya, di koran, ataupun di media lainnya.

Karena bagi saya pribadi, sebagai seorang yang suka menulis tanpa satu bukupun yang pernah di terbitkan, jalan kepengarangan sejatinya adalah menyuguhkan yang terbaik buat para pembaca di manapun itu tempatnya, baik itu di facebook, web pribadi, blog, koran atau apapun medianya.

Dan dengan berat hati, sekalian saya juga ingin mengungkapkan keberatan saya atas tulisan NB saudara seperjuangan saya Sukron Abdilah pada tulisannya (resensinya) yang berjudul Novel Muhammad yang Tak Biasa, yang di posting di facebook pada 3 April 2010 jam 19:00.

“.. tulisan ini ialah bentuk resensi buku khusus buat Facebook, blog personal, dan web komunitas. Maaf pengalaman dua hari membaca novel ini tak bisa dihadirkan seluruhnya. Selain menulis versi ini, saya juga menulis bentuk resensi yang diperuntukkan bagi media cetak. Maaf, tak bisa ditayangkan. Menunggu nasib baik! Hehehe……….”

Benar mas Huhi semua orang merindukan “cetakan”! Sehingga menghasilkan variasi tulisan; mana yang akan diposting ke facebook, blog personal, web komunitas dan media cetak. Tapi sesuai dengan perkataan saudara saya Sukron Abdilah, yang ke media cetak itu “tak bisa ditayangkan”.

Kenapa? Ya, tentu saja media cetak biasanya hanya menerima tulisan yang belum dipublikasikan sama sekali, kayaknya gak banget kalau koran menerbitkan tulisan yang sebelumnya sudah dibaca orang-orang di internet? Biasanya sih sebaliknya, di koran dulu, baru di internet. Kitu nya Mang?

***

“Aku pribadi sudah sangat puas di maya aja” itu kata mas Huhi. Yang mungkin sudah merasakan asam garam tulisannya bertebaran di dunia nyata mungkin lewat buku, koran, jurnal dan lain sebagainya.

Tapi bagi saya, orang lain yang belum pernah merasakan semua itu? Atau mungkin sudah  pernah tapi belum puas. Nampaknya butuh loncatan spritualitas sehingga dengan leluasa bisa mengatakan “Aku pribadi sudah sangat puas di maya aja”.

Saya berusaha belajar mencapai maqom itu dengan satu kata kunci yang sudah akrab sekali dengan telinga saya, yakni niat. Sesungguhnya amal itu tergantung niat. Pepatah kuno yang masih saya akui validitas dan efektivitasnya. Sebagai seorang muslim, saya mengenal pepatah itu sebagai hadits. Entah non muslim mengenalnya sebagai apa?

Kalaulah memang setiap tindakan diniscayakan memiliki motivasi dan tujuan, maka tujuan dan motivasi seseorang menulis bisa bermacam-macam. Rumit dan tidak dapat di tebak. Beragam, dan tidak mungkin seragam.

Tapi lambat laun saya berpikir, perkataan Mas Huhi itu, bukan tujuan, bukan juga motivasi melainkan pencapaian. Pencapaiannya cukup di maya saja. Lagi-lagi saya ingin mengandaikan, kalaulah mas Huhi belum merasakan pencapaian-pencapaian seperti sekarang, apakah dulu beliau akan dengan leluasa berkata “Aku pribadi sudah sangat puas di maya aja”.

Hmmmm. Tentu saja saya tidak bisa menerka? Hanya beliaulah yang tahu jawabannya.

Tapi, saya akan mengandaikannya pada diri saya sendiri.

Ketika itu saya sedang getol-getolnya menulis kemudian mengirimkannya ke media cetak koran PR (Pikiran Rakyat). Tapi pada waktu itu, jujur saja saya akui, selain kebutuhan eksistensial, semangat idealisme yang menyerubungi saya, saya butuh uang. Walhasil saya mati-matian mengulik detil-detil tulisan orang lain yang sudah di muat agar tulisan saya juga di muat.

Dan ketika satu kali tulisan dimuat. Saya seolah-olah sudah di baptis oleh Tuhan semesta alam menjadi seorang penulis. Tapi kebanggaan itu tidak berlangsung lama, karena saya orang yang sangat pragmatis, saya pun ingin merasakan kebanggaan itu sekali lagi.

Tulisan kedua di muat. Sementara beban kehidupan semakin berat, lama kelamaan saya mendadak lupa alasan saya menulis, yang ada dalam benak saya adalah honor-honor dan honor. Tulisan kedua, ketiga, keempat, …. Dimuat.

Kelima, keenam tidak di muat.

Ternyata itu hanya keberuntungan pemula, seperti kata Coelho. Saya pun tidak meneruskan. Saya gadaikan idealisme kepenulisan saya kepada Mephistopheles untuk mendapatkan pekerjaan. Kemudian Tuhan menjebak saya pada sebuah pekerjaan yang tidak membutuhkan kepiawaian merangkai kata-kata sama sekali.

Namun kemudian disinilah saya mendapatkan pencerahan dan kesadaran pribadi, bahwa memang saya sangat mencintai menulis entah karena alasan apa? Akhirnya disela-sela itu saya kembali menulis.

Awalnya saya memposting tulisan-tulisan yang saya tulis dulu sebelum ada jejaring sosial yang bernama facebook. Kemudian menulis, menulis, menulis dan terus menulis. Dalam pada itu, saya jadi tidak kepikiran lagi untuk mengirimkan naskah-naskah novel maupun naskah buku yang pernah saya tulis ke penerbit.

“akhirnya saya pribadi sudah sangat puas di maya aja” itulah ucapan saya yang bertolak belakang sama sekali dengan ucapan mas Huhi “Aku pribadi sudah sangat puas di maya aja” yang sarat gelora eksistensial.

***

Hahaha… tadinya aku berniat menuliskan itu semua di facebook tuan, cuman sayangnya sekarang saya bukan lagi seorang penulis, hanya seorang tukang dagang. Dulunya memang saya pernah berniat menjadi seorang penulis cuman kayaknya mending jadi tukang dagang yang suka menulis daripada penulis yang suka berdagang.



_____________________
*Terimakasih kepada mas Hudan Hidayat dan Sukron Abdilah yang telah memberikan inspirasi.

2 komentar:

  1. Sedikit revisi, mas huhi, anaknya dua: Iqlima Hudani dan Qoyyum Hudani

    BalasHapus
  2. Hudan Hidayat, satu orang besar Indonesia.

    BalasHapus