Aku, Faradina Idzhary, Weni Sundari, Onnok Rahmawati, Rini Garini, Pradewi Tri Chatami, Nani Sulyani dan masih banyak lagi,



Semua orang bisa menulis, anak TK juga bisa tuan, kalau hanya sebatas menulis.

Aku juga bisa menulis tuan, menulis catatan hutang, pengeluaran-pemasukan barang, dan tulisan yang seperti saya tulis sekarang ini. Tapi kalau menulis puisi? Itu beda lagi. Puisi, sajak atau sebangsanya, menurut saya sebagai seorang awam, sebagai seseorang yang tidak ahli dalam mengarang, hanya seorang pedagang yang sudah tidak kuat begadang, puisi itu bukan tulisan sembarang.

Tuan, puisi adalah tulisan yang mengajak menerjang, berperang atau bahkan mengerang kesepian dalam keramaian orang. Makanya kriteria orang-orang seperti itu jarang di dapatkan, susah di temukan. Sebab memuisi bukan hanya sebatas menulis tapi membutuhkan skill, pengetahuan dan kemampuan mengolah perasaan, sehingga bisa melahirkan diksi-diksi yang menarik, unik, asyik, kadang mencekik, bisa juga memekik bahkan menjerit. Pokoknya elit! Hanya orang-orang yang terberkahi yang bisa melakukannya.

Orang-orang seperti ini bisa menyelami apa-apa yang ada di luar kata-kata, merangsek belukar aksara, menemukan sesuatu yang sangat berharga, harta karun hikmah yang ada jauh di pusara batin yang di tempuh dengan susah sungguh, kebijaksanaan hidup di palung hati paling ujung, kemudian menenunnya dalam satu kerangka, menyuguhkannya pada kita semua. Dan kita, terutama saya, hanya terengah-engah mengikuti imajinasi mereka, terperangah membaca makna di balik kerangka aksara yang mereka reka-reka. Sungguh luar biasa dan menakjubkan.

Maka pantas beberapa orang sepakat menyebut mereka nabi. Karena mereka hidup tidak bersama kita sekarang, tapi jauh-jauh di masa yang akan datang, di sebuah masa yang tidak ada kebencian sama sekali, semua masa dimana kebeningan hati menjadi permata yang paling berharga ketimbang mobil toyota, avanza, vitara atau vila yang genteng nya bertahta intan berlian. Sekalipun hujan, suasana rumah tidak bergeming oleh suara bising sedikitpun.

Ada rumah yang seperti itu? Ada tuan, dalam khayalan. Dan alangkah lebih baiknya sesekali kita singgah di rumah semacam itu. Selama berkhayal masih gratisan, sebentar lagi ketika uang menjadi totalitas berhala yang paling disembah ketimbang Tuhan, ketika orang-orang dengan bangga menyebut dirinya atheis tapi masih pengecut untuk mencabut nyawanya sendiri dengan pelbagai macam pelabi argumentasi eksistensialisme dan kita masih melihatnya hidup? Maka berkhayal sudah tidak gratisan lagi. Orang yang mau mengkhayal  mesti bayar bahkan dengan kurs mata uang dollar.

Tuan tidak percaya? Suatu saat nanti anda bakal percaya, ketika saya sudah selesai bercerita. Tapi untuk  sekarang ini, biarlah kita tunda dulu perkara itu sejenak, dan izinkan saya untuk melanjutkan obrolan mengenai beberapa penyair perempuan hebat yang ada di facebook ini.

***

Saya sebut beberapa saja tuan, Faradina Idzhary, Weni Sundari, Onnok Rahmawati, Rini Garini, Pradewi Tri Chatami, Nani Sulyani, Ninunan Bulan, Ieme Thea, Karlina Mayasari, Kirana Kejora, Pratiwi Setya Ningrum, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K dan masih banyak lagi penyair-penyair perempuan yang bertebaran di belukar layar kaca facebook ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Dengar saja sajak berikut ini tuan,

Merobek pagi
Dengan kuku imaji
Darahnya mengucur
Kutampung dalam mangkok angan

Mopit menari
Dengan darah pagi
Di selembar daun hati
Melukis kisah kasih tak sampai ini

Merinding saya membacanya tuan, belum juga siang beranjak, pagi nya sudah dirobek oleh Kwek Li na. Hehe. Saya secara pribadi tidak kenal siapa itu Kwek Lin Na, yang pasti nampaknya dia orang indonesia, sebab sajaknya bahasa Indonesia. Tidak memerlukan wawasan sastra yang belibet untuk mengenali sosok sang pengarang sajak di atas tuan. Hahaha. Kenapa anda cemberut tuan?

Atau dengerin juga yang ini tuan,

Mulailah dari Alif!

: Ilenk Rembulan

Padamu perempuan tegar
Selalu terselip kisah-kisah
Dan seribu tuah
Tentang ilmu yang tak jera kumamah

“Membuat puisi tak semudah menggoreng kacang!”

Apa saya bilang? Kata Mba Weni Suryandari juga “Membuat puisi (itu) tak semudah menggoreng kacang!”  Apalagi saya? Menggoreng kacang saja suka gosong, apalagi membuat puisi. Hmmm.

Nah benar tuan? Nampaknya kalau kita mau bisa menulis puisi, pertama-tama kita harus belajar menggoreng kacang dulu! Tepat sekali tuan. Aha! Kadang-kadang anda cerdas juga, saya suka aneh, kenapa kalau berbicara mengenai makanan, pikiran anda langsung nyambung. Hehehe. Bercanda tuan.

Makanya tuan, sudah lebih dari dua puluh tahun saya hidup, selama itu pula saya membawa kepala, saya berjuang menulis puisi, tapi tetap saja tidak bisa. Soalnya saya bukan orang yang berbakat dalam menulis puisi apalagi membuat sajak.

Tapi dengerin dech tuan petikan sajak dari Saudara saya Pradewi Tri Chatami berjudul A Night After The Love That I Want To Make. 

….

tapi tetap aku tak mau mandi.

sabun akan membilasku,
aku tak sanggup membayangkan sabun bersekongkol dengan shower menjadi semacam penghapus yang menyapu kata-kata pak guru
di papan tulis, sementara aku belum selesai mencatat...

tidak. aku tak mau mandi malam ini.

Judulnya saya kurang paham, tapi kedengerannya keren, soalnya ada kata-kata Love-Love. Yang paling mengagetkan, Pradewi tidak mau mandi tuan?

“aku tak mau mandi” katanya.

Wow! Mungkinkah dia benar-benar tidak mandi untuk bisa menulis puisi? Saya akan mempertimbangkan trik ini. Nampaknya para penulis puisi hidupnya sangat menyerempet kesehatan ya tuan? Hehe.

Nah kalau petikan sajak yang berikut ini sedikit menyeramkan tuan. Judulnya Sehabis hujan, karya ibu Faradina Idzhary.

Sehabis hujan
banjir menenggelamkan impian
yang kami tulis di rumah-rumah petak
membusukkan harapan
yang kami tanam di ladang-ladang
membangkaikan ternak bahkan sanak
yang jadi tumpuan

sehabis hujan
pidato pimpinan dikabarkan
dalam senyum dan keramahan
sayang, perut kami tak bisa menelan senyuman
dingin dan lapar lebih saudara
dibanding ucap manis mereka

Hmmm. Mungkin turun hujan adalah momen yang tepat buat menulis puisi. Saya juga akan mencoba trik ini tuan, mudah-mudahan dapat diaplikasikan. Ada-ada aja ya tuan, gaya para penyair berkreasi menciptakan puisinya seperti yang akan saya bacakan berikut ini, dengerin dech karya dari Onnok Rahmawati judulnya Tasbih Kembang Kemboja  

Ketika D'masiv melagukan rindu setengah mati
aku tengah mengukur kubur di tanah bulan
saat Firman pilu di atas dawai biola kehilangan
aku mulai mempola nisan batu-batu bintang
tiba-tiba engkau datang kekasih,
menunggang Nun mati di depan Alif
setelah belasan tahun terlipat Mushaf masa lalu
dengan Hijaiyah yang belum sempat kita tamatkan
yang sejak itu aku pun enggan mengejanya
karena aku langsung membacanya
dengan terbata namun akhirnya fasih
dengan sendirinya di lipatan Mushaf lainnya.

Suasananya campur aduk tuan, pelajaran dari puisi Nyai Onnok ini. Cukup membingungkan, pertama bagaimana kalau saya tidak suka D’masiv, bagaimana kalau saya suka Kangen Band? Persepsi apa yang harus saya berangkatkan dari grub band itu? Hmmm. Tapi nampaknya anda bakalan lebih sulit dari saya, soalnya kegemeran anda kan lagu India, Kuch Kuch Hota Hai, Di Pagal Hai? Hehehe.

Nah kalau puisi dari Ibu Rini Garini berjudul Suasana Senja Ini (Puisi) berikut ini bukan untuk di coba di rumah, dengerin tuan,

Mata terbakar oleh sebuah cerita
yang kau tulis di daun lontar
Kubaca saja tanpa prasangka nista
Lalu langit gerimis, mengundang gelegar halilintar

Seribu kelabang dan hewan melata terkejut merayapi apa saja
Menggelitik tubuh hingga ubun-ubunan
Diam-diam ular hitam dengan licik mencuri warna senja
lalu resah sembunyi di tabir persimpangan

Masa mau menulis puisi saja mesti mengundang halilintar, ular, kelabang dan pelbagai macam hewan melata?

Tuan, mau saya perdengarkan puisi yang memiliki semangat enterpreneuship yang tinggi? Ini dia! Buah karya Nani Sulyani.

mulai mengaduknya perlahan
kopi hitam, katamu
tiap butirannya kemudian
berpelukan
melenggak-lengok
mewujud buih serupa canda
mengental
ibarat alunan seruling dalam kidung rindu

tambahkan gulanya, katamu
biar menaburi
fajar yang berselimut embun
terik yang jumpai suntuk
larut yang menina-bobokan sepanjang lelap

***

Alla kuli hal, mereka hebat-hebat tuan, ada dari mereka yang puisi-puisinya sudah diterbitkan menjadi sebuah buku ada juga yang belum, ada puisinya yang kerap kali menghiasi media koran, ada juga yang baru satu kali, dua kali, sudah beberapa kali, ada juga yang belum, atau ada juga yang masih berusaha, ada juga yang sudah malang melintang di media nasional bahkan internasional.

Tapi tak apa, sebab diterbitkan dalam sebuah buku atau belum, dimuat di media cetak atau tidak bukan prasyarat menjadi seorang penyair.

Ada gitu hukum yang mengatur bahwa orang sudah sah menjadi penyair, atau penulis puisi, kalau puisinya sudah di terbitkan dalam bentuk buku, atau di media cetak? Kalau ada, beritahu saya. Dengan senang hati saya akan mematuhinya. Dan selanjutnya saya akan berhati-hati menyebut orang ini sebagai penyair, sedang orang ini belum bisa disebut sebagai penyair? Karena belum mendapat “sertifikasi kepenyairan” dari penerbit anu atau koran anu.

Ada-ada aja tuan ini, koruptor aja masih dianggap manusia sekalipun perilakunya sudah seperti setan. Selebritis aja masih dianggap manusia sekalipun tindakannya sudah menyerupai binatang? Buka baju sana sini? Beranak pinak disana sini. Ups….sudahlah tuan. Saya suka naik darah. Hahaha.

Ya mending naik darah, daripada naik anak orang lain? Entar kaya vokalis itu. Hehehe. 



____________________
*Mohon maaf sebelumnya kepada Para Penulis Sajak yang dipakai pada tulisan ini tanpa meminta izin terlebih dulu. Terimakasih kepada anda semua yang telah memberi inspirasi.
 

0 komentar:

Posting Komentar